Menangis Saat Sholat, Apakah Batal Sholatnya? Ini Jawaban Menurut Empat Madzhab

darulmaarif.net – Indramayu, 13 Februari 2024 | 10.00 WIB

Sholat merupakan tiang agama bagi umat Islam. Ada kewajiban salat fardlu ‘ain lima waktu setiap hari yang harus dilakukan oleh setiap umat Islam yang sudah Mukallaf (baligh dan berakal). Melalui ibadah sholat, kita melakukan munajat langsung dengan Alloh Swt. Namun, terkadang karena teringat dosa-dosa, bagi sebagian umat Islam ada kalanya karena larut dengan sholat jadi tak terasa menangis.

Apakah menangis dalam sholat membatalkan sholatnya? Atau menangis dalam sholat tidak membatalkan sholat? Jawabannya tamtsil (terperinci).

Berikut beberapa pendapat Ulama Madzaahib al-Arba’ah tentang menangis dan segala jenisnya dalam sholat:

Menurut kalangan Madzhab Hanafiyah, bila sebab tangisannya kepedihan dan musibah maka batal sholatnya karena tangisan dianggap pembicaraan manusia, bila sebabnya ingat surga dan neraka tidak membatalkan sholat karena berarti menunjukkan tambahnya khusyu’ yang menjadi tujuan dalam sholat, tangisan seperti ini menduduki makna tasbih dan do’a.

يَرَى الْحَنَفِيَّةُ أَنَّ الْبُكَاءَ فِي الصَّلاَةِ إِنْ كَانَ سَبَبُهُ أَلَمًا أَوْ مُصِيبَةً فَإِنَّهُ يُفْسِدُ الصَّلاَةَ ؛ لأَِنَّهُ يُعْتَبَرُ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ ، وَإِنْ كَانَ سَبَبُهُ ذِكْرَ الْجَنَّةِ أَوِ النَّارِ فَإِنَّهُ لاَ يُفْسِدُهَا ؛ لأَِنَّهُ يَدُل عَلَى زِيَادَةِ الْخُشُوعِ ، وَهُوَ الْمَقْصُودُ فِي الصَّلاَةِ ، فَكَانَ فِي مَعْنَى التَّسْبِيحِ أَوِ الدُّعَاءِ . وَيَدُل عَلَى هَذَا حَدِيثُ الرَّسُول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي بِاللَّيْل وَلَهُ أَزِيزٌ كَأَزِيزِ الْمِرْجَل مِنَ الْبُكَاءِ . (1)

Artinya: “Kalangan Hanafiyah Berpendapat: Bila sebab tangisannya kepedihan dan musibah batal sholatnya karena tangisan dianggap pembicaraan manusia, bila sebabnya ingat surga dan neraka tidak membatalkan sholat karena berarti menunjukkan tambahnya khusyu’ yang menjadi tujuan dalam sholat, tangisan seperti ini menduduki makna tasbih dan doa,”

وَعَنْ أَبِي يُوسُفَ أَنَّ هَذَا التَّفْصِيل فِيمَا إِذَا كَانَ عَلَى أَكْثَرِ مِنْ حَرْفَيْنِ ، أَوْ عَلَى حَرْفَيْنِ أَصْلِيَّيْنِ ، أَمَّا إِذَا كَانَ عَلَى حَرْفَيْنِ مِنْ حُرُوفِ الزِّيَادَةِ ، أَوْ أَحَدُهَا مِنْ حُرُوفِ الزِّيَادَةِ وَالآْخَرُ أَصْلِيٌّ ، لاَ تَفْسُدُ فِي الْوَجْهَيْنِ مَعًا ، وَحُرُوفُ الزِّيَادَةِ عَشَرَةٌ يَجْمَعُهَا قَوْلُكَ : أَمَانٌ وَتَسْهِيلٌ (2)

Artinya: “Sedangkan menurut Abu Yusuf perincian di atas bila suara isak tersebut lebih dari dua huruf atau berupa dua huruf yang asal, sedang bila terdiri dari dua huruf tambahan atau salah satunya huruf asal dan lainnya huruf tambahan maka tidak membatalkan sholat baik tangisannya karena kepedihan atau mengingat akhirat. Yang dimaksud huruf tambahan adalah huruf-huruf yang terkumpul dalam lafadz “Amaanun wa Tashiilun”. ( Tabyiin al-Haqaaiq I/155, Fath alQadiir I/281-282 ).

Sedangkan menurut pendapat Malikiyah, tangisan dalam sholat adakalanya berupa suara adakalanya tidak. Tangisan tanpa suara tidak membatalkan sholat, sedangkan tangisan yang bersuara bila mampu ia kendalikan membatalkan sholat baik karena khusyu atau musibah sedang yang tidak mampu ia kendalikan bila karena rasa khusyu’ meskipun banyak tidak membatalkan, bila bukan karena rasa khusyu’ membatalkan.

وَحَاصِل مَذْهَبِ الْمَالِكِيَّةِ فِي هَذَا : أَنَّ الْبُكَاءَ فِي الصَّلاَةِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ بِصَوْتٍ ، وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ بِلاَ صَوْتٍ ، فَإِنْ كَانَ الْبُكَاءُ بِلاَ صَوْتٍ فَإِنَّهُ لاَ يُبْطِل الصَّلاَةَ ، سَوَاءٌ أَكَانَ بِغَيْرِ اخْتِيَارٍ ، بِأَنْ غَلَبَهُ الْبُكَاءُ تَخَشُّعًا أَوْ لِمُصِيبَةٍ ، أَمْ كَانَ اخْتِيَارِيًّا مَا لَمْ يَكْثُرْ ذَلِكَ فِي الاِخْتِيَارِيِّ.

وَأَمَّا إِذَا كَانَ الْبُكَاءُ بِصَوْتٍ ، فَإِنْ كَانَ اخْتِيَارِيًّا فَإِنَّهُ يُبْطِل الصَّلاَةَ ، سَوَاءٌ كَانَ لِمُصِيبَةٍ أَمْ لِتَخَشُّعٍ ، وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ ، بِأَنْ غَلَبَهُ الْبُكَاءُ تَخَشُّعًا لَمْ يُبْطِل ، وَإِنْ كَثُرَ ، وَإِنْ غَلَبَهُ الْبُكَاءُ بِغَيْرِ تَخَشُّعٍ أَبْطَل (3)

Artinya: “Kesimpulan di Kalangan Malikiyah: Tangisan dalam sholat adakalanya berupa suara adakalanya tidak, Tangisan tanpa suara tidak membatalkan sholat, baik tangisan yang tidak mampu ia kendalikan seperti dirinya dikuasai oleh kekhusyuan atau musibah atau tangisan yang mampu ia kendalikan selagi tidak banyak. Tangisan yang bersuara bila mampu ia kendalikan membatalkan sholat baik karena khusyu atau musibah sedang yang tidak mampu ia kendalikan bila karena rasa khusyu’ meskipun banyak tidak membatalkan, bila bukan karena rasa khusyu’ membatalkan. (Hasyiyah as-Syaikh ‘Aly al-‘Adawy ala Mukhtashor Kholil I/325, Jawaahir al-ikliil I/63, Mawaahib aljalil II/33 ).

هَذَا وَقَدْ ذَكَرَ الدُّسُوقِيُّ أَنَّ الْبُكَاءَ بِصَوْتٍ ، إِنْ كَانَ لِمُصِيبَةٍ أَوْ لِوَجَعٍ مِنْ غَيْرِ غَلَبَةٍ أَوْ لِخُشُوعٍ فَهُوَ حِينَئِذٍ كَالْكَلاَمِ ، يُفَرَّقُ بَيْنَ عَمْدِهِ وَسَهْوِهِ ، أَيْ فَالْعَمْدُ مُبْطِلٌ مُطْلَقًا ، قَل أَوْ كَثُرَ ، وَالسَّهْوُ يُبْطِل إِنْ كَانَ كَثِيرًا ، وَيُسْجَدُ لَهُ إِنْ قَل.

Artinya: “Sedang menurut adDasuuQy tangisan dengan suara karena musibah/kepedihan atau karena kekhusyuan bila tanpa ia kendalikan hukumnya seperti halnya berbicara saat sholat dalam arti dibedakan hukumnya antara kesengajaan dan tidaknya, bila sengaja membatalkan sedikit ataupun banyak, sedang bila lalai/tanpa sengaja juga membatalkan bila tangisannya banyak dan disunahkan sujud bila sedikit. (Hasyiyah ad-Dasuuqy ‘alaa Syarhil Kabiir I/284).

وَأَمَّا عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ ، فَإِنَّ الْبُكَاءَ فِي الصَّلاَةِ عَلَى الْوَجْهِ الأَْصَحِّ إِنْ ظَهَرَ بِهِ حَرْفَانِ فَإِنَّهُ يُبْطِل الصَّلاَةَ ؛ لِوُجُودِ مَا يُنَافِيهَا ، حَتَّى وَإِنْ كَانَ الْبُكَاءُ مِنْ خَوْفِ الآْخِرَةِ . وَعَلَى مُقَابِل الأَْصَحِّ :

لاَ يُبْطِل لأَِنَّهُ لاَ يُسَمَّى كَلاَمًا فِي اللُّغَةِ ، وَلاَ يُفْهَمُ مِنْهُ شَيْءٌ ، فَكَانَ أَشْبَهَ بِالصَّوْتِ الْمُجَرَّدِ.

Artinya: “Menurut Kalangan Syafi’iyah: Tangisan dalam sholat menurut pendapat yang shahih bila sampai keluar dua huruf dalam tangisannya membatalkan sholat karena adanya hal yang menafikan sholat walau tangisan takut akan akhirat sekalipun, sedang menurut Muqaabil pendapat yang shahih tidak membatalkan karena tangisan tidak tergolong pembicaraan serta tidak dapat difahami, tangisan hanyalah serupa dengan suara murni. (Nihayatul Muhtaaaj II/34, Hasyiyah Qolyubi I/187, Mughnil Muhtaaj I/195).

وَأَمَّا الْحَنَابِلَةُ فَإِنَّهُمْ يَرَوْنَ أَنَّهُ إِنْ بَانَ حَرْفَانِ مِنْ بُكَاءٍ ، أَوْ تَأَوُّهِ خَشْيَةٍ ، أَوْ أَنِينٍ فِي الصَّلاَةِ لَمْ تَبْطُل ؛ لأَِنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى الذِّكْرِ ، وَقِيل : إِنْ غَلَبَهُ وَإِلاَّ بَطَلَتْ ، كَمَا لَوْ لَمْ يَكُنْ خَشْيَةً ؛ لأَِنَّهُ يَقَعُ عَلَى الْهِجَاءِ ، وَيَدُل بِنَفْسِهِ عَلَى الْمَعْنَى كَالْكَلاَمِ ، قَال أَحْمَدُ فِي الأَْنِينِ : إِذَا كَانَ غَالِبًا أَكْرَهُهُ ، أَيْ مِنْ وَجَعٍ ، وَإِنِ اسْتَدْعَى الْبُكَاءَ فِيهَا كُرِهَ كَالضَّحِكِ وَإِلاَّ فَلاَ.

Artinya: “Kalangan Hanabilah (Madzhab Hambaly) berpendapat: bila tampak dua huruf dari tangisan, aduhan ketakutan atau rintihan dalam sholat tidak membatalkan karena dihukumi sebagaimana dzikiran. Ada pendapat “hal itu bila menguasainya/tidak terkendali, bila mampu dikendalikan membatalkan seperti bila tangisannya tidak karena ketakutan (akhirat) karena berarti ia mengejek dalam sholatnya dan artinya dirinya mengerjakan pembicaraan. Imam ahmad berkata dalam masalah rintihan “Bila menguasainya/tidak terkendali, aku membencinya, sedang bila dapat terkendali aku tidak membencinya. ( al-Furuu’ I/370-371 ). [ al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah Kuwait VIII/181)

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menangis saat sholat terjadi perbedaan pendapat dikalangan empat madzhab yang dijelaskan secara rinci sebagaimana penjelasan diatas.

Namun, bagi kalangan madzhab Syafi’iyah, menurut qoul ashoh (pendapat terkuat), menangis dapat membatalkan shalat ketika tampak dua huruf hijaiyah dari tangisannya. Bila tak ada kata-kata yang terucap tentu tidak ada masalah. Sedangkan menurut pendapat muqobil al-ashoh (pembanding qoul ashah) menangis secara mutlak tidak membatalkan sholat.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.