darulmaarif.net – Indramayu, 09 Mei 2023 | 11.00 WIB
Kalau jaman dahulu, masih banyak orang yang menuntut ilmu di pesantren dengan kemauan dan tekad sendiri. Para orangtua hanya mampu mendukung dengan doa restu, sedangkan si anak harus mencari bekal sendiri. Muncullah kelompok santri yang disebut santri kasab atau santri pekerja. Mereka belajar dan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan di pesantren.
Lain dulu lain sekarang. Karena perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, pergaulan anak semakin mengkhawatirkan para orangtua. Sehingga demi menyelamatkan anak dari pengaruh buruk pergaulan, dan agar lebih mudah dibentuk menjadi anak saleh, para orangtualah yang berinisatif memondokkan putra-putrinya ke pesantren.
Sehingga orangtua harus menerapkan berbagai cara agar si anak mau mondok. Demi anaknya tetap di pesantren, terkadang mereka yang anaknya sudah melewati tingkat kenakalan yang membuat pengurus angkat tangan, masih saja bersikeras agar anaknya tetap di pesantren.
Nah, terkait para orangtua yang bersemangat memondokkan anaknya, kelima sikap berikut ini layak diperhatikan. Karena, menurut pengalaman yang saya dengar dari para ustaz dan pengasuh pesantren, orangtua yang memiliki sikap tersebut anaknya justru kebanyakan tidak sukses menempuh pendidikan di pesantren. Berikut 5 sikap itu:
1. Terlalu Memanjakan Anak
Sebagian orangtua, bahkan di antaranya adalah alumni pesantren, terlalu memanjakan anaknya dengan memberi uang bekal berlebihan. Bagi alumni pesantren, khususnya yang dulunya di pesantren mengalami masa-masa sulit, hal itu dipicu keinginan agar anaknya tidak mengalami penderitaan seperti saat mereka dulu nyantri. Sebaliknya, bagi orangtua yang kaya dan bukan alumni pesantren, hal itu karena mereka ingin anaknya lebih tenang belajar.
Dalam sebagian kasus memang santri yang didukung dana berlebih bisa lebih tekun belajar. Namun sebatas yang saya jumpai di pesantren dan kata para santri senior, santri anak orang kaya biasanya justru kurang tekun belajar. Mereka terlena dengan nikmatnya punya uang banyak. Di pesantren, membelanjakan uang lebih leluasa ketimbang saat di rumah. Setiap bulan, “gajian” sudah pasti. Kalau di rumah, harus meminta dulu kalau ingin beli ini dan itu.
2. Terlalu Kritis terhadap Kebijakan Pesantren
Ada loh orangtua yang tidak terima kalau anaknya terkena hukuman karena pelanggaran di pesantren. Banyak bahkan. Kebijakan pengasuh dan pengurus pesantren mereka kritik habis-habisan. Seperti supporter bola yang mengomentari pertandingan, orangtua model ini menyodorkan berbagai usulan seolah ia paling tahu cara mendidik santri.
Kadang ia membanding-bandingkan satu pesantren dengan pesantren lainnya di hadapan kiai atau pengurus pesantren yang mendidik anaknya. “Kalau di pesantren A itu begini, di pesantren B itu bagitu, harusnya pesantren sini bisa seperti mereka.” Sebenarnya, pengasuh maupun pengurus kalau menghadapi orang macam ini menahan diri agar tidak kelepasan omong seperti begini: “Ya sudah anak bapak pondokkan ke sana saja!”
Menjaga perasaan pengasuh dan pengurus pesantren perlu diperhatikan para orangtua. Kalau tidak setuju dengan satu pesantren, kurang puas dengan cara mendidiknya, Anda bisa pindahkan ke pesantren lain, tapi dengan cara yang baik dan tidak perlu merendahkan, meremehkan, atau membandingkan satu pesantren dengan lainnya di hadapan pengasuhnya dengan nada mengkritik.
3. Kurang Mengerti Kenakalan Anak
Ada juga sebagian wali santri yang anaknya mengalami hukuman terberat berupa pemulangan atau pencabutan status anak didik, justru membela anaknya habis-habisan. Mereka merasa paling mengerti tingkah anaknya dan tidak terima saat pesantren memulangkan anaknya karena suatu kasus. Mereka beranggapan bahwa pesantren tidak becus membenahi sikap anaknya. Kadang malah ada yang membela sang anak dan mengatakan anaknya di rumah selalu bersikap baik.
Pesantren, sebagaimana umumnya lembaga pendidikan, ada saat di mana merasa sudah tidak mampu menangani kenakalan salah satu santri. Dalam kondisi ini, demi menghindari efek penularan kenakalan, maka keputusan paling umum adalah memulangkan santri yang sudah parah itu ke orangtuanya.
Kalau Anda tanyakan, bukankah pesantren itu ibarat bengkel moral yang siap mendandani kerusakan santri? Jawabnya, bengkel motor atau mobil saja ada kalanya angkat tangan terhadap kerusakan kendaraan yang benda mati, apalagi pesantren yang membengkeli makhluk hidup.
4. Kurang Perhatian Terhadap Anak
Satu diantara sikap orangtua yang mendorong kegagalan santri yaitu kurang perhatian pada perubahan atau kemuduran anaknya.
Orang-tua jenis ini tidak pernah bertanya pada anaknya telah tiba tingkat apa madrasah diniyahnya? Telah selesaikah pekerjaan hafalannya, dan lain-lain. Mereka cuma memikirkan bagaimana membekali anaknya dengan duit yang cukup.
Jadi saat terbongkar kenyataan kalau anaknya di pesantren nyatanya kurang giat belajar serta condong tidak mematuhi ketentuan, mereka terperanjat. Beberapa lantas berlaku seperti kurang mengerti kenakalan anaknya.
Beberapa yang lain terasa kalau nyatanya pesantren bukanlah tempat melakukan perbaikan moral atau akhlak, namun tempat bersemainya perangai jelek yang menular. Ia berasumsi pergantian jelek pada anaknya yaitu lantaran ketakmampuan pesantren mendidik santri.
5. Sangat Memaksakan Kehendak
Sekarang ini umumnya anak mondok bukanlah murni hasrat sendiri. Dorongan orangtua bahkan juga paksaan adalah latar belakang paling umum untuk santri. Masalahnya, orangtua yang sangat memaksakan kehendak supaya anaknya belajar di pesantren nyatanya malah bikin si anak tertekan.
Pada akhirnya waktu di pesantren malah melampiaskannya lewat cara melakukan tindakan sesuka hati. Repotnya, paksaan pada anak supaya nyantri di pesantren umumnya digabungkan dengan poin ketiga, memanjakan anak dengan bekal berlebihan.
Memanglah, untuk memasukkan anak supaya belajar di pesantren mesti ada paksaan, namun butuh diperhatikan supaya paksaan itu lewat cara sehalus mungkin saja. Mungkin saja juga butuh mengimingi-imingi si anak dengan hadiah dan sebagainya, tetapi jangan pernah terperosok memanjakannya di pesantren.
Bila telah buntu, si anak memanglah tak dapat di pesantren serta memiliki bakat ketrampilan diluar pesantren, mintalah ia supaya ingin menolong Kamu penuhi keharusan membekali anak dengan pengetahuan agama lewat cara mencicipi belajar pesantren.
Mintalah ia untuk mondok sebentar saja. Mungkin saja kelak sesudah di pesantren, malah ia temukan segi enaknya serta jadi kerasan disana.
Sebagai catatan, ke 5 sikap itu tak punya pengaruh pada santri yang memanglah miliki hasrat kuat dari dianya untuk belajar di pesantren. Ingin bekalnya sedikit atau banyak, di perhatikan atau tidak, mereka tetaplah semangat belajar.
Mudah-mudahan anak kita yang awal mulanya sangat terpaksa, sesudah masuk pesantren dapat temukan motivasi dari dianya serta jadi santri yang berhasil dalam menimba ilmu yang bermanfaat di pondok pesantren.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.