Nalar Inklusif: Menghadapi Kehidupan Modern dengan Pandangan Stoik dalam Islam

darulmaarif.net – Indramayu, 11 November 2024 | 11.00 WIB

Kehidupan modern sering kali menghadapkan manusia pada kebingungan eksistensial. Dunia yang serba cepat, tuntutan karir, gaya hidup, dan kecanggihan teknologi menciptakan ketidakstabilan emosional, bahkan membuat manusia lupa akan tujuan hidup sebenarnya. Dalam menghadapi dinamika ini, pandangan stoik dalam Islam bisa menjadi salah satu cara untuk mendapatkan ketenangan batin dan mengelola kehidupan yang penuh tantangan.

Pengertian Stoikisme dan Relevansinya dalam Islam

Stoikisme adalah filsafat yang muncul pada abad ke-3 SM di Yunani, berkembang melalui tokoh-tokoh seperti Zeno, Epictetus, dan Marcus Aurelius. Prinsip dasar Stoikisme adalah penerimaan terhadap apa yang di luar kendali manusia dan fokus pada pengendalian pikiran serta emosi. Mereka mempromosikan ketabahan dan pengendalian diri dalam menghadapi kesulitan hidup, di mana kebahagiaan tercapai saat seseorang mampu mengendalikan respons batin terhadap situasi eksternal.

Dalam Islam, terdapat ajaran-ajaran yang selaras dengan prinsip-prinsip Stoikisme ini. Allah SWT dalam Al-Qur’an menekankan pentingnya sabar (QS Al-Baqarah: 153), tawakal (QS At-Talaq: 3), serta qana’ah atau rasa cukup (QS Al-Hadid: 23). Pada dasarnya, prinsip-prinsip ini mengarahkan umat Islam untuk tidak bergantung pada hasil duniawi semata, melainkan fokus pada pengembangan karakter dan pengabdian kepada Allah SWT.

Kesamaan Stoikisme Yunani dan Islam dalam Menghadapi Kehidupan

  1. Penerimaan Takdir
    Marcus Aurelius pernah berkata, “Semua yang terjadi pada kita adalah milik alam, maka terimalah.” Pandangan ini sejalan dengan konsep Islam mengenai qada dan qadar, yakni menerima ketetapan Allah. Imam Al-Ghazali menegaskan dalam Ihya Ulumuddin bahwa seorang mukmin hendaknya menerima takdir sebagai bentuk ujian atau rahmat dari Allah, karena pada dasarnya takdir Allah tidak pernah sia-sia.
  2. Pengendalian Diri dan Emosi
    Epictetus dalam karyanya Discourses menekankan pentingnya fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan, terutama pikiran dan emosi. Islam juga menekankan hal ini, terutama dalam pengendalian amarah. Nabi Muhammad bersabda, “Orang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi yang mampu menahan amarahnya ketika marah” (HR. Imam Bukhari).
  3. Kebijaksanaan dan Ketenangan Batin
    Stoikisme mengajarkan kebijaksanaan sebagai kebajikan utama, yakni mengatasi kehidupan dengan ketenangan, tidak diperbudak oleh kesenangan atau penderitaan duniawi. Dalam Islam, konsep hikmah atau kebijaksanaan dianggap sebagai karunia Allah (QS Al-Baqarah: 269). Ulama besar seperti Ibn Qayyim Al-Jawziyyah juga banyak menekankan hikmah dalam menafsirkan qada dan qadar sebagai bentuk ketenangan.
  4. Kepuasan Batin Melalui Kesederhanaan
    Filosofi stoik juga memandang bahwa kebahagiaan terletak pada kesederhanaan dan rasa cukup. Dalam Islam, konsep qana’ah sangat dijunjung tinggi. Imam Hasan Al-Basri, seorang sufi terkenal, menyatakan bahwa kepuasan hati adalah akar dari kebahagiaan sejati, sementara mengejar kekayaan materi tidak akan membawa pada ketenangan.

Implementasi Stoikisme Islam dalam Kehidupan Modern

  1. Menjaga Keteguhan Iman di Tengah Kesibukan Modern
    Kesibukan hidup modern sering membuat kita merasa kehilangan makna. Di sinilah pentingnya menjaga keteguhan iman seperti yang diajarkan dalam stoikisme dan Islam. Misalnya, mengalokasikan waktu untuk beribadah dan merenungkan makna hidup dapat menjadi cara untuk menjaga kedamaian batin dan menjauhkan diri dari stres modern.
  2. Mengendalikan Diri dari Godaan Konsumerisme
    Konsumerisme menjadi salah satu tantangan besar di era modern ini. Prinsip stoik dalam Islam mengajarkan untuk menjaga qana’ah dan tidak terjebak dalam godaan duniawi yang berlebihan. Dengan berfokus pada kebahagiaan sejati, seseorang dapat terhindar dari sikap berlebihan dalam mengejar materi.
  3. Menghadapi Perubahan dengan Penerimaan dan Kesabaran
    Salah satu ciri utama kehidupan modern adalah perubahan yang cepat. Baik perubahan sosial, teknologi, maupun perubahan kehidupan pribadi, memerlukan sikap tenang dan sabar dalam menghadapinya. Stoikisme Islam mengajarkan untuk selalu bertawakal kepada Allah SWT setelah berusaha sebaik mungkin, serta menerima apa pun hasilnya sebagai ketetapan-Nya.

Kesimpulan

Kehidupan modern membutuhkan ketenangan batin dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan. Pandangan stoik dalam Islam, yang banyak diwakili oleh konsep-konsep seperti kesabaran, penerimaan takdir, dan pengendalian diri, mampu menjadi landasan hidup yang kokoh. Dengan menerapkan nilai-nilai ini, seseorang tidak hanya mampu bertahan di tengah tantangan arus modernitas, tetapi juga mencapai kebahagiaan sejati yang tidak bergantung pada keadaan empiris duniawi.

Referensi yang digunakan dalam artikel ini antara lain dari karya Epictetus Discourses, Marcus Aurelius Meditations, serta kitab-kitab klasik ulama Islam seperti Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali dan Madarij As-Salikin karya Ibn Qayyim Al-Jawziyyah.

Semoga Bermanfaat. Wallohu a’lam.