Filosofi Batik dan Ajaran Welas Asih Walisongo

darulmaarif.net – Indramayu, 02 Oktober 2024 | 10.00 WIB

Batik adalah warisan budaya yang sarat dengan nilai spiritual dan simbolisme. Aktivitas membatik sendiri sering dianggap sebagai kegiatan yang memerlukan ketenangan batin, pemusatan pikiran, dan kebersihan jiwa. Tak heran, setiap motif dan corak batik menyimpan makna filosofis yang dalam dan penuh dengan pesan-pesan tersembunyi.

Seperti motif Sidoluhur, salah satu motif batik yang populer. Secara etimologis, sido dalam bahasa Jawa berarti “jadi” atau “menjadi”, sementara luhur berarti “terhormat” atau “bermartabat”. Filosofi yang terkandung dalam batik Sidoluhur adalah sebuah doa agar sang pemakai senantiasa sehat secara jasmani dan rohani, serta menjadi pribadi yang terhormat dan bermartabat. Inilah salah satu keindahan batik: dalam tiap lekukan motifnya, tersembunyi harapan dan doa yang kuat.

Menengok kembali sejarah perkembangan batik, kita tak bisa lepas dari peran besar Walisongo, tokoh penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Para wali menyebarkan ajaran agama Islam dengan penuh kelembutan, tanpa paksaan atau kekerasan, sehingga agama ini diterima dengan tangan terbuka oleh masyarakat Indonesia. Strategi dakwah mereka tak hanya melalui lisan, tetapi juga melalui budaya lokal, termasuk seni batik.

Saat para Walisongo ingin mengajarkan nilai-nilai penting dalam Islam, seperti kewajiban menutup aurat, mereka memperkenalkan pakaian berupa kain yang memiliki corak indah, yang kemudian kita kenal sebagai batik. Pada masa itu, banyak masyarakat yang belum menutup aurat, bahkan ada yang masih menggunakan pakaian berbahan daun. Dengan memperkenalkan batik, para Walisongo secara halus menanamkan kesadaran pentingnya berpakaian secara Islami.

Salah satu pendekatan menarik dari para Walisongo dalam memperkenalkan batik adalah melalui pendekatan simbolik Al-Qur’an. Mereka mengajarkan bahwa inti ajaran Al-Qur’an terangkum dalam surah Al-Fatihah, sementara inti dari Al-Fatihah terdapat dalam kalimat basmalah, dan inti dari basmalah ada pada huruf ba (ب), yang memiliki satu titik di bawahnya. Konsep ini kemudian disederhanakan dan disimbolkan dalam kata “batik” — sebuah cara yang kreatif untuk menyebarkan pengetahuan agama sambil tetap menghargai kearifan lokal.

Makan batik (ba’-titik) yang terinspirasi dari simbolisme Al-Qur’an yakni huruf Ba’ lafadz Basmalah. Menurut Syekh Sayid Bakari al-Makki bin Sayid Muhammad Syatho ad-Dimyati menjawab pertanyaan ini dalam kitabnya Kifayatul Atqiya wa Minhajul Asyfiya;

بِيْ كَانَ مَا كَانَ وَبِيْ يَكُوْنُ مَايَكُوْنُ فَوُجُوْدُ الْعَوَالِمِ بِيْ

Artinya: “Ulama ahli tasawuf mengatakan, ‘Alloh menitipkan seluruh ilmunya pada huruf ba’, yaitu karena kekuasaan-Ku (bii) wujudlah segala sesuatu yang telah ada, karena kekuasaan-Ku pula terwujud sesuatu yang akan ada, dan adanya alam semesta adalah atas kekuasaan-Ku.”

Syekh Sayid Bakri al-Makki juga menambahkan bahwa ba merupakan huruf bibir. Melafalkannya menjadi sebab terbukanya mulut. Awal terbukanya mulut manusia adalah ketika mengucapkan kesaksian bahwa Alloh adalah tuhannya.

والحكمة في ان اللّه جعل افتتاح البسملة بالباء دون غيرها من الحروف لانها حرف شفوي تنفتح به الشفة ولذلك كان اول انفتاح فم الذرة الانسانية في عهد ألست بربكم بالباء في جواب بلى

Artinya: “Hikmah Alloh menjadikan huruf ba sebagai awal basmalah, bukan huruf yang lain adalah karena huruf ba adalah huruf bibir yang mengucapkannya menyebabkan terbukanya bibir. Dengan demikian pertamakali terbukanya mulut manusia adalah ketika menjawab pertanyaan Allah ألست بربكم (bukankah kami adalah tuhanmu?), بلى (ya kami bersaksi) (diawali huruf ba).”

Penjelasan selanjutnya bahwa huruf ba’ pada lafal basmalah selamanya dibaca kasroh. Dalam bahasa Arab disebut dengan huruf jar. Kata al-Jarru dalam buku M. Kholilur Rohman Lantunan Bait Sentuhan Ruh diartikan rendah hati.

والاسم قد حصص بالجر كما قد حصص الفعل بأن ينجزم

Artinya: “I’rab jar adalah khusus bertempat pada isim (kata benda), sebagaimana i’rab jazam bertempat pada fi’il (kata kerja).”

Menurut beliau, isim atau dalam arti harfiah adalah derajat yang tinggi, sedangkan derajat yang tinggi dapat diperoleh dengan rendah hati (الجر) (M. Kholilur Rohman, Lantunan Bait Sentuhan Ruh, Jombang: Darul Hikmah, hal. 32).

Hakikatnya, para Walisongo ingin memperkenalkan Al-Qur’an dengan cara yang mudah bagi penduduk Nusantara, mereka mengajarkan bahwa Al-Qur’an adalah Pedoman umat Islam, yang inti dari Al-Qur’an terangkum dalam surah Al-Fatihah, dan inti dari surah Al-Fatihah terdapat pada Kalimat Basmalah, dan inti dari Basmalah terangkum pada huruf ba (ب), dan huruf ba (ب) ini dibawahnya ada titiknya (نقطة).

Sehingga dipermudah untuk menghafalnya dengan sebutan ba-tik (huruf ba (ب) yang cirinya ada titik satu) kemudian para Walisongi mempopulerkan kata batik.

Oleh karena itu, batik bukan sekadar selembar kain dengan motif yang indah. Ia adalah simbol kearifan yang mengandung filosofi mendalam, berakar pada ajaran-ajaran Islam yang diperkenalkan oleh Walisongo. Tiap motif, tiap titik, dan tiap garis yang tergurat pada batik bukanlah sekadar hiasan, melainkan representasi nilai-nilai luhur yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya bangsa Indonesia.

Sampai hari ini, batik tetap menjadi simbol kebanggaan bangsa, sebuah warisan yang tak lekang oleh waktu. Di balik setiap goresan cantiknya, tersembunyi nilai-nilai kebajikan dan spiritual yang memperkaya budaya dan kepribadian masyarakat Indonesia.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.