darulmaarif.net – Indramayu, 30 September 2024 | 14.00 WIB
Kebijakan Presiden kelima Republik Indonesia, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang mencabut Tap MPR No. 25 Tahun 1966 tentang pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI), masih menjadi bahan diskusi hangat hingga hari ini. Keputusan ini tak lepas dari sikap visioner Gus Dur yang senantiasa berpikir jauh ke depan, bahkan melampaui zamannya. Langkah berani tersebut merupakan bagian dari upaya rekonsiliasi nasional yang Gus Dur yakini sangat penting dalam merawat keberagaman dan menyatukan kembali bangsa yang pernah terpecah akibat peristiwa sejarah kelam, yakni G30S-PKI.
Argumentasi yang disampaikan Gus Dur dalam pencabutan Tap MPR tersebut didasarkan pada dua fondasi utama: Pancasila dan konstitusi, yakni UUD 1945. Dalam pandangannya, larangan atas PKI tidak sesuai dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika, yang telah menjadi roh bangsa Indonesia sejak lama. Gus Dur melihat bahwa jika larangan ini terus dipertahankan, bangsa Indonesia akan mengkhianati prinsip-prinsip dasar yang menjadi kesepakatan bersama, yaitu negara yang beragam dalam segala aspek, baik agama, ras, maupun ideologi.
Rekonsiliasi yang dipelopori oleh Gus Dur tidak hanya terbatas pada aspek politik, melainkan juga sosial dan kultural. Menurutnya, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu memaafkan dan berdamai dengan masa lalunya. Ia tidak ingin ada kelompok yang merasa terpinggirkan oleh sejarah, apalagi dalam bingkai negara yang berdasarkan Pancasila. “Pancasila tidak hanya melindungi kelompok mayoritas, tetapi juga kelompok minoritas, termasuk mereka yang berseberangan secara ideologis,” demikian pandangan Gus Dur yang selalu disuarakan.
Langkah rekonsiliasi yang digagas oleh Gus Dur ini tentu tidak diterima dengan mudah. Banyak yang mengkritik bahkan mengecam keputusan tersebut, karena dianggap membuka pintu bagi kebangkitan komunisme. Namun, Gus Dur tetap teguh dengan pendiriannya. Ia menekankan bahwa rekonsiliasi ini bukanlah tentang menghidupkan kembali ideologi komunis, melainkan tentang memberikan ruang bagi seluruh elemen bangsa untuk bersama-sama melangkah maju, tanpa terus dibayangi oleh trauma masa lalu. Bagi Gus Dur, rekonsiliasi adalah langkah konkret untuk mengakhiri dendam sejarah yang justru bisa memecah belah bangsa di masa depan.
Sebagai negara yang pernah terpecah akibat tragedi G30S-PKI, upaya Gus Dur ini seolah mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu masa lalu. Gus Dur yakin, rekonsiliasi yang didasari pada nilai-nilai Pancasila dan prinsip kewarganegaraan adalah jalan terbaik untuk merawat keutuhan bangsa. Bukan berarti melupakan sejarah, melainkan belajar darinya untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
Dengan mencabut Tap MPR No. 25 Tahun 1966, Gus Dur membuka pintu bagi bangsa ini untuk memulai lembaran baru. Langkah ini tidak hanya memperlihatkan keberanian Gus Dur sebagai seorang pemimpin, tetapi juga menunjukkan kecintaannya pada keberagaman yang ada di Indonesia. Pada akhirnya, sejarah kelam harus diingat bukan untuk terus disesali, tetapi untuk diambil hikmahnya dan dijadikan pondasi dalam membangun bangsa yang lebih adil, inklusif, dan damai.
Kesimpulan
Gagasan Gus Dur tentang rekonsiliasi nasional bukanlah tindakan gegabah, melainkan langkah berani dan visioner untuk mempersatukan bangsa. Dalam pandangannya, rekonsiliasi tidak hanya penting untuk merajut kembali persatuan, tetapi juga sebagai upaya untuk merangkul seluruh elemen bangsa tanpa kecuali. Dengan dasar Pancasila dan UUD 1945, Gus Dur mengajarkan bahwa bangsa ini tidak boleh terus-menerus hidup dalam trauma sejarah, melainkan harus berdamai dengan masa lalu untuk melangkah lebih jauh ke depan.
Gus Dur menyatakan negara terikat dengan asas demokrasi yang tidak mengenal perbedaan perlakuan antara komunis dan tidak-komunis. Dia mengunci sikapnya dengan mengatakan “bila ada yang tidak setuju, silahkan mendidik rakyat agar tak tertarik pada komunisme. Bukan dengan memanfaatkan pemerintah (untuk melarang komunisme)”. (Portal Tajuk.com, Gerakan Balas Dendam PKI?, http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/04/24/0024.html)
Cucu Hadlotus Syekh KH. Hasyim Asy’ari ini nampaknya mempunyai kesadaran penuh bahwa keadilan adalah perintah utama ilahiyyah bagi setiap muslim, sebagamana tercantum dalam QS. Al-A’raaf (7):29.
قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ
Artinya: “Katakanlah: Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan.” (Q.S. Al-A’raaf Ayat 29)
Gus Dur adalah simbol keberanian dan kebijaksanaan dalam sejarah Indonesia. Dengan meminta maaf atas tragedi 1965 dan mengusulkan pencabutan TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966, ia menunjukkan bahwa seorang pemimpin sejati tidak takut untuk melawan arus demi kebaikan bangsa. Melalui tindakannya, Gus Dur mengajarkan bahwa hanya dengan hati yang besar dan kemampuan untuk memaafkan, sebuah bangsa bisa benar-benar maju dan berdamai dengan masa lalunya.
Mengenang sosok bijak bestari Gus Dur, jadi teringat kata-kata bijak Adlai Stevenson yang dialamatkan untuk Eleanor Roosevelt begitu sarat akan makna,
“Would rather light a candle than curse the darkness.” – “Lebih baik menyalakan lilin kesepahaman daripada mengutuk kegelapan. (red.) ” 1962 Adlai Stevenson in New York Times 8 Nov. 34]
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.