2 Konsep Dalam Membangun Self-Compassion dalam Islam

darulmaarif.net – Indramayu, 10 Januari 2023 | 08.00 WIB

Memiliki keadaan atau kesehatan psikologis yang baik tentunya berkat adanya atau tertanamnya mindset yang baik pula baik terhadap diri sendiri maupun orang-orang disekitar kita, sebagaimana manusia yang merupakan makhluk sosial.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kita terkadang terjebak dalam mindset negatif yang muncul karena sebuah ‘kegagalan’ atau ‘kesalahan’ yang kita perbuat, sehingga kemudian kita terlarut dalam rasa inferioritas (kurang bersyukur). Merasa inferior atau merasa tidak berdaya, kurang baik, kurang berusaha lebih atau merasa gagal jika tidak dengan segera diatasi atau hanya dibiarkan mengkonsumsi akal sehat kita tanpa melakukan tindakan antisipasi cepat dan bijaksana dapat berujung munculnya simptom-simptom depresi.

Self-compassion itu sendiri merupakan terlibatnya tingkat sensitivitas kita terhadap sebuah ketidakberuntungan, penderitaan, atau kesengsaraan yang dipasangkan dengan keinginan dalam diri yang mendalam untuk meringankan atau mengakhiri negativitas-negativitas dalam hidup tersebut.

Maka dari itu, untuk dapat menanamkan self-compassion (welas asih dalam diri) mula-mula kita harus mengetahui atau menerima adanya bentuk rasa sakit, yang merupakan perumpamaan dari ketidakberuntungan apapun yang kita rasakan, alami, atau lalui dalam takdir hidup, hingga kemudian memiliki keinginan untuk memusnahkan atau setidaknya meringankannya demi kebaikan kesehatan psikologis kita sendiri.

Dalam ranah Islam, hal semacam ini sudah sangat banyak dibahas dalam kitab-kitab akhlak tasawuf. Membangun konsep Self-Compassion dalam Islam terkait perasaan inferioritas dalam menyikapi takdir hidup, Islam menawarkan dua konsep utama dalam menciptakan kebahagiaan berupa Self-compassion. Yang dimana, kedua konsep tersebut akan bermuara pada kesadaran ridlo terhadap segala keputusan takdir-Nya hingga merasakan lezatnya iman. Pertama, Islam menerangkan konsep sabar. Kedua, Islam menerangkan konsep syukur. Dua hal ini, yakni sabar dan syukur merupakan hal yang harus senantiasa ada dalam pribadi seorang Muslim, jika ia hendak hidup dalam naungan self-compassion (welas-asih pada diri sendiri).

Dalam Al-Qur’an, Alloh juga memuji secara khusus hamba-hamba-Nya yang memiliki dua sifat ini sebagai orang-orang yang bisa mengambil pelajaran ketika menyaksikan tanda-tanda ke-mahakuasaan Alloh. Alloh berfirman:

إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ

Artinya: “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kemehakuasaan Allah) bagi setiap orang yang sangat sabar dan banyak bersyukur.” (Q.s Luqman: 31).

Iman sendiri terdiri dari dua bagian. Sebagian sabar dan sebagian lagi lain adalah syukur, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ghozaly dalam kitab Al-Mursyidul Amin Ilaa Mau’idzotil Mu’minin (hal 184):

إعلم أنّ الإيمن نصفان: نصف صبر، ونصف شكر على ما شهدت به

“Iman terdiri dari dua bagian: sebagian sabar dan sebagian lagi adalah syukur, sebagaimana yang telah banyak saya saksikan pada hadits-hadits Nabi dan atsar sahabat.”

Self-compassion dengan sabar

Dalam kaitan dengan hal ini, Rosululloh Saw ditanya tentang iman yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad nya, dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf nya, dari Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhuma:

أنّ النَّبيّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- سُئِل: أيُّ الإيمان أفضل؟ قال: الصَّبر والسَّماحة

Beliau saw menjawab: “Pokoknya iman adalah sabar & murah hati”. Beliau Saw bersabda:
Sabar adalah gedung (yang sangat berharga) dari gedung-gedung surga”.

Menurut Imam Ghozaly, sabar tersusun dari tiga unsur,

أنّ الصبر مركب من العلم والعمل والحال؛ فالعلم فيه كالشجر، والحال كالأغصان، والعمل كالثمار.

Pertama, ilmu (yaqin) yang laksana pohon. Kedua, Perilaku batin laksana ranting. Ketiga, amal laksana buah.

Seseorang hendaknya yaqin bahwa kemaslahatan agama dirinya terletak pada sabar. Penanaman yaqin tersebut akan menumbuhkan kekuatan batin yg mendorong seseorang untuk melaksanakan sabar. Karena Seseorang tidak mudah melaksanakan amal kecuali dengan yaqin. Kadar amal seseorang sesuai dengan kadar yaqinnya.

Macam-macam sabar

Pertama, dalam melaksanakan ibadah dan mengendalikan hawa nafsu.
Pengendalian hawa nafsu & syahwat membutuhkan kesabaran, sehingga seseorang dalam hal-hal yang diperbolehkan tidak melewati batasan kewajaran sampai pada level berlebih-lebihan.

Prinsip sabar dalam ibadah adalah ia yaqin bahwa kesabaran di dunia hanya dalam waktu yang sebentar, dan akan mengantarkan pada keberuntungan yang abadi di akhirat.
Kesabaran dalam ibadah membutuhkan pada kesabaran jangan sampai ibadahnya dibumihanguskan dengan riya’ (pamer), sum’ah (haus pujian) dan ‘ujub (berbangga diri).

Kedua, sabar memikul derita akibat hinaan & cacian orang lain. Sebagaimana yg dijelaskan surat Ibrahim (14): 12.

Hadhrotusy Syaikh KH. Achmad Asrori Al Ishaqy ra.: “Jadikanlah cacian dan hinaan orang lain pada kita sebagai pupuk atau rabuk yg akan menyuburkan batin kita”.

Ketiga, sabar menghadapi kenyataan hidup yg tidak diinginkan. Seperti musibah, sakit, kehilangan orang yang kita cintai dan lain sebagainya.

Sayyidina Ibn Abbas Ra berkata: “Ada 3 jenis sabar dalam Al-Qur’an. Pertama, sabar dalam menjalankan kewajiban dari Alloh swt. Baginya akan dianugerahi 300 derajat. Kedua, sabar meninggalkan larangan Alloh. Baginya akan dianugerahi 600 derajat. Ketiga, sabar dalam menghadapi musibah saat menimpanya. Baginya akan dianugerahi 900 derajat”.

Tentunya semuanya membutuhkan perjuangan dan pengolahan jiwa dalam waktu yg tidak sebentar.

Self-compassion dengan syukur

Keutamaan syukur dibuktikan dengan bahwa Alloh menggandeng syukur bersama dzikir. Padahal mengingat Alloh adalah sesuatu yg besar, agung dan dahsyat. Sebagaimana yang ditunjukkan surat Al-Ankabut (29): 45; Al-Baqarah (2): 152; Ali ‘Imran (3): 144; Saba’ (34): 13.

Rosululloh Saw bersabda:

حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ حُمَيْدِ بْنِ كَاسِبٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْنٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْأُمَوِيِّ عَنْ مَعْنِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ عَلِيٍّ الْأَسْلَمِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ الطَّاعِمُ الشَّاكِرُ بِمَنْزِلَةِ الصَّائِمِ الصَّابِرِ

Telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Humaid bin Kasib berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ma’n dari Bapaknya dari Abdullah bin Abdullah Al Amawi dari Ma’n bin Muhammad dari Hanzhalah bin Ali Al Aslami dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Orang yang makan lagi bersyukur seperti seorang yang berpuasa lagi bersabar. “

Sebagaimana sabar, syukur juga terbangun dengan tiga pondasi: Pertama, Ilmu (yaqin). Kedua, hal (perilaku batin). Ketiga, perbuatan.

Jelasnya, hakikat syukur adalah kesadaran bahwa tidak ada yang memberi nikmat kecuali Alloh semata. Kesadaran ini jika diintegrasikan dengan konsep self-compassion pada diri seseorang, maka ia akan sadar bahwa dirinya, ilmu, pengetahuan, kecukupan kebutuhan hidup dan kehidupannya, semuanya adalah nikmat dan anugerah Alloh Swt, sehingga akan lahir kegembiraan dengan Allah swt atas limpahan nikmat dan anugerah padanya.

Oleh karena itu, Hadhrotus Syekh KH. Achmad Asrori Al-ishaqy ra. mendefinisikan syukur adalah terbuka dan gembiranya hati akibat ia menyadari dan menyaksikan anugerah Allah swt (syhuhudu minatu Robbi).

Kegembiraan ini akan memunculkan aktifitas dan gerakan hati, lisan dan anggota lahir.

Oleh karena itu, Sayyidina Syaikh Zakariya Al-Anshori ra. mendefinisikan syukur adalah mendayagunakan seseorang pada semua yang dilimpahkan oleh Alloh Swt untuk tujuan penciptaan manusia, yakni ‘ibadah, ‘ubudiyyah maupun ‘abudah sesuai dengan tingkatan iman masing-masing.

Macam-macam syukur

Dari beberapa definisi di atas, syukur dapat dipetakan menjadi tiga.

Pertama, syukur dengan lisan. Yaitu memuji Alloh swt atas limpahan nikmat dan anugerah.

Kedua, syukur anggota lahir. Yakni, semua nikmat Alloh padanya digunakan untuk taat kepada Alloh swt. dan menjaganya dari berbuat maksiat. Mata digunakan untuk membaca Al-Qur’an, ilmu syari’at dan segala kebaikan. Tidak digunakan untuk melihat hal-hal yang dilarang oleh Alloh Swt. Kaki digunakan untuk melangkahkan menuju sholat berjamaah, belajar, majlis dzikir dan kebaikan yg lain. Telinga digunakan untuk mendengarkan bacaan Al-Qur’an, Maulid, Manaqib dan kebaikan yang lain.Dan seterusnya.

Ketiga, syukur dengan hati. Yakni menyadari dan meyakini bahwa tidak ada nikmat berupa anugerah dan kebaikan kecuali hanya dari Alloh semata.

Diriwayatkan bahwa Nabi Musa A.s dan Nabi Dawud A.s pernah bertanya kepada Alloh Swt: Ya Alloh, bagaimana saya mampu bersyukur kepadamu? Padahal bersyukurnya kami atas semua nikmat-nikmat-Mu adalah nikmat yang harus kami syukuri.

Alloh Swt menjawab: ketika itu maka kalian telah bersyukur.

Kesadaran seseorang bahwa ia tidak mampu bersyukur seperti yang dirasakan oleh kedua Nabi tersebut merupakan bagian dari Ma’rifat Billah.

Hal ini, sebagaimana yang disampaikan oleh Sayyidina Abu Bakar Al-Shiddiq ra: “العجز بالإدراك إدراك”- kesadaran diri lemah tidak berdaya untuk idrak (berma’rifat) adalah hakikat kema’rifatan.

Dengan memahami dua konsep tersebut, yakni sabar dan syukur. Maka, kita dapat membangun hakikat self-compassion, kesadaran diri akan welas asih pada diri sendiri. Yang dimana, Islam telah mengajarkan secara jelas tujuan penciptaan manusia hidup di dunia demi meraih kebahagiaan yang sejati.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.