Sebuah Cerpen: Menunggu Pagi

darulmaarif.net – Indramayu, 20 September 2024 | 09.00 WIB

Langit malam mulai bersemburat merah ketika Faiz menuruni tangga rumah sakit, tas jinjing di tangan kirinya terasa berat. Sementara di benaknya, jauh lebih berat beban yang ia pikul. Sudah sebulan ini, Naufal, anak satu-satunya, harus rutin berobat jalan setelah didiagnosis kanker. Pesantren yang dulu menjadi tempat kebanggaannya, kini hanya tinggal cerita. Tubuh Naufal yang dahulu tegap, kini kurus dan lemah. Faiz tahu, perjuangan ini belum selesai, tapi rasanya semakin hari semakin sulit.

“Faiz!” Sebuah suara keras menyapanya. Dian, istrinya, berdiri di depan pintu mobil dengan wajah cemberut. “Berapa lama lagi kau mau di rumah sakit? Naufal juga sudah bosan. Dia tidak bisa menunggu terus-menerus!”

Faiz menahan napas, menatap Dian yang sudah tampak kesal. “Aku hanya berbicara sebentar dengan dokter, Dek. Dokter bilang kondisi Naufal sedikit membaik.”

Dian memutar matanya, “Sedikit membaik? Jadi apa gunanya semua pengorbanan ini kalau hanya ‘sedikit’?”

Faiz merasakan kelelahan yang luar biasa. Ia tahu, ini bukan tentang dirinya. Dian—wanita yang dulu selalu sabar dan lembut—kini berubah menjadi seseorang yang tak dikenalnya lagi. Marah-marah di setiap kesempatan, dan kesabaran Faiz diuji setiap hari.

“Naufal butuh kita,” jawab Faiz dengan lembut, mencoba menenangkan istrinya. “Ini bukan tentang siapa yang benar atau salah. Ini tentang anak kita.”

Dian menghela napas panjang, seolah ingin menghilangkan amarah yang menggelegak di dadanya. “Tapi aku lelah, Mas. Lelah harus melihat dia seperti ini setiap hari, lelah dengan semua ketidakpastian ini. Sampai kapan kita akan terus begini?”

Faiz terdiam. Ia tahu, pertanyaan itu bukan untuk dijawab dengan mudah. Karena di balik kekesalan Dian, ada rasa takut yang mendalam—takut kehilangan Naufal.

Sejak Naufal didiagnosis kanker, Dian sering meledak-ledak. Setiap kabar buruk dari dokter membuatnya seperti api yang tersulut bensin. Sedangkan Faiz hanya bisa menahan diri, mencoba untuk tetap tenang, meski di dalam hatinya ia juga ketakutan.

Saat mereka berdua terdiam, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat. Ternyata itu Bu Maryam, tetangga mereka yang sejak awal selalu datang ke rumah sakit untuk membantu mereka.

“Sudah selesai kontrolnya?” tanya Bu Maryam dengan senyum lembut. “Bagaimana Naufal hari ini?”

Faiz tersenyum tipis. “Alhamdulillah, ada sedikit perkembangan, Bu. Meski perlahan, Naufal tetap bertahan.”

Bu Maryam menepuk bahu Faiz pelan. “Sabar, Pak. Semua cobaan pasti ada akhirnya. Yang penting kita terus berusaha dan berdoa.”

Dian, yang sedari tadi diam, tiba-tiba meledak lagi. “Doa? Apakah semua doa ini cukup? Kita sudah berdoa berbulan-bulan, tapi lihat apa yang terjadi! Naufal masih menderita!”

Maryam memandang Dian dengan tatapan penuh pengertian, tapi tak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya. Ia tahu, Dian hanya perlu meluapkan perasaannya.

Namun, saat Dian hendak berbalik, Maryam tiba-tiba berkata pelan, “Kadang, kita tidak bisa melihat hasil dari doa kita sekarang. Tuhan punya caranya sendiri, Dian. Kesabaran itu berat, tapi buahnya selalu manis.”

Dian terdiam sejenak, tatapan matanya menusuk. “Bu Maryam, kau tidak mengerti bagaimana rasanya menjadi seorang ibu yang harus melihat anaknya menderita setiap hari!” bentaknya, lalu cepat-cepat masuk ke dalam mobil, meninggalkan suami dan Bu Maryam yang masih berdiri di sana.

“Maafkan Dian, Bu,” ucap Faiz akhirnya, suaranya bergetar. “Dia… sudah terlalu lelah dengan semua ini.”

Maryam menggeleng pelan. “Aku mengerti, Faiz. Setiap ibu akan merasakan beban yang luar biasa dalam situasi seperti ini. Jangan salahkan dia. Ini bukan perkara mudah untuk siapa pun.”

Faiz mengangguk, mencoba menahan air mata yang tiba-tiba menggenang di pojok matanya. Dia tahu, dia harus kuat. Tapi semakin lama, semakin sulit rasanya.

Mereka kemudian pulang dengan keheningan yang menyelimuti mobil, hanya suara mesin yang terdengar. Naufal yang duduk di kursi belakang tertidur lelap, wajahnya pucat dengan selang infus yang masih menggantung di lengan kecilnya. Dian hanya menatap keluar jendela, diam dalam amarah dan kesedihan yang tak terucap.

***

Malam itu, di rumah, Faiz duduk di ruang tamu, memandangi foto-foto lama Naufal ketika masih di pesantren. Wajah anaknya yang dulu begitu ceria kini terasa jauh, seperti mimpi yang perlahan mulai memudar. Di sampingnya, secangkir kopi yang mulai dingin, belum ia sentuh. Dian masuk ke dalam ruangan, kali ini lebih tenang, meski wajahnya masih menyimpan sisa-sisa kemarahan.

“Kau belum tidur, Mas?” tanya Dian dengan nada yang jauh lebih lembut.

Faiz hanya menggeleng. “Aku hanya… berpikir.”

Dian duduk di sampingnya, mengambil foto Naufal yang tergeletak di meja. “Aku hanya tidak tahan melihat dia seperti ini, Mas. Setiap hari, rasanya seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir.”

Faiz menatap wajah istrinya yang kini tampak lelah, matanya yang dulu penuh energi kini redup, seolah kehilangan harapan. “Aku tahu, Dek. Aku juga merasakan hal yang sama.”

Keheningan melingkupi mereka berdua, hanya suara detak jarum jam di dinding yang terdengar. Di luar, angin malam bertiup lembut, menggerakkan dedaunan di pelataran rumah.

“Aku ingin kita bisa kembali ke masa lalu, Faiz. Saat semuanya masih baik-baik saja. Saat kita tak perlu khawatir akan kehilangan dia.”

Faiz tersenyum tipis. “Kita semua ingin kembali ke masa itu, Dek. Tapi, kita harus terus berjalan ke depan, bagaimana pun sulitnya. Demi Naufal.”

Dian menunduk, menggenggam tangannya sendiri. “Aku takut, Mas. Aku takut suatu hari, kita akan kehilangan anak kita satu-satunya.”

Faiz menarik napas panjang, merasakan ketakutan yang sama di dadanya. “Tuhan tak akan memberikan cobaan di luar kemampuan kita. Mungkin ini caranya untuk menguji kesabaran kita.”

Dian terisak pelan, air mata yang sejak tadi ditahannya kini jatuh mengalir di pipi. Faiz merengkuh bahunya, memeluknya dengan erat, memberikan kehangatan yang Dian butuhkan.

“Bagaimana jika kita kehilangan, Faiz?” tanya Dian di antara tangisnya, suaranya nyaris tak terdengar.

Faiz terdiam sejenak, mencoba mencari jawaban. Tapi tak ada jawaban yang pasti. “Jika itu takdirnya, Dek…apapun itu, kita harus siap. Tapi selagi ada harapan, kita akan terus berjuang untuk kesembuhan anak kita.”

Malam semakin larut, tetapi Faiz dan Dian masih terjaga, merenungi nasib yang kini membayangi hidup mereka. Di kamar, Naufal terbaring dengan tenang, tubuhnya yang ringkih tampak damai di bawah sinar rembulan yang merangsek masuk melalui celah jendela kamarnya.

Di sudut ruangan yang remang-remang, Faiz masih terpaku. Matanya menatap ke arah ranjang Naufal yang tertidur, tubuh anaknya dibalut kelelahan yang tak seharusnya dirasakan oleh anak seusianya. Lampu meja yang redup memancarkan cahaya lembut, menerangi wajah pucat Naufal yang tampak tenang dalam tidurnya, seolah-olah dunia keras yang ia hadapi setiap hari tak pernah ada. Di setiap helaan napasnya yang lemah, Faiz mendengar bunyi detak jarum jam yang menggema di kepalanya—waktu yang seolah berjalan lebih lambat dalam ketidakpastian ini.

Faiz menengadah, menatap langit-langit rumah yang kini terasa begitu berat menekannya. Di balik doanya yang lirih, di dalam hati yang terluka, dia menyadari bahwa meski seluruh semesta ia pinta, ada garis-garis takdir yang tak bisa ia ubah. Ada jalan yang harus ia tempuh dengan perasaan tak berdaya, di mana setiap langkahnya terasa seperti melangkah di atas duri, namun tetap ia jalani karena cinta dan harapan.

Harapan yang selama ini ia peluk erat, meskipun perlahan, terasa mulai rapuh. Tapi Faiz tahu, ia tak punya pilihan selain bertahan, meski ada saat-saat di mana ia ingin menyerah. Bagaimana pun, ini bukan tentang dirinya. Ini tentang Naufal—tentang senyum kecil yang terkadang muncul di tengah rasa sakit, tentang cahaya kecil yang masih menyala meski api kehidupan mulai redup.

Dari balik tirai yang setengah terbuka, Faiz bisa melihat langit malam yang masih bernaung di atas mereka. Bintang-gemintang tampak bersinar lemah, terhalang oleh kabut tipis yang melayang di udara. Di luar, angin malam menyusup lembut melalui celah-celah jendela, membawa aroma hujan yang tertahan. Desau angin itu terdengar bagai bisikan yang penuh teka-teki—sebuah pesan dari alam yang tak bisa ia pahami sepenuhnya, namun terasa akrab di hatinya.

Dian tertidur di sofa, meski kelelahan, napasnya terdengar begitu lembut. Wajahnya yang biasanya tegang kini tampak lebih damai, meski dalam lelap. Faiz memandangnya dengan perasaan campur aduk. Ia mengerti kemarahan Dian, kepedihannya, rasa frustrasi yang tak terucapkan. Namun, ia juga tahu bahwa mereka berdua berada di medan perang yang sama, hanya cara mereka bertarung yang berbeda.

Faiz menghela napas panjang, membiarkan kesunyian menenggelamkannya. Takdir, pikirnya, adalah sesuatu yang sulit dimengerti manusia. Ia hanyalah seorang ayah yang mencoba memohon belas kasih dari langit, berharap anaknya diberi kesempatan untuk melihat dunia sedikit lebih lama. Namun, di balik harapannya itu, ada bisikan halus yang terus menghantuinya—bahwa mungkin, ini bukan tentang kemenangan atau kekalahan.

‘Mungkin, ini hanya soal seberapa jauh cinta bisa bertahan sebelum waktu mengambil segalanya.’

Ketika angin kembali bertiup, Faiz menutup matanya, memejamkan kelelahan yang mendalam di dalam lubuk hatinya. Ia tak tahu apa yang akan terjadi esok hari—tak ada seorang pun yang tahu. Hanya malam yang terus bergerak, membawa janji akan sebuah akhir, entah itu berupa jawaban atau kehilangan.

Dan di tengah kesunyian malam, Faiz berbisik kepada dirinya sendiri, seolah berbicara kepada semesta, kepada waktu, kepada Tuhan:

“Bahkan jika matahari tak pernah datang, aku akan tetap menunggu pagi. Karena di sana, mungkin, jawaban yang kita cari akan ditemukan, atau setidaknya, kita akan mengerti mengapa tak ada jawaban yang pernah datang.”

Langit malam semakin kelam, tapi Faiz tetap duduk memejam di sana, menanti dengan hati yang tak pernah benar-benar menyerah.

Tamat.