Sebuah Cerpen: Rembulan Diatas Kuburan

darulmaarif.net – Indramayu, 31 Oktober 2023 | 08.00 WIB

Saat Ayah meninggalkan rumah, yang kulihat hanya punggungnya yang setengah bungkuk. Sarung dan Kemeja nya yang lusuh mengandung banyak lipatan, warnanya buram hampir pudar, dan aku tahu itu setelan Ayah sejak dua tahun lalu. Ia berjalan tidak terlampau cepat, tetapi jarak antara kami semakin lebar. Semakin terasa bahwa ada bentangan yang segera akan memisahkan kami. Mungkin satu, dua, atau bahkan ratusan kilometer.

Sebelum pergi, kurang lebih sepuluh menit yang lalu, Ayah mengatakan, “Aku percaya, kamu bukan perempuan cengeng. Hampir sebulan kita telah menangis bersama-sama. Itu cukup. Tidak perlu diperpanjang lagi. Kita sudah saling berusaha untuk menemukan ibumu. Juga adikmu, Henni. Percayakan itu kepada Tuhan. Mungkin kini tempat mereka lebih lapang dibanding kita saat ini. Mungkin tidak ada lagi pikiran yang membebani mereka. Tinggal kita, mau hidup terus atau perlahan-lahan mati.”

Mata Ayah memandangku tak begitu nyalak seperti elang, namun seperti mengisyaratkan ketegasan yang serius. Ia seperti berbicara tentang kisah perjalanan hidupnya. Begitu datar. Tapi aku merasa seperti akan ada lubang di hati kecil ini.

“Bibah, aku akan berangkat pagi ini juga, tak perlu kau tanyakan Ayah kemana. Sebelum ramai orang memenuhi jalan, sebelum ibu-ibu antre belanja di pasar. Aku percaya, kamu sanggup menghadapi hari depanmu sendiri. Aku melihat separuh wajah Ibu ada padamu. Badanmu sehat, parasmu cantik, dan yang pasti kau begitu tabah seperti ibumu. Ingat, jangan menangis lagi.”

Bibirku tiba-tiba gemetar, seperti ada ribuan kata-kata yang menempel di ujung lidahku, tapi suaraku seperti hilang entah kemana. Tak sanggup keluar dari mulutku.

“Aku menulis surat untukmu, karena kukira kamu tak akan bangun saat subuh. Bacalah setelah matamu tak mampu memandang bayanganku. Sampai suara panggilanmu tak mungkin kudengar lagi.” Ditepuk-tepuknya bahuku, seolah-olah aku sendiri yang berduka dan dia berperan sebagai sang bijak yang berusaha menghiburku. “Maafkan aku jika selama menjadi ayahmu tak pernah membuatmu bahagia.”

Tidak ada pelukan dari Ayah. Tangannya mengusap pipiku, terasa kasar. Keriput yang terbentuk dari serangkaian kerja keras itu berusaha melekat di paras mukaku. Aku mencium bau khas yang barangkali tak terhapus dalam sewindu.

Dan kini Ayah telah melangkah memunggungiku. Ke arah selatan. Seperti memberikan isyarat bahwa di sana akan menjadi akhir dari pengembaraannya.

Begitu sadar Ayah telah semakin jauh: hanya kulihat punggungnya yang setengah bungkuk dan segerumbul pohon yang miring di ujung pandangan siap mengaburkannya, aku segera berlari ke dalam rumah. Jika benar Ayah menulis surat untukku, tentu disimpan tak jauh dari alas tidurku. Memang kutemukan selipat kertas lembap yang tampak baru saja disisipkan ke bawah timbunan sarung.

Aku berdebar membuka lipatan surat itu seakan-akan hendak membaca isi testamen. Ternyata hanya beberapa baris kalimat yang mudah dihapal setelah membaca dua kali.

“Rochyatin Habibah, anakku. Aku terlampau sedih dalam peristiwa kehilangan Ibumu dan adikmu Henni, dan mungkin sebentar lagi menjadi gila. Aku akan pergi. Mudah-mudahan kamu tetap kuat untuk tinggal. Aku ternyata seorang pengecut. Selamat tinggal.”

Aku melompat bagai tersengat kalajengking. Tanpa sadar aku telah melanggar permintaannya untuk tidak memanggilnya. Aku berlari sekencang-kencangnya menuju arah Ayah berjalan. Tapi sampai aku terengah-engah, tak kutemui lagi bayangan Ayah. Mungkin tikungan, atau bekas tikungan, telah menyembunyikan arah langkahnya. Sandalku telah lepas entah ke mana. Tanah becek dan kerikil yang menghunjam telapak kakiku tak benar-benar kurasakan sakitnya. Lebih sakit perasaan dalam relung dadaku. Pisau kesepian telah menoreh begitu dalam. Baru saja Ayah pergi, tapi kesepian begitu lekas menyergap. Aku seperti menjadi seorang diri di dunia. Dari seorang piatu menjadi sekaligus yatim dan sebatang kara. Terasa hidup sendiri di bawah langit yang selalu mendung, memenuhi seluruh dadaku. Sesak!

Kini aku berjalan lunglai kembali ke dalam rumah. Menutup pintu sekencang mungkin. Dan seketika kujatuhkan tubuhku diatas sofa ruang tamu. Menangis pilu. Hingga aku tak tau lagi apa yang harus kulakukan saat ini. Seperti mati sebelum mati.

Memang sekarang bukan lagi saatnya untuk terus menangis. Setiap hari kuhabiskan waktuku untuk menanyakan kabar dari timur, barat, selatan, dan utara. Dari seluruh penjuru mata angin. Adakah yang pernah melihat Ayah? Adakah yang menemukan sosok setengah bungkuk dengan kemeja dan sarung lusuh itu keluyuran tanpa tujuan? Atau Adakah yang menemukan tubuh mungil Henni, adikku yang hilang entah kemana?

Kepalaku hendak pecah, hatiku remuk. Satu-satunya pegangan hidupku saat ini, mata hati pelipur sepiku, kini Ayah pergi setelah dua tahun lalu Ibu ditelan bumi jauh di tanah kuburan, kesepian.

“Oh Ayah, apakah aku akan tetap melanjutkan perjalanan hidupku di pondok pesantren? Ataukah aku harus pergi tanpa tujuan seperti engkau? Hingga maut datang menjemputku dan segera menghambur bersama ibu.”

Aku sadar, aku tidak lagi bersama Ayah. Dia sudah pergi dan kini mungkin telah tiba di tempat lain yang juga tidak dikenalnya karena suasananya sudah berubah. Sementara aku akan tetap tinggal di sini, bersama rumah dan kenangan tentang keluarga yang telah hancur lebur. Hanya aku yang tersisa disini. Menggigil, terpuruk kesepian.

Perasaanku kian mengkerut. Serambi rumah tampak sepi. Langit mulai redup. Sebentar lagi matahari akan berpisah dari meninggalkan sore hari. Aku segera duduk di bangku kayu yang terletak di halaman depan rumah.

“Ayah, lusa ini aku akan ikut kelulusan Akhirussanah dan haflah Tasyakkur Khotmil Qur’an Bil Ghoib di Pondok Pesantren Darul Ma’arif. Siapa tau Ayah mau melihatku di panggung, berfoto bersama, tertawa gembira meski tanpa ibu dan Henni disamping kita lagi.”

Setelah enam tahun kujalani di Pondok Pesantren, kini yang tersisa dariku hanya tatapan sembilu yang semakin membuka lubang di dada kiriku. Sesak, sakit tapi tak berdarah.

Apakah aku masih perlu mencari Ayah dan Henni? Ataukah aku kembali merajut mimpi, melanjutkan cita-cita Ibu yang ingin aku menjadi perempuan solehah, cerdas dan pintar ilmu Agama?

Malam ini, aku melihat langit terang, rembulan begitu cerah. Tapi entah kenapa, hatiku seperti kuburan yang pergi ditinggal keluarga nya. Sendiri.

Mataku tak mampu memejam. Hatiku masih terasa begitu sesak, seperti hendak pecah dan tumpah ribuan rasa yang tak lagi bisa kubendung. Tak ada suara yang bisa keluar dari mulutku, yang ada hanya mataku yang tak pernah berhenti melahirkan airmata.

“Ayah, Ibu, Henni…. Aku tau bahwa semua ini akan terjadi, tapi mengapa kalian pergi begitu cepat. Kini, aku seperti rembulan diatas kuburan. Satu sisi, kemeriahan lusa di Pesantren serupa rembulan, tapi rumah ini seperti kuburan bagiku.”

Tamat.