Heboh Adegan Film ‘Bidaah’: Minum Air Bekas Cucian Kaki Walid Dikaitkan dengn Berkah

darulmaarif.net – Indramayu, 10 April 2025 | 10.00 WIB

Film drama Malaysia berjudul ‘Bidaah’ yang tayang di salah satu layanan streaming sedang menjadi perbincangan di media sosial. Pasalnya, film tersebut mempertontonkan adegan yang kontroversial.

Salah satu adegan yang jadi diskusi warganet di media sosial adalah mencium kaki dan meminum bekas cucian kaki Walid Muhammad, seorang pemimpin sekte keagamaan yang karismatik dalam drama tersebut.

Drama Bid’ah ini adalah sebuah kritik terhadap oknum-oknum yang menyimpang yang seringkali mengatasnamakan agama.Tetapi ada beberapa scene filmnya yang mengkritik amaliah Aswaja terkait tabarrukan atau ngalap berkah, bahkan banyak netizen yang mengaitkan film tersebut dengan Gus-gusan dan Kyai Pesantren yang membuat banyak orang semakin su-udzon terhadap praktik kehidupan pesantren: merajakan dirinya, dan memperbudak selainnya.

Beberapa kelompok atau organisasi Islam yang muncul belakangan melakukan serangan bertubi-tubi terhadap praktik tabarrukan atau ngalap berkah atau barokah, yakni mencari kebaikan dengan pelantaraaan Rosululloh SAW dan peninggalan-peninggalannya, juga mencari berkah kepada orang-orang sholeh dan peninggalan-peninggalan mereka. Mereka mengatakan bahwa praktik tabarrukan adalah bid’ah atau perbuatan yang mengada-ngada yang dihukumi sesat dalam Islam.

Serangan ini tidak saja membuat gelisah kalangan awam yang mempraktikkan tabarruk, bahkan dalam berbagai kesempatan serangan itu menjadi pemicu perselisihan diantara umat Islam.

Dasar Hukum Tabarrukan

Tabaruk merupakan derivasi dari kata berkah. Dalam bahasa Arab, Berkah disebut dengan Barakah (البركة) yang berarti ni’mah (النعمة), kebahagiaan (السعادة), dan penambahan (النماء و الزيادة). Dalam Mu’jam al-Wasiṭ, disebut barakah karena tetapnya kebaikan di dalamnya sebagaimana tetapnya air dalam kolah (البِركة).  Dalam al-Qur’an, barakah berarti kebaikan yang bertambah dan berlangsung secara kontinyu.

Tabarruk (atau kalangan pesantren menyebutnya ngalap berkah) berarti meraih berkah, kebaikan, dan kebahagiaan dengan media sesuatu yang diistimewakan Alloh. Diistimewakan karena Allah telah menyematkan atau mengalirkan keberkahan kepadanya. Oleh Prof Shobah, berkah juga didefinikan secara ilmiah sebagai “energi positif” yang luar biasa dahsyatnya, yang terpancar ketika seseorang berhubungan dengan suatu media, tentu atas izin-Alloh SWT. Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang menceritakan tentang berkah.

رَحْمَتُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ

Artinya: “Rahmat Alloh dan keberkahan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai Ahlulbait!” (QS Huud Ayat 73)

وَهَـذَا كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مُّصَدِّقُ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ

Artinya: “Dan ini (Al-Qur’an) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi.” (Al-An’am Ayat 92)

Dalil Mencium Kaki Nabi, Orangtua dan Ulama

Dalam Hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi disebutkan tentang seseorang yang mencium kaki Nabi Muhammad saw:

أن يهوديا قال لصاحبه: اذهب بنا إلى هذا النبي صلى الله عليه وسلم .قال: فقبلا يديه ورجليه وقالا: نشهد أنك نبي الله صلى الله عليه وسلم

Artinya: “Ada seorang Yahudi berkata kepada temannya; Mari kita pergi menemui Nabi ini (Nabi Muhammad). Shafawan bin ‘Asal berkata; Kemudian mereka berdua menicum tangan dan kaki Nabi saw dan mereka berkata, ‘Kami bersaksi bahwa engkau adalah Nabi Alloh SWT.”

Dari redaksi di atas sangat jelas, bahwa mencium kaki orang yang mulia (shaleh) hukumnya mubah (boleh). Begitu juga dengan kaki kedua orang tua, karena mereka merupakan orang yang mulia bagi anaknya.

Imam Al-Hafidz Al-‘Iraqi, dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin berpendapat bahwa mencium tangan dan kaki orang sholeh hukumnya boleh, baik dan terpuji, dengan bertujuan untuk tabarruk dan penghormatan:

وَقَالَ اَلْحَافِظْ اَلْعِرَاقِيْ : وَتَقْبِيْلُ اْلأَمَاكِنِ الشَّرِيْفَةِ عَلَى قَصْدِ التَّبَرُّكِ وَأَيْدِيْ الصَّالِحِيْنَ وَأَرْجُلِهِمْ حَسَنٌ مَحْمُوْدٌ بِاعْتِبَارِ الْقَصْدِ وَالنِّيَةِ

Artinya: “Menurut Al-Hafidz Al-‘Iraqi, mencium tempat-tempat mulia dengan tujuan tabarruk dan mencium tangan atau kaki orang-orang sholeh merupakan perbuatan baik dan terpuji berdasarkan tujuan dan niatnya.”

Dalil Minum Bekas Nabi atau Orang Sholeh

Dalam satu riwayat hadits, Rosululloh SAW Ngalap Berkah dari Tempat Wudlu Umat Islam;

عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، الْوُضُوءُ مِنْ جَرٍّ جَدِيدٍ مُخَمَّرٍ أَحَبُّ إِلَيْكَ أَمْ مِنَ الْمَطَاهِرِ ؟ فَقَالَ : لا ، بَلْ مِنَ الْمَطَاهِرِ ، إِنَّ دِينَ اللَّهِ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ، قَالَ: وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبْعَثُ إِلَى الْمَطَاهِرِ ، فَيُؤْتَى بِالْمَاءِ ، فَيَشْرَبُهُ ، يَرْجُو بَرَكَةَ أَيْدِي الْمُسْلِمِينَ

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibn Umar, ia bertanya kepada Nabi: “Ya Rosululloh, apakah berwudlu dari wadah baru yang tertutup atau dari tempat-tempat wudhu yang lebih engkau senangi?” Rosululloh menjawab: “Tidak. Tapi dari tempat-tempat berwulhu”. Agama Alloh adalah agama yang lurus dan mudah. Ibn Umar berkata: “Kemudian Rosululloh menuju tempat-tempat berwudlu dan beliau diberi air, kemudian meminumnya. Beliau mengharap berkah dan tangan-tangan umat Islam.” (HR. at- Thabarani).

عن أبي بردة قال قدمت المدينة فلقيني عبد الله بن سلام فقال لي انطلق إلى المنزل فأسقيك في قدح شرب فيه رسول الله صلى الله عليه وسلم وتصلي في مسجد صلى فيه النبي صلى الله عليه وسلم فانطلقت معه فسقاني سويقا وأطعمني تمرا وصليت في مسجده

Artinya: “Dari Abu Burdah, ia berkata bahwa ia mendatangi Kota Madinah. Abdullah bin Salam menemuinya. ‘Ikutlah mampir ke rumahku. Aku akan memberimu minum di gelas yang pernah dipakai oleh Rosululloh SAW. Kau pun bisa sholat di tempat sujud yang pernah dipakai Rosululloh SAW,’ kata Abdullah. ‘Aku berjalan bersama Abdullah. Ia memberiku minum beberapa teguk air dan memberiku butir kurma. Aku pun sholat di tempat shalatnya,’ kata Abu Burdah.” (HR. Imam Bukhori)

An-Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim menjelaskan bahwa hadits-hadits di atas merupakan kebolehan untuk tabarruk dengan bekas orang sholeh.

Bahkan Ibnu Hibban dalam Sahihnya membuat dua bab khusus yang menjelaskan kebolehan bertabaruk dengan orang shaleh dan ahli ilmu. Dua bab itu adalah:

ذِكْرُ مَا يُسْتَحَبُّ لِلْمَرْءِ التَّبَرُّكُ بِالصَّالِحِينَ، وَأَشْبَاهِهِمْ

Bab menjelaskan kesunnahan bagi seseorang untuk bertabaruk dengan orang shaleh dan orang yang serupa dengan orang shaleh.

ذِكْرُ إِبَاحَةِ التَّبَرُّكِ بِوَضُوءٍ الصَّالِحِينَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ إِذَا كَانُوا مُتَّبِعِينَ لَسُنَنِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Bab menjelaskan tentang kebolehan bertabaruk dengan air wudhu orang shaleh yang merupakan bagian dari ahli ilmu asalkan mereka mengikuti sunnah-sunnah Rosululloh SAW.

Dari dua bab di atas, Ibnu Hibban ingin menyebutkan bahwa bertabarruk seperti yang dilakukan oleh para sahabat kepada Rasul itu boleh dilakukan oleh orang lain kepada orang yang shaleh asalkan orang tersebut menjalankan sunnah-sunnah Rosululloh SAW.

Ibnu Hibban dalam bab pertama di atas, menjelaskan sebuah hadis tentang anjuran Rasul untuk bertabarruk kepada orang yang lebih mumpuni keilmuannya:

الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ

Barakah itu terdapat pada orang-orang yang lebih tua (lebih berilmu) dari kalian.

Hadis di atas dinyatakan sahih oleh al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak alas Sahihain-nya dan menyatakan bahwa hadis di atas sahih sesuai dengan syarat Bukhori.

Dan pada kesimpulan akhirnya, film drama Malaysia ‘Bidaah’ memang pada dasarnya mengupas tentang aliran sesat yang mengatasnamakan Islam, tentang oknum-oknum yang berjubah dan bersorban yang melegitimasi kejahatannya dalam bentuk agama. Akan tetapi, yang kita khawatirkan adalah dampak masyarakat awam yang hanya menarik kesimpulan dari film layar lebar, mereka akan menilai bahwa tradisi tabarrukan di pesantren dianggap sebagai amalan bid’ah yang sesat menyesatkan. Apalagi, tradisi tabarrukan merupakan tradisi kaum pesantren yang memiliki dalil rujukan dan bersumber dari historisitas sejarah yang kuat sejak zaman Nabi, para Sahabat hingga generasi para Ulama Indonesia saat ini.

Menggeneralisir segelintir oknum yang salah untuk dijadikan parameter objektivitas hujjah memang berbahaya. Karena bias ilmiah bahkan menjadi sedat-menyesatkan.

Untuk itu, bagi umat Islam selayaknya agar kritis dalam menyaring informasi di media massa, baik film atau informasi lainnya agar cerdas menyikapi sesuatu yang bersifat viral.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.