darulmaarif.net – Indramayu, 08 Maret 2023 | 11.00 WIB

Dalam sebuah relasi sosial di masyarakat, memiliki orang-orang yang kita sayang dan menyayangi kita merupakan harapan setiap orang. Terlebih, kasih sayang itu dicurahkan sepenuh hati baik dalam ucapan maupun perbuatan. Namun pada kenyataannya, kita tidak jarang menemukan banyak hal dari kebencian orang lain kepada kita. Tentu saja, yang demikian membuat kita tidak enak hati bahkan turut membenci orang yang berperangai buruk terhadap kita. Baik dari ucapannya maupun perbuatannya.
Islam mengatur dan mengajarkan seluruh aspek kehidupan, termasuk didalamnya adalah relasi sosial dengan orang lain. Melihat orang lain yang punya perkataan baik kepada kita tentu menjadi harapan semua orang. Namun, kadang kala, hidup ini penuh dengan onak duri yang tak semua apa yang kita inginkan sesuai dengan pandangan hidup kita. Meski kita sudah berbuat baik untuk orang lain, kadang malah dibalas air tuba. Menyakitkan, tentu saja.
Di lain sisi, Kadang-kadang kesalahan orang lain atau yang menyebabkan orang lain berlaku buruk kepada kita justru datang dari ucapan kita sendiri. Yang tentu saja kadang sering tidak kita sadari bahwa orang lain berbuat demikian karena kesalahan kita dalam berbicara, sehingga menimbulkan efek buruk untuk kita sendiri. Dalam banyak kitab-kitab Akhlak Tasawuf, ada bab khusus yang menjelaskan tentang bahaya lisan (afatul lisan). Mengenai hal tersebut, dalam kitab Arba’inan Nawawi karya Imam Syarofuddin Yahya An-Nawawi hadits ke-15 yang berbunyi:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ.
Artinya: “Barang siapa yang beriman kepada Alloh dan Hari Akhir, maka hendaklah dia berkata baik atau cukup diam.” (HR. al-Bukhori dan Muslim).
Untuk itu, Islam mengajarkan etika dalam berbicara dengan memperhatikan apa yang diajarkan baginda Nabi Muhammad Saw kepada ummatnya. Nabi menyampaikan kepada kita beberapa hal yang perlu diperhatikan agar kita menjaga lisan kita dalam berbicara. Orang yang dibenci oleh Baginda Nabi Muhammad Saw adalah orang yang banyak bicara dengan dibuat-buat dan orang yang sombong.
Seperti hadits yang disampaikan oleh sahabat Jabir berikut ini:
عن جابر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إن من أحبكم إلي وأقربكم مني مجلسا يوم القيامة أحاسنكم أخلاقا وإن أبغضكم إلي وأبعدكم مني مجلسا يوم القيامة الثرثارون والمتشدقون والمتفيهقون قالوا يا رسول الله قد علمنا الثرثارون والمتشدقون فما المتفيهقون قال المتكبرون
Artinya: “Dari sahabat Jabir sesungguhnya Rasululloh Saw bersabda: ‘Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat tempat duduknya denganku pada Hari Kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya. Sesunguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh tempat duduknya dariku pada Hari Kiamat adalah (ats-tsartsarun), (al-mutasyaddiqun) dan (al-mutasyaddiqun). Para sahabat bertanya: ‘Wahai Rosululloh, kami mengerti tentang ats-tsartsarun dan al-mutasyaddiqun. Lalu apa yang dimaksud dengan al-mutafaihiqun’, kemudian beliau menjawab: ‘Dialah orang yang sombong.'”
Imam At-Tirmidzi berkata:
والثرثار هو الكثير الكلام والمتشدق الذي يتطاول على الناس في الكلام ويبذو عليهم
Artinya: “Yang dimaksud dengan Tsartsar adalah banyak bicara, dan yang dimaksud dengan mutasyaddiq adalah orang yang memperpanjang pembicaraan dihadapan manusia dan berkata kotor kepada mereka.”
Dalm kitab Tuhfatul Ahwadzi karya Abu al-‘Ula Muhammad Abdurrahman Al-Mubarokfuri:
قوله الثرثارون ، وفي النهاية الثرثارون هم الذين يكثرون الكلام تكلفا وخروجا عن الحق ، والثرثرة كثرة الكلام وترديده .
Artinya: “Tsartsarun dalam kitab An-Nihayah adalah mereka yang banyak bicara secara dibuat-buat dan keluar dari kebenaran. Tsartsaroh adalah banyak bicara dan mengulang ulanginya.”
( والمتشدقون ) قال في النهاية : المتشدقون هم المتوسعون في الكلام من غير احتياط واحتراز ، وقيل أراد بالمتشدق المستهزئ بالناس يلوي شدقه بهم وعليهم انتهى ، والشدق جانب الفم
Artinya: “Mutsyaddiqun dalam kitab An-Nihayah adalah mereka yang memperlebar pembicaraan tanpa berhati-hati, waqila maksud mutasyaddiq adalah yang memperolok manusia yang membengkokkan sudut mulutnya kepada mereka dan atas mereka. As-Syadq adalah sudut mulut.”
( والمتفيهقون ) هم الذين يتوسعون في الكلام ويفتحون به أفواههم ، مأخوذ من الفهق وهو الامتلاء والاتساع ، كذا في النهاية . قيل وهذا من الكبر والرعونة ،
Artinya: “Al-Mutafaihiqun adalah mereka yang memperlebar pembicaraan dan membuka mulut mereka. Kalimat tersebut diambil dari kata al-fahq yang artinya penuh dan luas. Seperti itulah keterangan dalam kitab Al-Nihayah. Dikatakan bahwa al-fahq adalah termasuk bagian dari kesombongan dan kebodohan.”
وقال المنذري في الترغيب: الثرثار بثائين مثلثتين مفتوحتين هو الكثير الكلام تكلفا ، والمتشدق هو المتكلم بملء شدقه تفاصحا وتعظيما لكلامه ، والمتفيهق أصله من الفهق وهو الامتلاء ، وهو بمعنى المتشدق لأنه الذي يملأ فمه بالكلام ويتوسع فيه إظهارا لفصاحته وفضله واستعلاء على غيره ، ولهذا فسره النبي صلى الله عليه وسلم بالمتكبر انتهى.
Al-Mundziri dalam kitab At-Targhib berkata : ” tsartsar dengan dua huruf tsa’ yang difathah artinya banyak bicara dengan dibuat-buat. Mutasyaddiq adalah orang yang berbicara dengan memenuhi sudut mulutnya agar terlihat fasih dan agung bagi ucapannya. Mutafaihiq asalnya dari al-fahq yang artinya terisi penuh, dan mutafaihiq ini semakna dengan mutasyaddiq karena dia memenuhi mulutnya dengan ucapan dan memperlebar ucapan dengan memperlihatkan kefasihan, keutamaan dan penguasaan terhadap orang lain. Oleh karena inilah Nabi shollallohu alaihi wasallam menafsirinya dengan orang yang sombong.
Dengan memperhatikan hal tersebut, semoga kita termasuk golongan orang yang tidak dibenci oleh Baginda Nabi Muhammad Saw. Serta menjauhkan diri kita dari kebencian orang lain yang bisa jadi disebabkan oleh ucapan kita sendiri.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.