Oase: Makna Psikosufistik dalam Penciptaan Manusia

darulmaarif.net – Indramayu, 22 Desember 2024 | 06.00 WIB

Manusia adalah makhluk yang unik, tercipta dengan dua dimensi utama: lahir dan batin. Pemahaman terhadap dimensi ini bukan sekadar hasil eksplorasi nalar manusia, tetapi juga bersumber dari wahyu ilahi dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an memberikan informasi penting mengenai esensi manusia, termasuk tujuan penciptaannya. Dalam dimensi lahiriah, ilmu biologi dan kedokteran modern telah menjadi alat bantu bagi manusia untuk mengenal dirinya secara fisik. Namun, dimensi batiniah memerlukan pendekatan yang lebih dalam, salah satunya melalui psikologi dan tasawuf.

Psikologi mempelajari aspek mental manusia, mulai dari emosi hingga perilaku, dengan fokus pada fenomena logis dan empiris. Perspektif psikologi Barat umumnya bersifat antroposentris, memandang manusia sebagai pusat pengalaman dan penentu segala sesuatu (Zubaedi, 2015). Sebaliknya, psikologi Islam mendasarkan pemahamannya pada teks suci Al-Qur’an dan Sunnah, memperluas cakupan kajian jiwa hingga aspek spiritual yang tidak terjangkau oleh psikologi Barat (Hanna Djumhana Bastaman, 1995).

Dalam pendekatan sufisme, jiwa manusia tidak hanya dipelajari secara teoritis, tetapi juga melalui pengalaman spiritual. Para sufi membahas tingkatan-tingkatan jiwa, atau yang dikenal sebagai maqam, yang merupakan perjalanan ruhani untuk mendekatkan diri kepada Alloh. Salah satu maqam yang menarik perhatian adalah maqam nafs, seperti yang diuraikan oleh Syaikh Hakim Muinuddin Chisty.

Dalam artikel ini, kita akan melakukan kajian dan analisis ilmiah mengenai makna psikosufistik dalam penciptaan manusia. Penasaran dengan proses penciptaan manusia dalam pandangan unik psikosufistik? Simak penjelasannya berikut ini!

Proses Penciptaan Manusia dan Maqam Nafs

Al-Qur’an menceritakan proses penciptaan manusia sebagai bahan perenungan mendalam. Dalam perspektif sufisme, proses ini terkait dengan maqamat, di mana manusia memulai perjalanannya dari maqam nafs. Maqam ini adalah tahap dasar dalam perkembangan spiritual manusia.

Pada maqam nafs, manusia memiliki potensi bawaan, seperti rejeki, ajal, dan takdir kebaikan atau keburukan. Namun, potensi ini belum sepenuhnya disadari karena kesadaran manusia masih sangat terbatas. Sebagai contoh, bayi yang baru lahir memiliki akal sebagai potensi, tetapi belum digunakan secara optimal (Inayat Khan, 2000). Kondisi ini menggambarkan manusia pada tahap insting dasar, di mana tindakan-tindakannya didorong oleh kebutuhan fisik dan naluriah.

Hasrat kebinatangan, seperti rasa lapar dan kebutuhan untuk bertahan hidup, menjadi ciri utama pada maqam nafs. Bayi menunjukkan egotisme alami, seperti menangis untuk mempertahankan benda yang digenggamnya. Dalam konteks ini, egotisme bukanlah kesalahan, tetapi merupakan sifat dasar yang harus dilalui setiap manusia.

Peningkatan Spiritual melalui Riyadloh

Meskipun maqam nafs adalah tahap awal, manusia memiliki potensi untuk melampaui tingkatan ini melalui usaha spiritual, atau riyadloh. Orang tua memegang peran penting dalam membimbing anak agar potensi fitrah yang dimilikinya berkembang ke arah yang lebih baik. Melalui pendidikan, pembiasaan ibadah, dan pengendalian diri, manusia dapat bergerak maju ke maqam-maqam berikutnya, seperti maqam nafsul muthmainnah (jiwa yang tenang).

Namun, perjalanan spiritual ini tidak mudah. Beberapa orang mungkin tetap bertahan di maqam nafs sepanjang hidupnya, tidak mampu melampaui insting dasar dan egotisme. Hal ini menunjukkan bahwa pencapaian spiritual memerlukan kesadaran dan usaha yang berkelanjutan.

Kesimpulan

Kajian psikosufistik terhadap proses penciptaan manusia, khususnya pada maqam nafs, menunjukkan bahwa jiwa manusia berada pada tahap dasar ketika baru diciptakan. Pada tahap ini, manusia memiliki potensi yang belum berkembang dan kesadaran diri yang belum optimal. Namun, dengan pendidikan spiritual dan usaha yang sungguh-sungguh, maqam ini dapat menjadi awal perjalanan menuju kedewasaan spiritual.

Teori maqam nafs yang diuraikan oleh Syaikh Hakim Muinuddin Chisty memberikan perspektif unik dalam memahami perjalanan jiwa manusia. Pemahaman ini tidak hanya relevan bagi para praktisi tasawuf, tetapi juga dapat menjadi rujukan bagi psikologi modern untuk mengintegrasikan dimensi spiritual dalam kajian tentang manusia.

Melalui pendekatan psikosufistik, manusia diingatkan untuk terus mengenal dirinya dan memaksimalkan potensi yang telah Alloh Swt anugerahkan. Proses ini, pada akhirnya, membawa manusia kepada tujuan hakiki penciptaannya: menjadi hamba yang dekat dan akan selalu dekat dengan Sang Pencipta: Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.