Sebuah Cerpen: Sabda dalam Sunyi

darulmaarif.net – Indramayu, 30 Oktober 2024 | 10.00 WIB

Sabda Syafaat, pemuda dengan sorot mata yang dalam, adalah seorang ustadz muda yang terpandang di sebuah pondok pesantren di pinggiran kota Bandung. Di usianya yang sudah menginjak tiga puluh delapan tahun, ia sudah dikenal sebagai pengajar yang cerdas dan bijaksana. Namun di balik ketenangannya, ada gejolak batin yang tak pernah redup—seperti bara dalam api kecil yang terus menyala tanpa henti. Sabda selalu bertanya-tanya tentang esensi dirinya, tentang kehidupan, dan tentang apa yang sesungguhnya menjadi inti dari keberadaan manusia.

Di sela-sela mengajarkan tafsir Al-Qur’an dan hadits, Sabda seringkali tenggelam dalam buku-buku filsafat, sebuah kebiasaan yang tak lazim bagi kebanyakan ustadz sebayanya. Ia tertarik dengan pemikiran Heidegger tentang “Sein und Zeit”, tentang eksistensi yang tak sekadar ada, tapi being—tentang “ada” yang sesungguhnya. Juga pemikiran Sartre yang menyatakan bahwa eksistensi mendahului esensi. Di sisi lain, ajaran mistisisme Islam yang diwariskan oleh Imam Al-Ghazali dan Mulla Sadra terus berputar dalam benaknya, berbicara tentang kehadiran Tuhan dalam setiap tarikan napas dan detak jantung.

Suatu malam yang tenang, di bawah langit berbintang yang menggantung seperti tirai tak berujung, Sabda duduk sendirian di serambi pesantren. Angin malam berdesir pelan, menyentuh kulitnya dengan kelembutan. Di depannya, Alif, salah satu santri terbaik yang selalu menjadi teman diskusi, menatap dengan pandangan yang tak kalah tajam.

“Ustadz,” kata Alif memecah keheningan. “Mengapa manusia selalu mencari, seolah ada sesuatu yang hilang dalam dirinya?”

Sabda tersenyum tipis, namun raut wajahnya tak menyembunyikan pertanyaan yang sama telah lama menggerogotinya. “Karena mungkin, kita ini bukan sekadar ada, Alif. Kita tidak hanya sekadar menjalani hidup. Kita mencari sesuatu yang lebih… hakikat yang melampaui apa yang kasat mata.”

Alif mengangguk, namun masih ada kebingungan dalam pandangannya. “Tapi bagaimana kita tahu jika yang kita cari itu benar-benar ada?”

Sabda terdiam sejenak. Pikirannya terlempar jauh ke dalam buku-buku yang telah dibacanya. Heidegger mengatakan bahwa keberadaan kita terlempar ke dunia ini, tanpa pengetahuan sebelumnya. Sartre menolak adanya esensi yang diberikan sebelum eksistensi, sementara Al-Ghazali berbicara tentang pencarian menuju Tuhan melalui pengingkaran terhadap dunia material.

“Dalam eksistensialisme, Alif, kita mungkin tak akan pernah tahu pasti,” jawab Sabda akhirnya. “Tapi dalam mistisisme Islam, kita tahu bahwa yang kita cari selalu ada di dalam diri kita, dalam hati yang jernih, dan dalam kedekatan kita dengan Sang Pencipta.”

Alif mengernyit. “Lalu, apakah kita, ustadz… orang-orang yang menjalani hidup dengan mengajarkan agama, masih perlu mencari? Bukankah semua jawabannya ada dalam Kitab-Nya?”

Sabda menatap Alif, kali ini dengan sorot mata yang tajam. “Jawaban ada di Kitab-Nya, ya. Tapi, untuk benar-benar memahami-Nya, kita perlu mencari. Tidak di luar, tetapi ke dalam.”

Alif terdiam, seakan terhanyut dalam lautan pemikiran yang mendalam. Sabda kembali menengadah, menatap bintang-bintang. “Al-Ghazali menyebutnya suluk, jalan menuju Tuhan dengan pengingkaran terhadap dunia. Namun Heidegger… Ia mengajarkan kita untuk menerima kenyataan bahwa kita terlempar ke dunia ini, tanpa pengetahuan pasti tentang asal-usul kita. Dan di antara keduanya, aku masih mencari keseimbangan. Di manakah kita sebenarnya berada?”

Malam semakin larut. Suara jangkrik memenuhi udara, menambah kesunyian yang mendalam. Sabda menatap jauh ke depan, namun seolah melihat ke dalam dirinya sendiri.

Hari-hari berlalu. Sabda semakin sering mengurung diri di kamar perpustakaannya. Ia berusaha memadukan pemikiran filsafat Barat dengan mistisisme Islam yang mendalam. Namun semakin ia menggali, semakin pula ia terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab.

Di tengah pencariannya, pesantren dikejutkan dengan kedatangan sosok misterius—Fikri, seorang pemikir muda yang juga tertarik pada filsafat. Awalnya, Fikri tampak ramah dan bersahabat. Namun seiring waktu, diskusi-diskusi mereka semakin keras dan penuh perdebatan. Fikri membawa angin baru dengan pertanyaan-pertanyaan tajam, meragukan segala sesuatu, termasuk eksistensi Tuhan.

Suatu malam yang dingin, Sabda dan Fikri bertemu di ruang belajar pesantren. Alif yang setia menemani Sabda duduk di sisi ruangan, memperhatikan dengan seksama.

“Sabda,” ujar Fikri, suaranya tajam. “Kau tahu, Sartre benar. Eksistensi manusia hanyalah hasil dari kebebasan mutlak. Tuhan tak ada, dan karena itulah kita bebas. Kebebasan itulah yang menjadi neraka kita.”

Sabda menatap Fikri dalam-dalam, matanya berkaca-kaca. Ia merasakan sesuatu yang berat di dadanya, sesuatu yang sudah lama ingin ia keluarkan. “Tapi, Fikri… apa gunanya kebebasan itu jika kita kehilangan makna? Bagaimana mungkin kita bebas jika kita tak punya arah, tak punya tujuan?”

Fikri tersenyum sinis. “Justru itu, Sabda. Kita yang menciptakan makna. Kita yang menentukan arti dari hidup kita. Tuhan? Ia hanyalah konsep yang diciptakan untuk menenangkan ketakutan kita akan kekosongan.”

Sabda terdiam. Kata-kata Fikri menggelitik pikirannya, tapi ia tahu, di dasar hatinya, ada sesuatu yang tak bisa ia lepaskan. Ia menghela napas panjang dan menatap langit malam yang gelap melalui jendela.

“Fikri,” suara Sabda akhirnya pecah. “Aku mengerti logikamu. Tapi aku juga tahu, ada yang lebih dari sekadar logika. Ada yang lebih dari kebebasan. Ada yang namanya cinta… dan di situlah Tuhan berada.”

Fikri terdiam, terpukul oleh kata-kata Sabda. Alif, yang sedari tadi diam, menunduk, merenungi kata-kata ustadznya. Sabda melanjutkan, “Heidegger benar tentang kita yang terlempar ke dunia ini, tapi ia salah soal tujuan. Dan Sartre mungkin benar tentang kebebasan, tapi ia salah tentang makna. Tuhan, Fikri, adalah makna itu sendiri. Tanpa-Nya, kita hanyalah debu di angin.”

Malam itu berakhir dengan keheningan yang panjang. Fikri tak lagi berbicara. Hanya tatapan kosong yang menyapu wajahnya.

**

Beberapa bulan kemudian, Sabda akhirnya menemukan kedamaian. Di dalam pencariannya yang panjang, ia memahami bahwa keberadaan bukanlah sekadar soal ada atau tidaknya Tuhan, bukan soal kebebasan mutlak atau terlemparnya manusia ke dunia. Keberadaan adalah perjalanan, sebuah pengembaraan yang harus ditempuh dengan cinta, iman, dan pencarian yang tak henti.

Dan pada malam terakhir sebelum keberangkatannya untuk membimbing pesantren baru yang dibangun oleh para murid setianya, Sabda merenung di bawah langit yang sama. Dalam sunyi, ia berbisik pada dirinya sendiri, “Eksistensi adalah cinta. Dan cinta adalah Tuhan yang hadir dalam setiap nafasku.”

Di kejauhan, angin berhembus lembut, seperti bisikan semesta yang mengamini sabda sang pencari.

Sabda berdiri di depan jendela kamarnya, menatap gelap malam yang semakin pekat. Di luar, suara jangkrik samar-samar terdengar, namun pikirannya jauh melampaui suara alam itu. Ada ruang kosong di hatinya, meski baru saja ia mengucapkan kalimat yang penuh keyakinan kepada Fikri. Cinta adalah Tuhan yang hadir dalam setiap napasku, ia berkata. Tapi mengapa rasa kosong itu tetap ada?

“Ustadz…” Suara Alif mengejutkannya. Muridnya itu telah berdiri di ambang pintu, ragu-ragu untuk melangkah lebih jauh.

“Kau sudah lama di sana, Alif?” Sabda menoleh dengan senyum lembut. Alif adalah murid yang sabar, tenang, dan penuh pengertian. Namun, Sabda tahu, Alif juga menyimpan banyak pertanyaan.

“Saya hanya ingin memastikan… apakah Ustadz baik-baik saja?” Alif berjalan mendekat, matanya menyiratkan kekhawatiran.

Sabda menarik napas panjang, menatap gurat wajah muridnya. “Alif, apakah kau pernah merasa kehilangan sesuatu, namun tak tahu apa yang kau hilangkan?”

Alif terdiam, lalu duduk di kursi di samping Sabda. “Saya pernah merasa begitu, Ustadz. Tapi… apakah ini soal keyakinan?”

Sabda terkejut mendengar kata itu. Keyakinan? Apakah pencariannya selama ini membuatnya mempertanyakan keyakinan itu sendiri? “Aku tak tahu, Alif. Mungkin, di balik segala pencarian ini, aku sedang mencari keyakinan yang lebih dalam, yang lebih dari sekadar konsep atau ajaran.”

“Bukankah keyakinan datang dari hati yang penuh ketenangan, Ustadz?” Alif bertanya hati-hati. “Bukan dari pikiran yang terus bertanya-tanya?”

Sabda terdiam, menimbang kata-kata muridnya. Benar, keyakinan adalah ketenangan, tapi di mana ia bisa menemukan ketenangan di antara gelombang pertanyaan ini? “Hati kita kadang tak mudah tenang, Alif. Mungkin karena terlalu banyak dipenuhi oleh pertanyaan yang tak terjawab.”

Alif menatap ustaznya dalam-dalam. “Tapi bukankah Tuhan menyuruh kita untuk bertanya dan mencari, Ustadz? Bukankah pencarian itu juga bagian dari ibadah?”

Sabda mengangguk pelan. “Benar, Tuhan menciptakan kita dengan akal dan hati agar kita bertanya. Tapi, aku merasa semakin jauh aku mencari, semakin banyak ruang kosong yang kutemukan. Seperti bayang-bayang yang tak pernah kugapai.”

“Ustadz…,” Alif menunduk, seakan mencari kekuatan dalam kata-katanya sendiri. “Saya ingat, ketika saya pertama kali ke pesantren ini, Ustadz berkata bahwa hidup ini adalah perjalanan. Tapi bukankah perjalanan itu tak selalu harus menuju tempat yang pasti? Kadang kita hanya perlu percaya pada jalan yang kita tempuh, meski kita tak tahu kemana akan berakhir.”

Kata-kata Alif menggema di hati Sabda. Perjalanan tanpa tujuan pasti… Bukankah itu yang selalu menjadi inti dari ajaran para sufi? Menyerahkan diri pada kehendak Tuhan, tanpa perlu mengetahui semua jawabannya?

Namun, di sisi lain, Sartre mengajarkan kebebasan mutlak, di mana manusia sendiri yang menciptakan makna. Apakah mungkin, perjalanan ini bukan soal menemukan, tapi menciptakan?

“Alif, kau benar,” Sabda akhirnya berkata. “Terkadang, kita terlalu sibuk mencari jawaban, hingga lupa bahwa perjalanan itu sendiri adalah bagian dari jawaban.”

Alif tersenyum kecil. “Dan mungkin Tuhan menyembunyikan jawaban agar kita terus bergerak, agar kita terus tumbuh.”

Malam semakin larut, namun di antara dua sosok itu, percakapan terus mengalir. Sabda merenungi setiap kata, setiap pertanyaan, dan setiap jawaban yang tak pernah final. Di dalam dirinya, pencarian itu masih berlanjut, tapi ada ketenangan baru yang mulai muncul, seperti cahaya kecil di ujung terowongan panjang.

Namun, tiba-tiba, suara langkah terdengar di luar kamar. Fikri muncul di pintu, dengan tatapan mata yang penuh kebimbangan. “Sabda, bolehkah aku masuk?”

Sabda mengangguk pelan. Fikri, yang biasanya penuh percaya diri, tampak ragu dan gelisah. Ada sesuatu yang berbeda pada dirinya malam ini.

“Sabda…” Fikri duduk di hadapan mereka, suaranya bergetar. “Aku telah berpikir tentang apa yang kau katakan malam itu. Tentang cinta, tentang Tuhan… Dan aku mulai meragukan semua yang kupercayai.”

Sabda menatap Fikri dengan penuh perhatian. Ia tahu, sahabatnya ini sedang berada di persimpangan jalan, seperti dirinya. “Apa yang membuatmu ragu, Fikri?”

Fikri menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke depan. “Aku selalu percaya bahwa kita bebas, bahwa kita yang menentukan makna hidup ini. Tapi setelah percakapan kita, aku merasa ada sesuatu yang lebih dari itu. Sesuatu yang tak bisa kugenggam, tapi kurasakan. Dan itu… menakutkan.”

Alif memperhatikan dengan seksama, namun Sabda tetap tenang. “Ketakutan itu wajar, Fikri. Karena ketika kita menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari kita, kita merasa kecil, tak berdaya. Tapi di situlah letak kebesaran Tuhan.”

Fikri menunduk, tangannya gemetar. “Aku tak tahu, Sabda. Mungkin selama ini aku terlalu sombong, berpikir bahwa akulah yang memegang kendali atas hidupku. Tapi sekarang, aku merasa… kosong.”

Sabda mendekat, meletakkan tangan di bahu Fikri. “Kekosongan itu bukanlah akhir, Fikri. Itu adalah awal. Awal dari pencarianmu yang sejati.”

Fikri menatap Sabda, matanya penuh air mata yang tertahan. “Tapi bagaimana aku bisa percaya pada sesuatu yang tak kulihat, tak kusentuh?”

“Percaya, Fikri,” Sabda berkata lembut, “bukan soal melihat atau menyentuh. Percaya adalah tentang merasakan. Dan Tuhan tak selalu hadir dalam bentuk yang bisa kita pahami dengan pikiran. Dia hadir dalam hati, dalam cinta yang tak terdefinisi oleh kata.”

Fikri terisak pelan. Sabda membiarkannya tenggelam dalam keheningan, dalam proses yang harus dilaluinya sendiri. Alif, yang duduk di samping, hanya menunduk, merasakan betapa beratnya pencarian yang sedang dilalui kedua gurunya.

Malam itu, di bawah langit yang sama, tiga jiwa yang berbeda terus mencari makna, meraba dalam gelap menuju cahaya yang tak terlihat, namun terasa. Sabda tahu, pencarian ini tak akan pernah berakhir dengan jawaban pasti. Tapi mungkin, itu bukanlah tujuannya.

Dan di tengah malam yang sunyi, Sabda berbisik, “Eksistensi adalah perjalanan tanpa akhir, dan cinta adalah peta yang akan menuntun kita menuju hakikat dari setiap pencarian.”

Tamat.