Benarkah Setelah Akad Nikah Istri Harus Segera Dijima’, Agar Tidak Didahului Setan?

darulmaarif.net – Indramayu, 26 September 2024 | 17.00 WIB

Pengantin baru yang baru saja selesai melaksanakan akad nikah biasanya masih malu-malu untuk melakukan jima’ atau hubungan suami istri.

Meski sudah sah, namun biasanya pengantin baru selalu memperhatikan terlebih dahulu persiapan yang harus dilakukan di malam pertama. Sebab bagi perempuan saat hendak melakukan jima’ dengan suaminya masih sering ada rasa gugup dan malu-malu.

Lalu, benarkah jika istri tidak segera dijima’ saat malam pertama, maka akan didahului oleh setan? Berikut penjelasannya.

Pertanyaan diatas tidak memiliki sandaran dalil yang jelas terkait statement di atas. Tapi ada riwayat jika suami tidak membaca do’a ketika bersetubuh dengan istri, maka jin yang akan menyetubuhinya. Sebagaimana riwayat dari Mujahid dan Hasan.

Yang benar, pasangan suami istri yang telah menikah, tidak harus langsung kumpul, boleh juga mereka tunda sesuai kesepakatan. Dari Urwah, dari bibinya, Aisyah radliyallohu ‘anha, beliau bercerita:

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- تَزَوَّجَهَا وَهْىَ بِنْتُ سَبْعِ سِنِينَ وَزُفَّتْ إِلَيْهِ وَهِىَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ وَلُعَبُهَا مَعَهَا وَمَاتَ عَنْهَا وَهِىَ بِنْتُ ثَمَانَ عَشْرَةَ

Artinya: “Bahwa Nabi SAW menikah dengan Aisyah rodliyallahu ‘anha ketika ‘Aisyah berusia 7 tahun. dan Aisyah kumpul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berusia 9 tahun, sementara mainan Aisyah bersamanya. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat ketika Aisyah berusia 18 tahun. (HR. Imam Muslim)

Dalam riwayat lain, Aisyah radliyallohu ‘anha juga bercerita:

تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، وَبَنَى بِي وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ

Artinya: “Nabi SAW menikahiku pada saat usiaku 6 tahun, dan beliau serumah denganku pada saat usiaku 9 tahun.” (Muttafaqun ‘alaih)

Semua riwayat ini dalil bahwa pasangan suami istri yang telah menikah, tidak harus langsung kumpul. Boleh juga mereka tunda sesuai kesepakatan.

Al-Imam Ar-Ruhaibani mengatakan,

(ومن استمهل منهما) أي ‏الزوجين ‏الآخر ‏‏(لزمه إمهاله ما) أي: مدة ‏‏(جرت عادة بإصلاح أمره) أي: المستمهل فيها ‏‏(كاليومين والثلاثة) طلبا ‏لليسر ‏والسهولة، ‏والمرجع في ذلك إلى العرف بين الناس؛ لأنه لا ‏تقدير فيه، فوجب الرجوع فيه إلى العادات

Artinya: “Jika salah satu dari suami istri minta ditunda maka harus ditunda selama rentang waktu sesuai kebiasaan yang berlaku, untuk persiapan bagi pihak yang minta ditunda, seperti 2 atau 3 hari, dalam rangka mengambil yang paling mudah. Dan acuan dalam hal ini kembali kepada apa yang berlaku di masyarakat. karena tidak ada acuan baku di sana, sehingga harus dikembalikan kepada tradisi yang berlaku di masyarakat. (Mathalib Ulin Nuha, 5/257).

Dengan demikian, boleh bagi seorang suami untuk menunda jima’ atau hubungan intim dengan istrinya sesuai dengan kesepakatan bersama. Hal ini berlaku sebagaimana adat atau kebiasaan yang berlaku di masyarakat setempat.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.