darulmaarif.net – Indramayu, 14 November 2024 | 10.00 WIB
Pertanyaan tentang apakah benar “Belanda Tidak Pernah Menjajah Indonesia” mungkin terdengar kontroversial, namun jika ditinjau dari ilmu mantiq atau logika, pemahaman sejarah kita bisa berubah drastis. Perlu diketahui bahwa sebelum tahun 1945, Indonesia sebagai negara kesatuan memang belum ada. Jadi, jika kita berbicara tentang penjajahan, mungkin lebih tepat jika kita mempertimbangkan bahwa Belanda hanya menjajah kerajaan-kerajaan lokal di Nusantara, bukan “Indonesia” sebagaimana yang kita kenal sekarang.
Premis dan Kesimpulan dalam Ilmu Mantiq
Dalam ilmu mantiq, argumen dibangun dari premis-premis yang logis agar menghasilkan kesimpulan yang benar. Jika premis yang digunakan tidak tepat, kesimpulan pun akan keliru. Premis yang sering kita dengar seperti “Belanda menjajah Indonesia sebelum 1945” dan “Para pahlawan berjuang demi Indonesia” seringkali kurang akurat. Dengan menerapkan prinsip mantiq, kita bisa meninjau ulang kesahihan dari pernyataan ini dan memikirkan ulang apakah benar bahwa Belanda Tidak Pernah Menjajah Indonesia.
Premis pertama yang perlu diperhatikan adalah bahwa “Belanda menjajah Indonesia sebelum 1945.” Jika kita mengkaji premis ini, maka istilah “Indonesia” menjadi masalah, karena sebagai negara, Indonesia memang belum eksis sebelum 1945. Jadi, jika Belanda dikatakan “menjajah Indonesia,” premis tersebut kurang tepat. Yang lebih logis adalah menyebut bahwa Belanda menjajah kerajaan-kerajaan seperti Aceh, Mataram, dan Gowa yang kala itu adalah entitas politik mandiri. Pernyataan ini sejalan dengan pandangan bahwa Belanda Tidak Pernah Menjajah Indonesia karena Indonesia yang kita maksud memang belum ada.
Premis kedua yang juga bermasalah adalah “Para pahlawan berjuang demi Indonesia.” Sebelum munculnya gagasan nasionalisme modern, pejuang seperti Sultan Hasanuddin atau Pangeran Diponegoro berjuang untuk mempertahankan kedaulatan wilayah mereka, bukan demi negara Indonesia yang belum terbentuk. Jadi, menyatakan bahwa para pahlawan ini berjuang untuk Indonesia bisa dikatakan keliru dalam konteks sejarah.
Analisis Silogisme dalam Ilmu Mantiq
Untuk menilai kesahihan sebuah argumen, ilmu mantiq menggunakan struktur silogisme. Jika kita membentuk argumen seperti ini:
- Premis mayor: Belanda menjajah wilayah yang kini disebut Indonesia.
- Premis minor: Para pejuang melawan penjajahan Belanda di wilayah tersebut.
- Kesimpulan: Para pejuang melawan Belanda demi Indonesia.
Dari argumen di atas, terlihat adanya kesalahan logika yang dikenal sebagai “kesalahan penggunaan istilah” atau fallacy of equivocation. Istilah “Indonesia” dalam premis dan kesimpulan digunakan dengan makna yang berbeda, yaitu sebagai wilayah geografis yang belum memiliki identitas politik pada saat itu. Karena negara Indonesia baru lahir pada 1945, maka argumen bahwa para pejuang sebelum itu berjuang demi Indonesia menjadi tidak relevan, yang mendukung ide bahwa Belanda Tidak Pernah Menjajah Indonesia sebagai entitas negara.
Prinsip Tawhid al-Qadhaya (Konsistensi Premis)
Dalam ilmu mantiq, konsistensi premis sangat penting untuk memastikan kesahihan argumen. Dalam kasus ini, pemakaian istilah “Indonesia” harus konsisten, baik sebagai wilayah geografis (Nusantara) maupun sebagai entitas politik (negara Indonesia). Jika premis kita konsisten, maka argumen sejarah kita pun menjadi lebih logis:
- Premis mayor: Belanda menjajah wilayah Nusantara.
- Premis minor: Para pejuang melawan penjajahan di Nusantara.
- Kesimpulan: Para pejuang melawan Belanda demi kedaulatan wilayah mereka, bukan demi Indonesia.
Dalam kerangka ini, jelas bahwa kesimpulan tersebut sahih secara mantiq, karena para pahlawan berjuang untuk mempertahankan wilayah mereka sendiri, bukan demi entitas politik yang belum ada. Pandangan ini pun mengarah pada pemahaman bahwa Belanda Tidak Pernah Menjajah Indonesia secara keseluruhan.
Kesimpulan
Jika dilihat dari perspektif ilmu mantiq, pernyataan bahwa Belanda menjajah Indonesia sebelum 1945 dan bahwa para pahlawan berjuang demi Indonesia perlu dikoreksi. Yang lebih mendekati kebenaran logis adalah bahwa Belanda hanya menjajah kerajaan-kerajaan di Nusantara, sedangkan para pahlawan berjuang untuk mempertahankan wilayah atau kerajaan mereka. Ide “Indonesia” sebagai negara muncul belakangan, setelah gagasan nasionalisme berkembang di awal abad ke-20 dan mencapai puncaknya pada tahun 1945.
Dengan analisis ini, kita bisa memahami sejarah secara lebih tepat, menghindari kesalahan persepsi, dan membuka wawasan baru tentang pemahaman kita terhadap konsep penjajahan. Kita juga sudah terbiasa mendengar narasi bahwa “Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun.” Narasi ini, sayangnya, menimbulkan dampak mental yang memengaruhi perkembangan bangsa. Oleh karena itu, kajian lebih kritis ini bisa membuka jalan untuk mengubah pemahaman kita tentang penjajahan.
Saat ini, dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, kita dapat lebih mudah mengakses berbagai sumber sejarah untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam. Namun, tentu perlu kehati-hatian dalam menilai sumber-sumber ini, agar kita tidak tersesat pada informasi yang keliru.
Semoga pandangan ini dapat memperkaya wawasan sejarah kita dan menjadi bahan diskusi yang bermanfaat bagi kita semua.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.