darulmaarif.net – Indramayu, 28 Agustus 2024 | 14.00 WIB
Seringkali kita mendengar tuduhan bahwa guru agama, atau ustadz ustadzah yang mengajar ilmu agama yang berniat mencari uang dengan aktivitas mengajarnya dikatakan sebagai guru yang tidak ikhlas. Atau guru agama yang dinilai menukar pahala akhirat demi remeh-temeh harta duniawi. Sementara itu, guru agama, atau ustadz dan ustadzah juga merupakan manusia pada umumnya yang butuh menafkahi keluarga. Apalagi jika seorang guru agama, ustadz dan ustadzah tersebut memiliki tanggungan berupa kewajiban memberi nafkah kepada anak dan istri, atau kepada orangtua nya.
Apakah guru agama atau ustadz ustadzah yang mengajar dengan sistem gaji bisa dikatakan sebagai guru yang ikhlas? Ataukah guru yang mengharapkan gaji dari aktivitas mengajarnya masih mendapatkan pahala di akhirat? Mari kita simak penjelasan berikut ini.
Merujuk pandangan terkait amal kebaikan yang tercampur dengan motif-motif duniawi, ada penjelasan menarik dari Al-Imam Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad Al-Ghozaly. Menurut Hujjatul Islam tersebut dalam kitabnya Ihya ‘Ulumiddin bahwa guru agama yang berharap gaji masih mendapatkan pahala, jika memang ketika mereka mengharapkan gaji dengan niat untuk memenuhi nafkah keluarga, sama halnya dengan pekerjaan yang lain. Hal ini berdasarkan apa yang difatwakan oleh “Majma’ Al-Fiqhul Islami: jika tidak mengambil upah niscaya mereka tidak akan mempunyai sumber untuk menghidupi kehidupan mereka…”. Ibn Hajar dalam Kitab Hasyiyah Manasik “al iidlaah” halaman 40, cetakan Daar al hadits Beirut mengatakan:
… أَمَّا لَوْ قَصَدَهَا لِكِفَايَةِ عِيَالِهِ فَيَنْبَغِيْ أَنْ يَحْصُلَ لَهُ الثَّوَابُ
Artinya: “….Adapun jika bertujuan untuk mencukupi keluarganya, maka seyogyanya dia mendapatkan pahala.
Adapun kegiatan mengajarnya, itu tergantung baitsnya (الباعث) motifnya atau pendorongnya, kalau seumpama meskipun tidak digaji ia tetap mengajar maka dari sini baistnya adalah keihklasan mengajar, atau lebih dominan baitsnya mengajar meskipun ia juga berharap gaji tersebut, itu tetap mendapat pahala mengajar.
Pandangan Imam Al-Ghozaly seperti ini seiring firman Alloh Ta’ala yang tak akan pernah menyia-nyiakan amal kebaikan manusia sedikit apapun. Alloh Swt berfirman:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ (٧) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (٨
Artinya, “(7) Siapa saja mengerjakan kebaikan seberat biji dzarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya; (8) dan siapa saja mengerjakan kejahatan sebesar biji dzarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya pula,” (QS. Az-Zalzalah: 7-8)
Menurut Imam Al-Ghozaly, guru agama atau ustadz ustadzah yang dalam aktivitas mengajarnya memiliki motif mencari keuntungan duniawi, tidak serta merta dituduh sebagai guru agama yang tidak ikhlas. Tidak lantas digebyah uyah sebagai guru yang menjual agama demi keuntungan duniawi semata.
Sudah semestinya kita melihat niat dan motif guru agama atau ustadz ustadzah yang mengajar ilmu agama tersebut. Jika motifnya seimbang antara mendidik anak bangsa agar paham ilmu agama sekaligus memenuhi kewajiban mencari nafkah, maka tidak masalah.
Namun bila niat dan motif mengajarnya karena duniawi semata, hal ini yang patut dihindari. Karena selain niatnya salah dan dosa, guru agama, ustadz ustadzah yang demikian akan disika di akhirat kelak.
Referensi :
- Ihya’ Ulumiddin Imam Al-Ghozaly
ﻭﺃﻣﺎ اﻟﺜﺎﻧﻲ ﻓﻬﻮ ﺃﻥ ﻳﺠﺘﻤﻊ ﺑﺎﻋﺜﺎﻥ ﻛﻞ ﻭاﺣﺪ ﻣﺴﺘﻘﻞ ﺑﺎﻹﻧﻬﺎﺽ ﻟﻮ اﻧﻔﺮﺩ
ﻭﻣﺜﺎﻟﻪ ﻣﻦ اﻟﻤﺤﺴﻮﺱ ﺃﻥ ﻳﺘﻌﺎﻭﻥ ﺭﺟﻼﻥ ﻋﻠﻰ ﺣﻤﻞ ﺷﻲء ﺑﻤﻘﺪاﺭ ﻣﻦ اﻟﻘﻮﺓ ﻛﺎﻥ ﻛﺎﻓﻴﺎً ﻓﻲ اﻟﺤﻤﻞ ﻟﻮ اﻧﻔﺮﺩ ﻭﻣﺜﺎﻟﻪ ﻓﻲ ﻏﺮﺿﻨﺎ ﺃﻥ ﻳﺴﺄﻟﻪ ﻗﺮﻳﺒﻪ اﻟﻔﻘﻴﺮ ﺣﺎﺟﺔ
ﻓﻴﻘﻀﻴﻬﺎ ﻟﻔﻘﺮﻩ ﻭﻗﺮاﺑﺘﻪ ﻭﻋﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻟﻮﻻ ﻓﻘﺮﻩ ﻟﻜﺎﻥ ﻳﻘﻀﻴﻬﺎ ﺑﻤﺠﺮﺩ اﻟﻘﺮاﺑﺔ ﻭﺃﻧﻪ ﻟﻮﻻ ﻗﺮاﺑﺘﻪ ﻟﻜﺎﻥ ﻳﻘﻀﻴﻬﺎ ﺑﻤﺠﺮﺩ اﻟﻘﺮاﺑﺔ ﻭﺃﻧﻪ ﻟﻮﻻ ﻗﺮاﺑﺘﻪ ﻟﻜﺎﻥ ﻳﻘﻀﻴﻬﺎ ﺑﻤﺠﺮﺩ اﻟﻔﻘﺮ ﻭﻋﻠﻢ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﻧﻔﺴﻪ ﺑﺄﻧﻪ ﻳﺤﻀﺮﻩ ﻗﺮﻳﺐ ﻏﻨﻲ ﻓﻴﺮﻏﺐ ﻓﻲ ﻗﻀﺎء ﺣﺎﺟﺘﻪ ﻭﻓﻘﻴﺮ ﺃﺟﻨﺒﻲ ﻓﻴﺮﻏﺐ ﺃﻳﻀﺎً ﻓﻴﻪ
ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻣﻦ ﺃﻣﺮﻩ اﻟﻄﺒﻴﺐ ﺑﺘﺮﻙ اﻟﻄﻌﺎﻡ ﻭﺩﺧﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﻳﻮﻡ ﻋﺮﻓﺔ ﻓﺼﺎﻡ ﻭﻫﻮ ﻳﻌﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻟﻮ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻳﻮﻡ ﻋﺮﻓﺔ ﻟﻜﺎﻥ ﻳﺘﺮﻙ اﻟﻄﻌﺎﻡ ﺣﻤﻴﺔ ﻭﻟﻮﻻ اﻟﺤﻤﻴﺔ ﻟﻜﺎﻥ ﻳﺘﺮﻛﻪ ﻷﺟﻞ ﺃﻧﻪ ﻳﻮﻡ ﻋﺮﻓﺔ ﻭﻗﺪ اﺟﺘﻤﻌﺎ ﺟﻤﻴﻌﺎً ﻓﺄﻗﺪﻡ ﻋﻠﻰ اﻟﻔﻌﻞ