darulmaarif.net – Indramayu, 20 September 2024 | 01.00 WIB
Senja perlahan turun, memeluk desa yang sepi itu dengan keheningan yang menyelusup hingga ke tulang. Di ujung jalan setapak, hamparan sawah terbentang, diam membisu seolah menjadi saksi bisu janji yang pernah dibuat di bawah langit yang sama. Di sana, berdiri dua sosok yang dulu saling mencintai—Lara dan Reza. Hari itu, senja menjadi saksi pertemuan yang terlambat.
Reza menatap langit, memandangi awan-awan yang berarak pergi. “Sudah lama, Ra. Kenapa kau kembali sekarang?”
Lara berdiri tak jauh darinya, tampak lebih rapuh dari terakhir kali mereka bertemu bertahun-tahun silam. Wajahnya menyimpan kecantikan yang memudar, menyisakan bekas luka yang tak terlihat oleh mata. Senyum yang dulu selalu memikat, kini tertutup oleh guratan-guratan kesedihan. “Aku ingin pamit,” jawabnya lirih, seperti angin yang lewat. “Hanya itu.”
Reza tertawa kecil, tawa getir yang penuh kepedihan. “Setelah semua ini? Kau hanya ingin pamit?” Dia memalingkan wajahnya dari langit, matanya menyipit, menahan perasaan yang mulai menguasainya. Di depan mereka, senja merangkak semakin dalam, cahaya jingga mulai memudar di balik redupnya horizon.
Lara menunduk, tak sanggup menatap mata Reza. Wajahnya menegang, tubuhnya gemetar tipis, seolah kata-kata Reza menghantamnya keras. “Aku tak tahu harus ke mana lagi,” gumamnya.
“Jadi, kau kembali ke sini?” Reza melangkah mendekat, suara kakinya terdengar jelas di antara gemerisik dedaunan kering pohonan disekitarnya. “Ke tempat di mana kita pernah saling berjanji di bawah senja ini? Di tempat di mana aku menunggumu bertahun-tahun, menanti penjelasan yang tak pernah datang?” Nada suaranya semakin meninggi, amarah yang selama ini terpendam mulai membuncah. “Dan sekarang Ra, kau bilang hanya ingin pamit?”
Lara menggigit bibirnya, menahan getaran lembut di dadanya. Air mata mulai menggenang di sudut matanya, tapi dia tak ingin terlihat lemah. “Reza, aku… aku tidak punya pilihan. Waktu itu, keluargaku terjerat hutang. Mereka memaksa aku menikah dengan orang yang bahkan tak kucintai. Apa yang bisa kulakukan?”
Reza tertawa pahit. “Memaksa? Apa mereka memaksamu untuk mengkhianatiku, Lara?” Matanya menusuk, penuh dengan kemarahan dan kepedihan yang selama ini dia simpan sendiri. “Kau tahu apa yang kau lakukan kepadaku? Kau pergi tanpa kata, tanpa kabar. Lalu kau muncul di pelaminan dengan pria lain. Kau kira aku bisa begitu saja melupakannya?”
Setiap kata yang keluar dari mulut Reza bagai pisau yang menyayat hati Lara. Dia ingin menjelaskan, tapi tak ada kata yang bisa membenarkan kepergiannya. Dia tahu Reza terluka, sama seperti dia, atau mungkin lebih. “Aku tak pernah bermaksud menyakitimu, Reza,” ujarnya dengan suara bergetar. “Aku juga tersiksa, setiap malam aku memikirkanmu. Aku terjebak dalam hidup yang bukan pilihanku.”
“Apa kau pikir hanya kau yang tersiksa?” sergah Reza, nadanya masih tinggi. “Setiap hari aku bertanya-tanya, apa salahku? Kenapa kau tak kembali? Kenapa kau tinggalkan aku begitu saja?”
Lara hanya bisa terdiam. Dia tahu penjelasan apa pun tak akan bisa menyembuhkan luka yang Reza rasakan. Dia tak bisa meminta Reza untuk memahami, tak bisa berharap Reza memaafkannya begitu saja. Dia tahu, tak ada jalan untuk kembali. Tapi rasa cinta itu tetap ada, meski sudah terkubur begitu dalam. Itulah alasan dia kembali. Bukan untuk menuntut apa-apa, tapi hanya untuk mengatakan apa yang selama ini tak sempat terucap.
“Aku tak berharap kau memaafkanku,” Lara akhirnya bersuara setelah keheningan panjang menyelimuti mereka. “Aku hanya ingin kau tahu bahwa selama ini aku tak pernah berhenti mencintaimu. Meski aku harus menjalani hidupku dengan orang lain, hatiku selalu ada untukmu. Setiap pagi, setiap malam, aku memikirkanmu, mas…”
Reza tersentak. Kata-kata Lara menghantam hatinya, menghancurkan pertahanan yang dia bangun selama ini. Tapi dia tak ingin mempercayainya. Tidak, bukan lagi. “Kau mencintaiku? Lalu kenapa kau pergi? Kenapa kau tak pernah kembali?”
“Karena aku tak bisa, Reza,” jawab Lara, air matanya mulai meleleh. “Keluargaku membutuhkan uang. Aku pikir setelah menikah aku bisa melupakanmu, dan bisa hidup bahagia. Tapi ternyata aku salah. Setiap hari adalah penderitaan. Setiap kali aku menatap suamiku, aku melihat bayanganmu disana. Aku merasa hancur, Reza.”
Suasana tiba-tiba begitu hening, ada sayatan kepedihan yang menyelimuti kisah mereka berdua, begitu getir. Dan resam.
Reza menghela napas panjang. Kata-kata Lara terdengar seperti penyesalan yang dalam, tetapi luka di hatinya tak akan mudah sembuh. Meski hatinya berperang antara marah dan rindu, dia tak bisa begitu saja menghapus semua yang terjadi. “Kenapa baru sekarang kau kembali?” tanyanya, nadanya kini lebih tenang, meski tetap terselip kepedihan. “Kenapa setelah bertahun-tahun kau baru bilang ini?”
Lara terdiam sejenak, memandang jauh ke cakrawala yang mulai gelap. “Karena aku tahu, ini akan menjadi yang terakhir kalinya,” jawabnya lirih. “Aku hanya ingin kau tahu sebelum semuanya benar-benar berakhir.”
Reza mengerutkan kening. Ada sesuatu dalam nada suara Lara yang membuat dadanya terasa sesak. “Apa maksudmu?”
Lara menoleh, menatap Reza dengan mata yang basah. “Aku sakit, Reza. Aku tak akan lama lagi.” Dia berusaha tersenyum meski tangisnya pecah. “Aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal.”
Dunia seakan runtuh di atas kepala Reza. Seketika amarah yang tadi dia rasakan menguap, digantikan oleh kepanikan dan kesedihan yang tak tertahankan. “Apa maksudmu, Ra? Kau… kau tak bisa berkata seperti itu!”
Lara hanya tersenyum, senyum yang penuh kepedihan. “Aku datang bukan untuk meminta maaf atau memintamu kembali. Aku tahu, tak ada yang bisa mengembalikan apa yang telah kita lewatkan. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku tak pernah lupa, tak pernah berhenti mencintaimu.”
Reza menatap Lara dalam kebisuan. Dia ingin mengatakan sesuatu, ingin memeluk wanita itu, tapi dia tak bisa bergerak. Lara telah hancur, dan sekarang, dia merasa kehilangan untuk kedua kalinya, kali ini lebih menyakitkan dari sebelumnya. Di balik kata-kata Lara, ada kepastian yang membuat Reza tak bisa bernapas.
“Kau akan baik-baik saja, Ra,” bisik Reza, suaranya hampir tak terdengar. ” Kita bisa memperbaiki semuanya. Kita bisa kembali…”
Lara menggeleng pelan. “Tak ada yang bisa diperbaiki, Reza. Aku akan pergi, dan aku tak akan kembali lagi.”
Sebelum Reza sempat merespons, Lara melangkah pergi. Melangkah perlahan menuju ujung jalan setapak yang semakin memudar di balik senja. Reza tetap berdiri, menatap punggungnya yang semakin menjauh, seolah dibawa pergi oleh angin dan cahaya yang memudar. Hatinya kosong, seperti jalan setapak yang tak berujung di depannya.
***
Esok paginya, tubuh Lara ditemukan tergeletak di ujung jalan, tepat di tikungan. Tidak ada yang tahu apa yang telah terjadi padanya, kecuali Reza. Lara tak pernah benar-benar pergi dari hatinya, tapi kini dia telah pergi untuk selamanya.
Reza berdiri di ujung jalan itu, memandang tanpa berkata apa-apa. Orang-orang berkumpul, saling berbisik, menebak-nebak apa yang menimpa wanita itu. Tapi bagi Reza, semuanya sudah jelas. Lara bukan hanya pamit untuk sekadar pergi; dia pamit untuk selamanya. Hatinya sesak, terlalu banyak hal yang ingin ia katakan kemarin, tapi kini semuanya terlambat.
Reza menatap ke langit, mencoba mencari ketenangan yang tak pernah datang. ‘Sadarlah Reza, bahwa Lara bukan hanya pamit. Dia datang untuk mengucapkan selamat tinggal, untuk selamanya.’ Gumamnya.
Reza menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari jawaban, mencari ketenangan yang selama ini ia dambakan.
Tapi ketenangan itu tak pernah datang.
“Kau telah pergi, Ra,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri. “Dan aku… tak bisa mengikutimu.”
Reza berlutut di samping tubuh Lara, menundukkan kepalanya. Di hatinya, ada ribuan kenangan yang mengalir, seakan waktu terhenti dan membawanya kembali ke masa-masa ketika mereka pertama kali bertemu.
Dengan langkah yang perlahan, Reza pergi, meninggalkan cinta yang tak mungkin kembali. Tapi di dalam hatinya, dia membawa kenangan itu—sepotong cinta yang tak akan pernah pudar, meski dunia terus berputar.
Dan di ujung jalan, senja menunggu untuk menyambut pertemuan terakhir mereka, suatu hari nanti, ketika semuanya kembali seperti dulu—tenang, dan tak ada lagi yang tersisa untuk disesali.
Reza menatap ke langit untuk terakhir kalinya, dan dalam hatinya, dia akhirnya mengerti. Cinta itu tak pernah pergi, hanya berubah menjadi sesuatu yang tak terjangkau oleh tangan, tetapi selalu ada, di sana, di ujung jalan yang tak berujung.
Tamat.