Nalar Inklusif: Kesalahan Logika Mistika dalam Tinjauan Filsafat Ilmu dan Islam

darulmaarif.net – Indramayu, 21 Desember 2024 | 22.00 WIB

Di tengah berkembangnya pemikiran modern dan post-modern, logika mistika sering menjadi sumber perdebatan yang signifikan dalam konteks ilmiah dan spiritual. Akan tetapi, sering kali pemahaman dan aplikasi logika mistika ini menghasilkan kesalahan yang dapat mengaburkan batasan antara sains, akal, dan kepercayaan. Dalam artikel ini, kita akan melakukan kajian dan analisis ilmiah mengenai kesalahan logika mistika dari sudut pandang filsafat ilmu dalam perspektif kajian Islam.

Sebagai contoh, masih banyak masyarakat Indonesia yang masih percaya bahwa ada hari atau tanggal tertentu yang tidak baik untuk memulai suatu aktivitas, seperti pernikahan atau pindah rumah. Contohnya, sebagian masyarakat Jawa memegang tradisi “hari pasaran” dalam kalender Jawa yang dipercaya menentukan keberuntungan atau malapetaka.

Menurut logika mistika, keyakinan bahwa harmoni kosmis bisa terganggu jika seseorang melanggar pantangan hari tertentu. Padahal, secara ilmiah, hari atau tanggal tertentu tidak memiliki pengaruh langsung terhadap keberhasilan aktivitas manusia.

Syekh as-Suhaili, sebagaimana dinukil dalam Kasyf al-Khafâ’ menjelaskan:

وقال المناوي نقلًا عن السهيلي: نحوسته على من تشاءم وتطير، بأن كانت عادته التطير وترك الاقتداء بالنبي -صلى الله عليه وسلم- في تركه، وهذه صفة من قل توكله، فذلك الذي تضر نحوسته في تصرفه فيه ثم قال المناوي: والحاصل أن توقي يوم الأربعاء على وجه الطيرة وظن اعتقاد المنجمين حرام شديد التحريم؛ إذ الأيام كلها لله تعالى لا تضر ولا تنفع بذاتها وبدون ذلك لا ضير ولا محذور، ومن تطير حاقت به نحوسته، ومن أيقن بأنه لا يضر ولا ينفع إلا الله لم يؤثر فيه شيء من ذلك

Artinya: Imam al-Munawi berkata dengan menukil dari as-Suhaili: Kenahasan/kesialannya hanya bagi orang yang meyakini bahwa hal itu membawa sial (tasya’um) dan bagi orang yang meyakini tanda-tanda kesialan (tathayyur) berupa kebiasaannya untuk meyakini adanya kesialan melalui tanda-tanda dan meninggalkan ikut Nabi yang meninggalkan keyakinan seperti itu. Ini adalah sifat orang yang sedikit tawakalnya, maka orang itulah yang tertimpa kesialannya ketika melakukan sesuatu di hari itu.

Kemudian Imam al-Munawi berkata: Kesimpulannya, bahwa orang yang menjaga diri di hari Rabu dengan alasan thiyarah (menjadikannya sebagai tanda kesialan) dan meyakini aqidah ahli nujum adalah tindakan yang sangat haram. Sebab, seluruh hari adalah milik Alloh Ta’ala, tak bisa memberikan celaka atau manfaat secara independen dan tanpa hal itu maka tak ada kecelakaan atau pun larangan. Siapa yang meyakini adanya tanda-tanda sial (tathayyur), maka kesialan akan mengepungnya. Siapa yang meyakini bahwa tak ada yang dapat memberi kecelakaan atau manfaat kecuali Allah, maka semua hal itu tak berpengaruh baginya. (al-Ajluni, Kasy al-Khafâ’, Juz I, halaman 19-20)

Definisi dan Konsep Logika Mistika

Logika mistika merujuk pada suatu cara berpikir yang mengandalkan pemahaman yang tidak selalu sesuai dengan rasionalitas atau empirisisme, tetapi lebih banyak melibatkan pengalaman spiritual dan simbolisme. Dalam konteks ini, kita mendapati banyak contoh di mana logika mistika digunakan untuk menjelaskan fenomena di luar akal sehat.

Namun, tantangan utama dari logika mistika terletak pada potensi kesalahan dalam menyimpulkan atau menginterpretasikan realitas berdasarkan pengalaman tersebut. Dalam Islam, pengetahuan harus diperoleh melalui dua sumber utama: wahyu (Al-Qur’an dan Hadits Nabi) dan Rasionalitas (Ijtihad/Usaha Intelektual).

Kesalahan dalam Logika Mistika

1. Ambiguitas dan Ketidakjelasan

Salah satu kesalahan utama dalam logika mistika adalah ambiguitas dan ketidakjelasan dalam interpretasi pengalaman mistik. Ketika pengalaman spiritual disampaikan dalam bahasa simbolis tanpa penjelasan yang jelas, ini berpotensi menyebabkan misunderstanding atau kesalahpahaman. Dalam filsafat ilmu Islam, jelas bahwa penjelasan yang koheren dan jelas merupakan bagian penting dari metodologi ilmiah.

2. Pengabaian Empirisisme

    Kesalahan lain adalah pengabaian prinsip empirisisme, yaitu pemahaman bahwa pengetahuan harus dibangun di atas bukti dan pengalaman yang dapat diuji. Logika mistika sering kali mengandalkan pada pengalaman subjektif tanpa ada dasar yang jelas, sehingga menciptakan ilusi kebenaran. Dalam konteks Islam, ini bertentangan dengan prinsip ijtihad (usaha intelektual) yang mendasari pengambilan keputusan berbasis bukti dan fakta.

    3. Generalisasi Berlebihan

      Logika mistika sering berujung pada generalisasi berlebihan, di mana suatu pengalaman mistik individual digunakan untuk membuat klaim yang luas dan universal. Dalam filsafat ilmu Islam, klaim universal harus didasarkan pada premis yang dapat diuji dan dikonfirmasi. Tanpa adanya pengujian tersebut, logika mistika berpotensi menimbulkan kekeliruan dalam memahami fenomena lebih luas.

      4. Dualisme antara Akal dan Hati

        Ketika logika mistika mengambil alih, sering kali terdapat pandangan yang cenderung mendualisme antara akal dan hati. Dalam pemikiran Islam, akal tidak seharusnya dipisahkan dari hati, karena keduanya memainkan peran penting dalam pencarian kebenaran. Memisahkan akal dari pengalaman spiritual bisa mengakibatkan kesalahan interpretasi dan sanksi dalam pengambilan keputusan.

        Tinjauan Filsafat Ilmu Islam

        Filsafat ilmu dalam perspektif Islam mendorong keselarasan antara wahyu dan akal. Konsep ilm (pengetahuan) dalam Islam mencakup segala bentuk pengetahuan yang bersumber dari Alloh SWT serta yang diperoleh melalui observasi dan pengalaman. Oleh karena itu, penilaian dan analisis terhadap logika mistika perlu dilakukan dengan pendekatan yang integratif dan holistik.

        1. Keterkaitan antara Wahyu dan Rasio

          Islam mengedepankan wahyu dan rasio (akal budi) sebagai dua alat untuk memahami kebenaran. Sehingga, setiap klaim yang berakar dari logika mistika perlu diuji ketahanannya terhadap pengetahuan yang bersumber dari wahyu. Misalnya, banyak prinsip etika dalam Islam yang menyelaraskan antara nalar dan wahyu, sehingga menuntut kehati-hatian dalam mengklasifikasikan mana yang harus diterima dan mana yang harus dievaluasi lebih jauh.

          2. Pendekatan Epistemologis

            Dalam konteks filsafat ilmu, pendekatan epistemologis dalam Islam mendorong pengkajian yang rasional, sistematis, dan terbuka terhadap kesalahan dalam logika mistika. Melalui metode ini, kita dapat memahami bahwa tidak semua pengalaman mistik memiliki validitas untuk dijadikan dasar dalam pengetahuan. Oleh karena itu, penggunaan logika mistika harus dikaji dengan cermat, mengingat adanya potensi kesalahan yang besar.

            Kesimpulan

            Kesalahan dalam logika mistika patut diwaspadai, terutama dalam konteks ilmiah dan spiritual dalam perspektif kajian Islam. Pengalaman mistik yang disampaikan tanpa landasan yang jelas tidak hanya berisiko menyesatkan, tetapi juga dapat mengaburkan tujuan fundamental dari pencarian pengetahuan itu sendiri.

            Menyadari kesalahan-kesalahan ini, kita diajak untuk lebih kritis dalam mengevaluasi pengalaman spiritual dan menjaga keseimbangan antara pengalaman mistik, wahyu, dan logika. Dalam pandangan Islam, pencarian kebenaran harus senantiasa berjalan dalam koridor rasionalitas dan hikmah, tidak terjebak dalam ilusi yang mungkin hadir dari pengalaman mistik semata. Dengan demikian, kita dapat membangun pemahaman yang lebih komprehensif mengenai kehidupan, alam semesta, dan hubungan kita dengan Sang Maha Pencipta.

            Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.