Nalar Inklusif: Akar Persoalan Kekerasan dan Bullying: Mengkaji Dampak Hiper-Realitas Media Sosial terhadap Generasi Muda

darulmaarif.net – Indramayu, 20 September 2024 | 08.00 WIB

Kekerasan dan bullying merupakan dua fenomena yang semakin marak terjadi di tengah masyarakat modern, khususnya di kalangan generasi muda. Di era digital yang terus berkembang, perilaku ini tak hanya terjadi di ruang fisik, tetapi juga dalam bentuk yang lebih abstrak melalui media sosial. Untuk memahami akar persoalan ini, kita dapat menggunakan analisis dari dua pemikir besar: Erich Fromm, seorang psikolog dan filsuf sosial, serta Yasraf Amir Piliang, seorang pemikir kontemporer dalam kajian budaya dan teknologi.

Menurut Erich Fromm, manusia sangat mendambakan kesenangan dan kehidupan yang dramatis. Karenanya, jika ia tidak bisa memperoleh kepuasan yang lebih tinggi, ia akan menciptakan drama kedestruktifan untuk dirinya sendiri. (Fromm, 2000: 16)

Akar kekerasan, kekejaman, dan kekuatan destruktif itu berasal dari hasrat dan keinginan manusia itu sendiri. Itulah yang disebut Erich Fromm sebagai fitrah manusia yang kedua di samping fitrah manusia yang lainnya yang lebih utama, yaitu insting bertahan hidup. Fitrah kedua ini dampaknya luar biasa, jauh lebih dahsyat dari pada fitrah pertama.

Sedangkan menurut Yasraf Amir Piliang, berkembangnya era teknologi menciptakan kekerasan simbolik dan kekejaman digital. Kekerasan simbolik di sini diartikan sebagi segala bentuk perlakuan yang memaksa, bukan hanya sekedar kekerasan fisik, kekerasan psikis (psychical violence) tapi juga masuk di dalamnya kekerasan simbolik (symbolic violence), bahkan ada istilah kekerasan bahasa (language violence), kekerasan citra (image violence), kekerasan mekanikal (mechanical violence) dan kekerasan digital (digital violence) (Piliang, 2001: 140-141).

Sedangkan kekejaman digital dilakukan sebagai bentuk dari hadirnya teknologi media komunikasi dan informasi yang dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk melakukan serangkaian modus dalam mencapai berbagai tujuannya. Sehingga muncul apa yang disebut sebagai teroris virtual, mesin hipnotis, mesin horor yang memiliki dampak psikologis di dalam masyarakat seperti depresi, melankolia (kristeva), trauma, keputusasaan (herman), abjeksi, chaos dan destruksi (dostoevsky) (Piliang, 2001: 209-210).

Kondisi yang demikian akan menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang memilki wacana hiper-moralitas, yaitu kaburnya batas-batas moral di dalam masyarakat. Bahasa moral sudah tidak sanggup memahami kejahatan, simbol moralitas tidak mampu lagi mengungkap
sebuah fakta kebiadaban yang terjadi. Terjadi suatu kondisi di mana ukuran-ukuran moralitas tidak dapat dipegang lagi, dikarenakan situasi yang berkembang telah melampaui batas-batas Good and Evil, batas Truth dan Falseness.

Untuk itu artikel ini mencoba menelusuri akar kekerasan dan bullying yang menjadi fenomena hiper-realitas masyarakat modern di era digital. Dampak destruktif dari mesin-meisn digital yang mempengaruhi, mengaburkan dan mengubah kondisi psikis masyarakat digital saat ini.

Erich Fromm: Kebutuhan Manusia akan Kebebasan dan Kecenderungan Destruktif

Erich Fromm dalam karya-karyanya banyak mengupas tentang kebebasan, cinta, dan destruktivitas manusia. Menurut Fromm, pada dasarnya manusia mendambakan kebebasan, tetapi kebebasan itu sendiri dapat menjadi sumber kecemasan. Ketika kebebasan tidak dikelola dengan baik, ia dapat memunculkan dua reaksi ekstrem: kecenderungan kreatif atau destruktif. Dalam konteks kekerasan dan bullying, kecenderungan destruktif seringkali muncul sebagai cara untuk merespons ketidakmampuan seseorang dalam mengatasi kecemasan dan ketakutan.

Fromm menjelaskan bahwa kebebasan yang tidak diimbangi dengan rasa tanggung jawab dan cinta, cenderung membuat individu merasa teralienasi dari dirinya sendiri maupun dari lingkungannya. Alienasi ini kemudian dapat memunculkan sikap permusuhan dan agresi. Dalam lingkungan yang semakin digital dan terhubung seperti saat ini, alienasi sosial semakin terasa karena interaksi manusia lebih banyak dilakukan melalui perangkat digital daripada secara langsung. Hal ini seringkali membuat individu, terutama generasi muda, merasa terisolasi meski secara teknis mereka “terhubung” dengan banyak orang. Ironi ini menjadi salah satu faktor pendorong timbulnya kekerasan dan bullying, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Dalam ruang media sosial, kebebasan berpendapat dan berekspresi sering kali disalahgunakan. Individu merasa terlindungi oleh anonimitas atau jarak fisik yang diciptakan oleh teknologi, sehingga berani melakukan kekerasan verbal atau bullying secara daring. Kekerasan ini adalah manifestasi dari apa yang disebut Fromm sebagai kecenderungan destruktif, di mana individu yang merasa tertekan oleh berbagai masalah pribadi atau sosial, melampiaskannya dalam bentuk agresi terhadap orang lain.

Yasraf Amir Piliang: Hiper-Realitas dan Pengaburan Identitas

Dalam kajian budaya kontemporer, Yasraf Amir Piliang memperkenalkan konsep hiper-realitas yang diadaptasi dari pemikiran Jean Baudrillard. Hiper-realitas mengacu pada kondisi di mana batas antara realitas dan representasi realitas menjadi kabur. Dalam konteks media sosial, realitas yang kita konsumsi tidak lagi merupakan refleksi langsung dari kehidupan nyata, melainkan sebuah konstruksi yang dipoles dan diatur agar terlihat lebih menarik, lebih sempurna, dan kadang lebih ekstrem dari kenyataan.

Yasraf Amir Piliang menyatakan bahwa media sosial menciptakan dunia hiper-realitas di mana individu tidak lagi memedulikan autentisitas diri. Alih-alih, mereka berlomba-lomba menciptakan citra yang menarik dan ideal, yang seringkali jauh dari kenyataan. Ini menyebabkan fenomena bullying dan kekerasan muncul, di mana individu yang gagal memenuhi standar-standar hiper-realitas tersebut menjadi sasaran penghinaan atau penindasan.

Dalam dunia hiper-realitas, manusia sering kali kehilangan orientasi atas identitas sejatinya. Identitas digital yang dibangun di media sosial cenderung menjadi lebih penting daripada identitas asli. Akibatnya, ketika individu melihat adanya ketidaksesuaian antara citra diri yang mereka ciptakan dengan realitas yang dihadapi, mereka meresponsnya dengan agresi. Inilah yang kemudian melahirkan kekerasan dan bullying, baik dalam bentuk fisik maupun digital.

Bagi Yasraf, media sosial bukan sekadar alat komunikasi, tetapi sebuah ruang produksi dan konsumsi tanda-tanda yang semakin menjauh dari esensi aslinya. Dalam konteks generasi muda Islam, tantangan ini semakin kompleks karena mereka harus menavigasi antara ajaran agama yang mengajarkan tentang kesederhanaan, kejujuran, dan tanggung jawab sosial dengan realitas digital yang penuh dengan citra, kompetisi, dan standar-standar artifisial.

Kekerasan sebagai Respons terhadap Kecemasan Modern

Dengan menggabungkan pemikiran Fromm dan Yasraf, kita bisa melihat bahwa kekerasan dan bullying, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, adalah bentuk dari kegagalan individu dalam menyeimbangkan kebebasan pribadi, tekanan sosial, dan realitas yang terdistorsi. Generasi muda, terutama, menjadi rentan terhadap perilaku destruktif ini karena mereka tumbuh dalam lingkungan yang dipenuhi dengan ekspektasi sosial yang sering kali tidak realistis.

Sosial media, dengan segala kelebihannya, sering kali memfasilitasi kemunculan hiper-realitas yang mendorong kecenderungan agresi. Kecemasan eksistensial yang diungkapkan Fromm, ditambah dengan realitas semu yang dikonstruksi oleh media sosial sebagaimana dijelaskan oleh Yasraf, menciptakan individu yang terjebak dalam siklus ketidakpuasan. Mereka yang tidak mampu beradaptasi dengan tuntutan dunia digital ini sering kali merasa terpinggirkan, dan dalam kondisi tersebut, kekerasan menjadi salah satu cara untuk memulihkan kontrol atas situasi yang mereka rasa semakin di luar kendali.

Refleksi bagi Generasi Muda Islam

Dalam menghadapi dunia yang semakin digital dan hiper-real, generasi muda Islam harus dibekali dengan pemahaman yang mendalam tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia maya. Mereka perlu didorong untuk kembali kepada nilai-nilai fundamental agama, seperti kesabaran, empati, dan tanggung jawab sosial, yang dapat menjadi penyeimbang dalam menghadapi tekanan sosial dan ekspektasi yang tidak realistis.

Kekerasan dan bullying bukan hanya soal individu yang melakukan kekerasan, tetapi juga tentang lingkungan sosial yang membentuk mereka. Teknologi, dalam hal ini media sosial, adalah pisau bermata dua yang dapat digunakan untuk membangun atau merusak. Oleh karena itu, peran keluarga, sekolah, dan komunitas menjadi penting dalam memberikan pemahaman dan bimbingan yang tepat, agar teknologi digunakan secara bijak dan sehat, bukan sebagai alat untuk melampiaskan ketidakpuasan atau agresi.

Dengan memahami akar persoalan kekerasan dari sudut pandang Erich Fromm dan Yasraf Amir Piliang, kita dapat lebih bijak dalam merespons fenomena ini. Alih-alih hanya melihat kekerasan dan bullying sebagai masalah individu, kita harus menelaah kondisi sosial, teknologi, dan budaya yang mempengaruhinya, sehingga solusi yang diambil dapat menyentuh akar masalah, bukan hanya gejalanya.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.