darulmaarif.net – Indramayu, 05 Oktober 2023 | 08.00 WIB
Kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan yang termaktub dalam surat an-Nisa’ ayat 34 menjadi pembahasan yang ramai didiskusikan hingga sekarang. Dalam ayat Madaniyah ini, diktum Al-Qur’an mengatakan:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Alloh telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Q.s An-Nisa ayat 34)
Bagi para pemegang ideologi patriarki, ayat tersebut dijadikan legitimasi atas superioritas laki-laki. Keberadaan perempuan hanya mereka pandang sebagai makhluk lemah yang hanya cocok bergumul dalam ahwal dapur, sumur dan kasur. Laki-laki lah yang menciptakan dunia ini, sehingga Simone de Beauvoir mengatakan bahwa dunia ini hasil karya laki-laki. Dan perempuan, adalah the second sex.
Sedangkan bagi kaum feminis, ayat ini dikatakan sebagai ayat misoginis yang mengandung doktrin ketidaksetaraan gender. Mereka menolak kepemimpinan laki-laki. Mereka ingin agar kaum hawa memimpin organisasi keluarga, sehingga tidak berada terus menerus di bawah cengkraman hegemoni laki-laki. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba untuk melerai kedua “mazhab” ini.
Lantas, bagaimana sebenarnya perspektif Islam menjawab persoalan budaya patriarki ini?
Asbabun Nuzul Ayat
Al-Wahidi alam kitab Asbabun Nuzul al-Qur’ann (hlm. 155) mengutip beberapa riwayat yang menjelaskan Asbabun Nuzul ayat ini. Riwayat pertama, ia mengutip dari Muqotil, bahwa ayat ini diturunkan kepada Sa’ad Ibn ar-Rabi’, seorang suami dari Ḥabibah Binti Zaid Ibn Abi Zuhair. Dikisahkan bahwa Ḥabibah berlaku nusyuz, lalu Sa’ad menamparnya. Merasa tidak terima, Ḥabibah bersama bapaknya pergi menemui Rosululloh dan mengadukan perbuatan suaminya.
Mendengar kisahnya itu Rosululloh menyuruhnya supaya mengqishos perbuatan yang telah Sa’ad lakukan. Namun, tatkala keduanya hendak bertolak ke Sa’ad, Rosululloh memanggil mereka untuk kembali, lalu menjelaskan, bahwa Jibril telah mendatangi Rosululloh dan menyampaikan surat an-Nisa’ ayat 34 ini.
Adapun riwayat kedua dan ketiga, al-Wahidi mengutip dari Sa’id Ibn Muḥammad Ibn Aḥmad az-Zahid dan Abu Bakr al-Harisi, sebuah riwayat yang memiliki esensi cerita yang hampir sama dengan riwayat yang pertama. Namun dalam riwayat kedua dan ketiga ini, tidak disebutkan secara jelas siapa pelaku yang dimaksud, apakah itu Sa’ad Ibn ar-Rabi’ dengan istrinya, Ḥabibah Binti Zaid, ataukah orang lain. Perbedaan lainnya kedua riwayat ini tidak menjelaskan dalam konteks istri melakukan nusyuz.
Tafsir Ayat
Mengutip Tafsir Imam Ibnu Katsir mengenai surat An-Nisa ayat 34 dijelaskan sebagai berikut:
وقوله : ( وللرجال عليهن درجة أي : في الفضيلة في الخلق ، والمنزلة ، وطاعة الأمر ، والإنفاق ، والقيام بالمصالح ، والفضل في الدنيا والآخرة ، كما قال تعالى : ( الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم ) [ النساء : 34 ]
“Dan firman-Nya ” Dan laki-laki memiliki satu derajat lebih atas wanita” adalah dalam keutamaan akhlak, pangkat, ketaatan perintah, infaq, mendirikan kebaikan, keutamaan di dunia dan akhirat sebagaimana firman Alloh ta’ala dalam surat an-Nisa’ ayat 34: ” Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Alloh telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
Dalam kitab Tafsir imam Ibnu Katsir surat al-Baqoroh ayat 228 :
يقول تعالى : ( الرجال قوامون على النساء ) أي : الرجل قيم على المرأة ، أي هو رئيسها وكبيرها والحاكم عليها ومؤدبها إذا اعوجت ( بما فضل الله بعضهم على بعض ) أي : لأن الرجال أفضل من النساء ، والرجل خير من المرأة; ولهذا كانت النبوة مختصة بالرجال وكذلك الملك الأعظم; لقوله صلى الله عليه وسلم : ” لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة ” رواه البخاري من حديث عبد الرحمن بن أبي بكرة ، عن أبيه وكذا منصب القضاء وغير ذلك .
( وبما أنفقوا من أموالهم ) أي : من المهور والنفقات والكلف التي أوجبها الله عليهم لهن في كتابه وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم ، فالرجل أفضل من المرأة في نفسه ، وله الفضل عليها والإفضال ، فناسب أن يكون قيما عليها ، كما قال ] الله [ تعالى : ( وللرجال عليهن درجة ) الآية [ البقرة : 228 ]
“Maksud “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita” adalah laki-laki itu pemimpin, pembesar dan hakim dari wanita serta yang mendidiknya ketika melenceng, oleh karena Alloh telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan)” maksudnya karena sesungguhnya laki-laki itu lebih utama daripada wanita, dan laki-laki lebih baik daripada wanita oleh karena itulah kenabian dikhususkan bagi laki-laki begitu juga raja-raja yang agung, sebab sabda nabi: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka kepada seorang wanita.” (Hadits Riwayat Imam Bukhori dari Hadits Abdur Rahman bin Abi Bakrah dari ayahnya). Begitu juga dalam masalah mendirikan putusan dan masalah yang lainnya.
“Dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” maksudnya dari mahar, nafaqoh dan taklif yang Alloh wajibkan untuk lelaki dalam al-Qur’an dan hadits Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, maka lelaki lebih utama daripada wanita dengan sendirinya, dan bagi lelaki terdapat keutamaan diatas perempuan, maka pantaslah lelaki menjadi pemimpin bagi perempuan sebagaimana firman Alloh dalam surat al-Baqoroh ayat 228: “Dan laki-laki memiliki satu derajat lebih atas wanita”.
Penafsiran Para Ulama
Kalimat ar-rijāl qawwaamuuna ‘alan-Nisa’ yang termaktub dalam surat an-Nisa’ ayat 34 oleh imam az-Zamakhsyari (I/523) ditafsirkan dengan laki-laki itu menjadi pemimpin yang memiliki hak memerintah dan melarang perempuan. Lebih lanjut, mufassir yang dikenal dengan kunyah Abul-Qosim ini mengibaratkan laki-laki, dengan seorang pemimpin yang berfungsi terhadap rakyatnya dalam hal memimpin dan mengatur.
Adapun bagi imam ar-Razi (X/91), kalimat ar-rijaalu qowwaamuuna ‘alan-Nisa’ berarti bahwa laki-laki berkuasa untuk mendidik dan membimbing istri-istri mereka. Seolah-olah, kata mufassir yang bercorak bi ar-Ra’y (rasional) ini, Alloh yang Maha Tinggi menjadikan suami sebagai amir dan pelaksana hukum terhadap istri.
Sayyid Quṭb (II/649) menginterpretasikan surat an-Nisa’ ayat 34 dengan mengatakan, ayat ini memberikan batasan kepemimpinan organisasi keluarga berada di tangan laki-laki. Alasannya karena Alloh telah melebihkan laki-laki dengan tanggung jawab kepemimpinan, kekhususan-kekhususan, dan keterampilan yang diperlukan untuk mengemban tanggung jawab tersebut. Selain itu, laki-laki juga ditugasi oleh Allah untuk memberikan nafkah kepada seluruh anggota organisasi keluarganya.
Dalam lanjutan surat an-Nisa’ ayat 34. Alloh menyebutkan alasan laki-laki menjadi pemimpin perempuan adalah faḍal Alloh ba’ḍahum ‘alaa ba’d (karena Alloh telah “melebihkan” sebagian mereka, atas sebagian yang lain), dan juga bi maa anfaquu (karena mereka telah memberikan nafkah dari hartanya).
Kesimpulannya, baik kaum patriarki maupun feminis, dua-duanya seharusnya bisa saling mengisi kekosongan masing-masing, bukan berusaha untuk saling hegemoni satu sama lainnya. Tidak ada pertentangan antara laki-laki dan perempuan. Terlebih, dalam pandangan Islam, Alloh jelas menempatkan derajat laki-laki dan wanita sesuai dengan tingkat ketakwaannya, bukan karena jenis kelaminnya.
Sebagaimana Firman Alloh dalam diktum Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Alloh ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Alloh Maha Mengetahui, Mahateliti.” (Q.s Al-Hujurat ayat 13)
Istilah kesetaraan gender dalam pandangan saya juga sebetulnya kurang tepat, harusnya bukan kesetaraan gender, melainkan keserasian gender. Sebab, Laki-laki dan wanita diciptakan untuk saling mengisi kehidupan di dunia ini agar bisa berjalan harmonis, saling menopang dan melengkapi. Ada batasan wilayah yang memang memang dipegang laki-laki, ada wilayah yang menjadi hak perempuan.
Itulah jawaban menurut Islam terkait persoalan budaya patriarki yang masih kerap jadi perdebatan bagi kita sampai saat ini.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.