Praktik Akad COD (Cash On Delivery) di Marketplace dalam Tinjauan Hukum Islam

darulmaarif.net – Indramayu, 27 Agustus 2024 | 08.00 WIB

Aktivitas bisnis online atau toko online memang telah menjadi populer dalam beberapa tahun terakhir, termasuk metode pembayaran Cash On Delivery (COD). Sebagai bagian dari muamalah bisnis, bisnis bagi seorang Muslim bukan hanya perkara untung rugi, tetapi juga melibatkan pertimbangan moral dan nilai-nilai agama. Oleh karena itu, penting bagi pengusaha Muslim maupun non-Muslim untuk memahami aspek halal-haram dalam bisnis dan muamalah.

Bisnis dalam Islam adalah suatu aktivitas individu atau kelompok/organisasi yang bertujuan untuk memproduksi dan memasarkan barang atau jasa kepada konsumen dengan tujuan memperoleh keuntungan. Namun, bisnis Islami adalah bisnis yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Hal ini berarti bahwa bisnis tersebut harus mematuhi aturan-aturan Islam dalam setiap aspeknya, termasuk dalam transaksi, etika bisnis, dan pelaksanaan keadilan. Bagi seorang Muslim, berbisnis Islami adalah konsekuensi dari keimanan yang dimiliki. Bisnis yang dilakukan haruslah memperhatikan prinsip-prinsip syariah, seperti menghindari riba (bunga), gharar (ketidakpastian), maysir (perjudian), dan menjaga kejujuran serta keadilan dalam setiap transaksi.

Selain itu, bisnis Islami juga harus memberikan manfaat dan menghindari segala bentuk kerugian dan kerusakan bagi masyarakat. Dalam rangka memastikan bisnis yang dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, penting bagi seorang Muslim untuk mempelajari fikih bisnis atau hukum Islam terkait bisnis. Hal ini akan membantu pengusaha untuk memahami batasan-batasan yang harus dipatuhi dan menghindari hal-hal yang haram dalam bisnis.

Dalam tinjauan hukum Islam, praktik akad Cash On Delivery (COD) di e-commerse marketplace dapat dilihat dari perspektif akad jual beli. Secara umum, ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan apakah akad COD ini sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam:

1. Akad Jual Beli (Ba’i)

    Dalam hukum Islam, jual beli harus memenuhi beberapa syarat agar sah:

    Rukun jual beli (Arkanul Bai’): Terdapat penjual, pembeli, barang, dan harga.

    Ijab dan kabul (Al-‘Aqd): Ada kesepakatan antara penjual dan pembeli mengenai barang dan harga.

    Kejelasan objek akad (Al-Muroqobah): Barang dan harga harus jelas serta disepakati oleh kedua belah pihak tanpa ada penipuan atau ketidakpastian (gharar).

    Pada akad COD, transaksi dilakukan secara online, tetapi pembayaran dilakukan setelah barang diterima. Selama barang yang dijual dan harganya sudah jelas dan disepakati, serta tidak ada unsur ketidakpastian, maka akad ini sah dalam Islam. Ijab kabul terjadi ketika pembeli setuju membeli barang tersebut di platform e-commerse dan membayar ketika barang diterima.

    2. Unsur Gharar

      Hukum Islam melarang adanya gharar (ketidakpastian) dalam akad jual beli. Dalam praktik COD, karena barang baru diterima setelah pembayaran, ada kemungkinan gharar jika barang yang dikirim tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Namun, marketplace biasanya memiliki kebijakan pengembalian barang yang melindungi pembeli jika ada ketidaksesuaian, sehingga gharar dapat diminimalisasi.

      3. Halal dan Haram

        Islam mengatur bahwa objek yang diperjualbelikan harus halal dan tidak melanggar ketentuan syariat. Dalam marketplace, barang yang dijual melalui metode COD juga harus mematuhi ketentuan ini, yaitu tidak mengandung unsur yang haram seperti alkohol, daging babi (dan turunannya) atau barang-barang lain yang dilarang dalam Islam.

        4. Tanggung Jawab dan Amanah

          Penjual dan pembeli harus menjaga amanah. Penjual harus mengirimkan barang sesuai dengan deskripsi dan kualitas yang telah dijanjikan. Pembeli harus jujur dalam melakukan pembayaran setelah menerima barang. Akad COD mewajibkan kedua belah pihak untuk memenuhi amanah ini, dan hal ini sesuai dengan prinsip hukum Islam.

          Berdasarkan prinsip-prinsip diatas: jika mengacu pada transaksi COD, beberapa pertimbangan dapat diperhatikanJual beli dengan sistem COD, hukumnya diperinci menjadi dua, yaitu boleh apabila pihak yang dikirimi barang adalah pihak yang kenal dengan penjual. Pihak yang dikirimi harus diawali dengan memesan barang. Apabila tidak ada pesanan, lalu tiba-tiba pihak penjual mengirimkan barang ke alamat tetentu, tanpa adanya kejelasan mengenai terbeli atau tidaknya barang, adalah sebuah tindakan gharar (spekulatif) yang dilarang. Kasus pengiriman barang tanpa pesanan ini belakangan marak terjadi. Entah dari mana pihak penjual memperoleh alamat dan data nama “pembeli”. Sebagian penerima kiriman barang terpaksa membeli, sebagian lain yang lebih kritis secara tegas menolak barang tersebut.

          Kesimpulannya, praktik akad COD di marketplace baik Shopee, Lazada, Tokopedia, BliBli, dan lainnya secara umum dapat dibenarkan dalam hukum Islam selama memenuhi syarat-syarat dan rukun jual beli, menghindari gharar, dan mematuhi aturan halal-haram. Selama akad tersebut dilakukan dengan transparansi, keadilan, dan tanggung jawab, akad COD tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat Islam.

          Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.