darulmaarif.net – Indramayu, 22 September 2024 | 08.00 WIB
Anwar Sholeh menatap langit di atasnya. Gelap, kelam, tetapi di kejauhan ada bintang yang bersinar. “Mungkin seperti hidupku,” pikirnya sambil menghela napas panjang.
Sudah lima bulan ia mondok di pesantren Darul Ilmi, terpisah jauh dari desanya yang sunyi di kaki bukit Wonosobo. Sejak awal, ia tahu bahwa masa depannya tak pernah menjanjikan jalan yang mudah. Ayahnya seorang petani sederhana, ibunya penjual sayur keliling. Namun, cita-cita Anwar tinggi, seperti langit yang sedang ia pandangi.
Hidup di pesantren ternyata lebih sulit daripada yang ia bayangkan. Bukan hanya karena pelajaran yang harus dihafal atau bangun sebelum subuh setiap hari. Tapi, di balik kesulitan belajar, ada luka yang lebih dalam: ejekan dan hinaan dari teman-teman pondok. Mereka tahu siapa Anwar, seorang anak janda miskin yang bahkan untuk uang jajan pun jarang mendapat kiriman. Dan yang paling parah adalah berita duka yang menghancurkan hatinya—ayahnya meninggal dunia, tepat saat Anwar baru lima bulan di pesantren. Dunia yang sudah berat itu kini terasa tak lagi memberi ruang bagi harapan.
“Bagaimana caranya kau bisa bertahan di sini, Anwar?” tanya Zaki, teman sekamarnya yang selalu baik.
Zaki adalah satu-satunya orang yang mau berbicara dengannya dengan lembut di tengah gemuruh cemooh santri lainnya. Mereka tahu Anwar tak seberuntung mereka—bukan dari keluarga yang mampu, tak punya bekal apa-apa selain beberapa kitab kuning usang dan lecek yang selalu ia bawa kemana-mana.
“Aku tak tahu, Zaki,” Anwar mengangkat bahu, menyembunyikan keresahan. “Tapi aku tak bisa pulang. Kalau aku menyerah, siapa yang akan bantu ibu?”
Malam itu, di antara sunyi malam pesantren, Anwar berdoa dengan lirih. “Ya Allah, jika memang ini jalan yang Kau pilihkan untukku, kuatkan aku. Hanya Engkau yang tahu betapa lelahnya aku.”
***
Hari-hari berlalu, cemoohan tak juga berakhir. Anwar tetap berdiri di tengah deraan, dengan sabar menahan setiap hinaan yang datang. Bahkan, santri paling nakal seperti Ghufron tak pernah lelah mengejek. “Anak janda miskin! Pasti tak akan lama kau di sini!” sering Ghufron berteriak sambil tertawa, membuat beberapa santri lain terbahak. Setiap ejekan itu seperti cambuk yang menghantam batinnya. Namun, Anwar hanya diam, tak pernah sekalipun membalas.
Hingga suatu hari, setelah bertahun-tahun bertahan, Anwar dipanggil oleh Kyai Hasan Bishri. Wajah Kyai yang teduh tampak penuh kasih saat melihat Anwar datang dengan kepala menunduk.
“Anwar, anakku,” ujar Kyai dengan suara penuh kelembutan, “Aku selalu memperhatikanmu. Kesabaranmu, perjuanganmu. Tak semua orang bisa bertahan seperti dirimu.”
Anwar menunduk lebih dalam, tak tahu harus berkata apa. Kyai melanjutkan, “Kau tahu, setiap manusia diuji sesuai kadar kesabarannya. Dan aku yakin, kau sudah melewati banyak ujian. Kini, saatnya kau menerima apa yang memang sudah menjadi bagianmu.”
Kyai mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya—sebuah kertas undangan pernikahan. Anwar terkejut. “Ini… apa maksudnya, Kyai?”
Kyai tersenyum. “Aku ingin menjodohkanmu dengan putriku, Rufaidah. Alhamdulillah dia hafidzoh, santun, dan cerdas. Kau akan mendirikan pesantren bersamanya. Ini amanah, Anwar. Amanah dari langit untukmu.”
Anwar terdiam. Perasaannya bergetar. Di saat ia hampir menyerah, takdir seolah berputar. Apa yang selama ini ia kira tak mungkin, kini berada tepat di hadapannya. Ia, anak janda miskin yang selalu direndahkan, kini mendapat kepercayaan besar: menikahi anak Kyai nya sekaligus diberikan amanah mendirikan pesantren untuk masa depan Anwar dan istrinya.
Setelah pernikahan sederhana namun penuh khidmat, Anwar memulai hidup baru bersama Rufaidah. Mereka mendirikan pesantren di tanah yang diberikan Kyai Hasan. Santri mulai berdatangan, dan kabar tentang kealiman Anwar menyebar ke berbagai daerah. Mereka datang tak hanya untuk menuntut ilmu, tapi juga untuk merasakan keberkahan dari seseorang yang pernah berada di bawah, namun kini berdiri tegak sebagai pengasuh pesantren.
Tapi, takdir rupanya masih menyimpan kejutan terakhir. Ketika pesantrennya mulai berkembang, kabar duka datang lagi. Ibunya, satu-satunya keluarga yang tersisa, meninggal dunia.
Anwar pulang dengan hati hancur, namun ia tahu bahwa di balik duka itu ada makna yang lebih besar. Di tengah pemakaman yang sederhana, ia berdoa dengan hati yang lapang,
“Ya Allah, terima kasih atas segala cobaan dan anugerah-Mu. Semua yang telah Kau berikan, baik duka maupun suka, adalah jalan menuju-Mu.”
Di bawah langit yang mulai berwarna legam menghitam, Anwar menatap ke arah langit sekali lagi. Kini, ia melihat sesuatu yang berbeda. Bintang-bintang yang dulu terasa jauh, kini seolah berada dalam genggamannya.
“Langit yang pernah kurindukan, kini aku ada di bawah cahayanya.”
Anwar tersenyum, dan dalam hati ia tahu bahwa segala perjuangan, segala kesabaran, telah membawanya ke tempat yang seharusnya—tempat di mana mimpi dan kenyataan bersatu dalam harmoni.
Tamat.