Sebuah Cerpen: Di Bawah Bayang-Bayang Kekuasaan

darulmaarif.net – Indramayu, 24 September 2024 | 11.00 WIB

Suara adzan subuh menyelinap ke jendela kamar Yusuf Bachtiar, merambati tirai yang setengah terbuka. Di luar, Jakarta mulai menggeliat dalam sejuknya pagi yang sebentar lagi akan membakar panas. Yusuf, seorang dosen filsafat yang diam-diam terlibat dalam jaringan politik bawah tanah, menghirup udara dengan berat. Hari ini, ia akan bertemu dengan seseorang yang bisa mengubah segalanya—permainan antara kekuasaan, keyakinan, dan kebenaran yang selama ini terbungkus rapat dalam pusaran politik Indonesia.

Telepon genggamnya bergetar. Pesan singkat masuk.

“Hari ini, jam 11 siang. Tempat biasa.”

Itu pesan dari Umar, mantan rekan seperjuangan dalam pergerakan mahasiswa dua dekade lalu yang kini bertransformasi menjadi aktor politik bayangan. Mereka berdua pernah menentang rezim korupsi, namun dunia politik telah memisahkan mereka. Umar kini berada di jantung kekuasaan, sedangkan Yusuf berada di pinggiran, menyaksikan pertarungan antara ideologi agama, sosial, dan budaya berbaur dengan strategi licik politik, di mana semuanya terasa kotor dan kelam.

Yusuf mengenakan jaket hitam lusuh dan melangkah keluar. Di jalan, ia merasa seperti bayangan di tengah ramai, tak terlihat namun selalu ada. Ia tahu bahwa kekuasaan yang terus bergeser di negeri ini selalu bermain di balik layar; keputusan-keputusan besar seringkali tak pernah muncul ke permukaan, hanya tercium samar oleh rakyat yang tak berdaya.

Saat memasuki warung kopi tua yang terletak di sudut jalan sepi, Yusuf melihat Umar sudah menunggu. Umar tampak berubah—lebih gemuk, dengan mata yang menyiratkan kelelahan bercampur kemenangan. “Yusuf,” sapa Umar, suaranya rendah dan berbisik. “Kita tidak punya banyak waktu.”

Yusuf duduk di depannya. Warung itu sepi, hanya ada mereka berdua di sudut, dikelilingi dinding penuh koran-koran lama yang memuat berita-berita usang.

“Apa yang kau rencanakan, Umar?” tanya Yusuf, nadanya berat. “Apa ini tentang undang-undang baru yang akan mereka sahkan?”

Umar tersenyum tipis, menyesap kopi hitamnya. “Ini lebih dari sekadar undang-undang, Yusuf. Ini tentang kendali. Kau tahu, agama, budaya, sosial, semua itu adalah alat. Mereka memanfaatkannya untuk mengendalikan psikologi massa. Kau pikir negara ini benar-benar berpijak pada nilai-nilai luhur? Tidak. Semua sudah diperhitungkan.”

Yusuf menatap Umar dengan tajam. “Jadi, kau ada di pihak mereka sekarang? Orang yang dulu bersamaku di jalan, meneriakkan reformasi, kini jadi bagian dari permainan ini?”

Umar terdiam sejenak. “Kau tak mengerti, Yusuf. Dunia ini tak sesederhana hitam dan putih. Kita bisa menggunakan kekuasaan untuk kebaikan, jika tahu caranya.”

Yusuf menggeleng, tak bisa menerima. “Kekuasaan selalu menelan niat baik, Umar. Kau tahu itu.”

Mereka terdiam. Dalam keheningan itu, pertarungan moral antara dua sahabat lama terasa seperti badai di dalam ruangan kecil. Yusuf merasa sesak. Bagaimana Umar bisa berubah sejauh ini? Dari pejuang idealisme menjadi pelaku intrik politik yang menggunakan agama dan budaya untuk memecah belah rakyat?

Umar mengeluarkan sebuah amplop tebal dari sakunya. “Ini untukmu,” katanya singkat.

Yusuf menatapnya curiga. “Apa ini?”

Umar mendorong amplop itu ke depan. “Kebenaran, Yusuf. Di dalamnya ada bukti tentang mereka yang kau lawan. Kau bisa memilih: tetap di luar dan menyaksikan semuanya runtuh, atau kau bergabung, dan kita membuat perubahan dari dalam.”

Yusuf mengangkat amplop itu dengan enggan. Ada sesuatu yang berat dalam sikap Umar, seolah ia sedang menawar sesuatu yang lebih besar dari sekadar uang atau kekuasaan. Ini tentang kendali atas jiwa-jiwa yang tersesat dalam hiruk-pikuk sosial dan budaya, tentang narasi agama yang dimanfaatkan sebagai alat politik, dan tentang bagaimana psikologi rakyat dimanipulasi demi keuntungan segelintir orang.

“Bergabung? Dengan mereka yang menghancurkan idealisme kita?” tanya Yusuf dengan nada tak percaya.

Umar tersenyum pahit. “Terkadang, satu-satunya cara untuk memenangkan perang adalah dengan masuk ke dalam benteng musuh.”

Yusuf menatap sahabat lamanya itu. Dia tahu Umar sedang bermain dengan api. Di belakang layar, ada kekuatan yang jauh lebih besar dan lebih gelap yang sedang menggerakkan pion-pion politik di Indonesia—permainan di mana agama, budaya, dan psikologi rakyat dipecah belah untuk kepentingan segelintir elite. Tapi Umar yakin, dan itu yang membuat Yusuf semakin tak tenang. Umar, yang pernah menjadi simbol perlawanan, kini tampak seperti bayangan dirinya sendiri, terperangkap dalam jaring intrik yang tak bisa lagi ia kendalikan.

Di luar, bunyi azan dzuhur menggema. Yusuf berdiri, dengan amplop masih di tangannya.

“Aku tak bisa menerima ini, Umar,” katanya akhirnya. “Aku tak akan jadi bagian dari permainan ini. Kita dulu berjuang untuk sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang nyata. Dan aku masih percaya pada itu.”

Umar menghela napas panjang. “Kau bodoh, Yusuf. Dunia sudah berubah. Ini bukan lagi soal benar atau salah. Ini soal bertahan hidup.”

Yusuf berbalik pergi, meninggalkan Umar yang terdiam di meja. Di luar, matahari Jakarta terasa menyengat. Hatinya berkecamuk. Amplop di tangannya terasa begitu berat, seakan memuat lebih dari sekadar kertas-kertas berisi rahasia kotor. Ini adalah pilihan antara dua jalan: kompromi dengan kenyataan atau bertahan dengan idealisme yang mulai terasa rapuh.

Malam itu, saat Yusuf membuka amplop di dalam kamarnya yang remang-remang, ia mendapati isinya bukan hanya dokumen rahasia, tapi juga foto-foto Umar dengan orang-orang yang selama ini menjadi musuh mereka—tokoh agama yang telah disusupi oleh kekuasaan, tokoh budaya yang tunduk pada sistem, dan pejabat-pejabat tinggi yang memainkan pion-pion agama untuk mengendalikan psikologi massa.

Mendadak, telepon genggamnya bergetar lagi. Pesan dari Umar: “Jangan buat keputusan gegabah, Yusuf. Ada hal-hal yang lebih besar dari yang kau tahu.”

Yusuf menutup teleponnya dengan tangan gemetar. Di saat itu, ia tahu, pertarungan ini lebih dari sekadar idealisme melawan kekuasaan. Ini adalah pertarungan antara jiwa yang setia pada kebenaran dan dunia yang selalu menuntut kompromi.

Dan di akhir pergolakan batinnya, Yusuf hanya bisa menatap langit yang gelap di atas Jakarta, bergumam lirih, “Mungkin, inilah pertarungan terakhirku. Pertarungan melawan diriku sendiri.”

Di tengah heningnya malam, Yusuf membakar amplop itu, menyaksikan kertas-kertas itu lenyap dalam nyala api yang kecil namun pasti. Dan dengan itu, ia mengambil keputusan: ia akan tetap berdiri di jalan yang ia percayai, walau dunia di sekelilingnya mulai runtuh.

***

Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Api dari amplop yang terbakar di hadapan Yusuf menyala kecil, memercikkan cahaya ke dinding kamarnya yang suram. Sisa abu beterbangan, hilang ditiup angin malam yang masuk melalui jendela yang terbuka. Suara dering telepon membuyarkan lamunannya.

“Yusuf,” suara Umar terdengar di ujung sana, tenang namun penuh ancaman tersirat. “Aku tahu apa yang kau lakukan.”

Yusuf mengangkat alis, menatap sisa amplop yang kini tinggal abu. “Dan kau kira aku peduli, Umar? Apa yang kau lakukan telah melampaui batas. Kau bukan lagi Umar yang kukenal.”

Umar terdiam sejenak, seperti menimbang kata-katanya. “Kau tak mengerti, Yusuf. Dunia ini tidak berjalan sesuai dengan idealisme kita dulu. Kita tak punya pilihan selain beradaptasi. Kau bisa melawan, tapi aku tahu bagaimana permainan ini berakhir.”

Yusuf memejamkan mata, mencoba menahan amarah. “Permainan? Ini bukan permainan, Umar! Ini tentang hidup orang banyak. Kau telah menjual nilai-nilai yang kita perjuangkan. Kau pikir agama, budaya, sosial bisa dijadikan alat politik tanpa akibat? Kau sedang memecah bangsa ini.”

“Aku tidak memecah apa pun,” jawab Umar dingin. “Aku justru menyatukan mereka dengan cara yang kau takkan mengerti. Orang-orang butuh arah, dan kita harus memberikannya, meski dengan cara yang tak mereka sadari.”

Yusuf merasakan nadinya berdetak kencang. “Dengan memanipulasi mereka? Dengan menjadikan agama dan budaya sebagai topeng untuk kepentingan segelintir orang?”

Suara Umar berubah lebih tegas, hampir mengancam. “Yusuf, jangan naif. Kau tahu bagaimana dunia ini berjalan. Jika kita tidak mengendalikan, orang lain yang akan melakukannya. Dan mereka takkan sebaik diriku.”

“Kendalikan?” Yusuf tertawa pahit. “Apa yang kau sebut sebagai kendali adalah tirani yang kau samarkan dengan nama agama dan budaya. Kau pikir aku tak tahu siapa di balik semua ini? Kau pikir aku tak tahu bagaimana kau menjual dirimu pada mereka?”

Suasana tegang membungkam keduanya. Hanya suara embusan angin yang terdengar di sela-sela dialog batin yang bergolak.

“Yusuf,” suara Umar menjadi lebih halus, mencoba meredakan tensi. “Ini bukan soal menjual diri. Ini soal bertahan hidup. Kita bisa membuat perubahan dari dalam, tapi kita butuh kekuatan. Dan kekuatan itu tidak datang tanpa kompromi.”

Yusuf menggertakkan giginya. “Kompromi? Kau sudah kehilangan semua prinsip, Umar. Aku tak bisa menjadi bagian dari ini.”

“Yusuf,” kali ini suara Umar terdengar lebih mendesak. “Jangan lakukan ini. Jangan berpikir kau bisa melawan. Kau tak tahu betapa besar kekuatan yang sedang kita hadapi. Kau takkan menang sendirian.”

Yusuf menatap jendela yang terbuka, melihat ke arah kegelapan malam Jakarta. “Aku tak butuh menang, Umar. Aku hanya butuh melakukan apa yang benar.”

Di ujung telepon, Umar menghela napas panjang. “Kau naif dan bodoh, Yusuf. Kau takkan bisa melawan mereka. Mereka akan menghancurkanmu. Dan saat itu terjadi, jangan katakan aku tidak memperingatkanmu.”

“Kita akan lihat siapa yang kalah,” ujar Yusuf dengan nada dingin, sebelum menutup teleponnya.

Dalam keheningan yang mendadak itu, Yusuf berdiri, menatap sisa abu yang kini hilang dibawa angin malam. Di dalam hatinya, ada ketenangan yang mengalir, meskipun ia tahu bahwa jalan di depan sangat berbahaya.

Ketukan pintu tiba-tiba terdengar. Yusuf berbalik dengan cepat. Ketika ia membuka pintu, di sana berdiri sosok bayangan yang tak ia duga. Seorang pria berjas hitam, dengan senyum yang dingin dan pandangan penuh rahasia.

“Yusuf Bahchtiar, kan?” Suaranya halus namun menekan. “Kita perlu bicara. Tuan Umar mengirim saya.”

Yusuf membeku sejenak, tetapi hatinya sudah siap. “Apa pun yang akan kau katakan, jawabanku tetap sama.”

Pria itu tersenyum tipis, matanya menyiratkan sesuatu yang tak terucap. “Tuan Yusuf, ini bukan soal jawaban. Ini soal pilihan. Dan kau baru saja memilih jalan yang paling sulit.”

Yusuf menatapnya tajam, dadanya berdegup cepat. “Mungkin. Tapi aku akan tetap berjalan di atasnya.”

Pria itu tertawa pelan, langkahnya mendekat ke arah Yusuf dengan tenang. “Baiklah, kita lihat sejauh mana kau bisa bertahan. Dunia ini tak seindah yang kau bayangkan, Tuan Yusuf.”

Dengan nada tegas, Yusuf menjawab, “Aku tak pernah membayangkan dunia ini indah. Tapi aku tahu satu hal—aku tak akan tunduk pada permainan kalian.”

Dan ketika pintu tertutup di belakang pria itu, Yusuf tahu, pertempuran yang sebenarnya baru saja dimulai. Di dalam gelapnya malam, di balik bayang-bayang kekuasaan yang semakin mendekat, Yusuf berdiri tegar. Apa pun yang akan terjadi, ia sudah siap untuk bertarung—dengan keyakinan yang tidak akan pernah dijual, bahkan meski nyawanya menjadi taruhannya.

**

Di kejauhan, lonceng jam berbunyi, dan di tengah senyap malam Jakarta, Yusuf berbisik pada dirinya sendiri, “Pertarungan ini bukan untuk menang atau kalah. Ini tentang bagaimana aku tetap hidup dengan prinsipku, meski di bawah bayang-bayang kekuasaan.”

Tamat.