Santri Wajib Tahu! Siapa sesungguhnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

darulmaarif.net – Indramayu, 21 November 2022 | 16.00 WIB

Masih banyak perdebatan di kalangan umat Islam mengenai siapa Ahlus Sunnah wal Jama’ah sesungguhnya. Sayangnya, perdebatan itu muncul hanya dari argumentasi yang tak berdasar, atau hanya sebatas klaim-klaim subjektif tanpa adanya bukti historisitas sejarah yang valid sumbernya. Sehingga di kalangan kamu santri sendiri yang mengaku Ahlus Sunnah wal Jama’ah masih jarang yang memiliki referensi ilmiah yang bernas darimana asal-usul sejarahnya, juga tokoh yang pertama kali mencetuskan paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Ditulis oleh Ulama besar nusantara abad 18, Kiai Faqih bin Abdul Djabbar Maskumambang (sahabat karib Hadlrotus Syekh KH. Hasyim As’ari) menulis sebuah kitab yang diberi judul an-Nushushul Islamiyyah Fir-Roddi ‘Ala Madzhabil Wahhabiyyah. Dalam kitab ini beliau memaparkan secara jelas dan rinci terhadap asal-usul aliran Wahhabi, para tokohnya, serta argumentasi-argumentasi telak untuk menolak ajaran Wahhabi dalam berbagai sisi. Dalam kitab ini pula, beliau juga memaparkan mengenai asal-usul paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang mashyur di jadikan rujukan madzhab ilmu Kalam di kalangan santri dan pesantren.

Apabila dikatakan “Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka yang dikehendaki oleh kalimat tersebut adalah “mereka yang menganut paham imam al-Asy’ari (Asy’ariyyah) dan imam al-Maturidi (Maturidiyyah). Diantara kedua imam ini ditemukan sedikit perbedaan dalam beberapa masalah seperti masalah penciptaan alam, masalah pengecualian dalam persoalan iman, masalah iman seorang muqollid (orang yang sekadar ikut dan yakin tanpa mengetahui dalil-dalil yang dipakai orang yang diikutinya), dan imannya seorang muhaqqiqin (orang yang mengikuti suatu paham yang bisa meneliti dalil-dalil yang dipakai oleh orang yang diikutinya). Meski kedua imam ini memiliki perbedaan sudut pandang dalam menyikapi masalah-masalah iman ini, tetapi hal tersebut tidak berimplikasi kepada sikap saling menuduh sesat satu sama lain.

Adapun yang dimaksud “sunnah” adalah merujuk kepada perilaku Rosululloh Saw., sementara yang dimaksud dengan kata “wal Jama’ah” adalah perilaku para sahabat Nabi. Sedangkan nama imam al-Asy’ari sendiri adalah Abul Hasan al-Asy’ari an-Nashir lis-Sunnah Imamul Mutakallimin Ali bin Ismail bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa al-Asy’ari. Dan nama lengkap Abu Musa adalah Abdulloh bin Qais, beliau adalah salah satu sahabat Rosululloh Saw.

Imam al-Asy’ari dilahirkan pada tahun 260 H. Beliau belajar ilmu kalam pertama kali kepada Abu Ali bin Muhammad bin Abdul Wahhab al-Jubba’i, seorang guru besar aliran Muktazilah. Setelah itu, beliau meninggalkan gurunya karena mendapat mimpi agar berhenti berguru kepadanya. Akhirnya, imam al-Asy’ari mengumumkan bahwa dirinya telah keluar dari aliran Muktazilah. Tidak tanggung-tanggung, bertepatan pada hari jum’at, beliau sengaja naik mimbar di kota Bashrah (Irak) lalu dengan lantang berseru:

من عرفني فقد عرفني. و من لم يعرفني، انا فلان بن فلان. كنت اقول بخلق القران، و ان الله يرى في دار الاخرة بالابصار. وان العباد يخلقون افعالهم. و ها انا تاىب من الاعتزال، معتقد الرد على المعتزلة

Wahai sekalian muslimin.. Barangsiapa yang telah mengenalku, maka ia telah mengenalku. Barangsiapa yang belum mengenalku, maka ketahuilah bahwa saya ini adalah fulan bin fulan (seraya menyebutkan nama dan identitas lengkapnya). Dahulu, saya pernah mengemukakan pendapat bahwa al-Qur’an itu makhluk, dan sesungguhnya Alloh Swt. tidak bisa dilihat di akhirat nanti dengan mata, serta bahwa para makhluk itu bisa menciptakan perbuatan-perbuatan mereka sendiri. Ketahuilah bahwa sekarang saya telah bertauhat dan melepas diri dari semua itu.” (hal 60)

Sejak saat itu, beliau bertekad melakukan penolakan terhadap segala bentuk pendapat (pemikiran) madzhab Muktazilah. Hingga kemudian, beliau merealisasikan tekadnya itu dengan mengarang sebuah kitab yang berisi tentang bantahan-bantahan atas pemikiran Muktazilah secara detail.

Selanjutnya imam al-Asy’ari pergi ke Baghdad, dan disinilah beliau mengambil sanad periwayatan hadits dari imam Zakariya bin Yahya as-Saji, salah seorang pembesar Ulama hadits kala itu. Sedang dalam bidang Fiqh, beliau belajar dari Imam Abu Kholifah al-Jamhi, Imam Sahal bin Sharh, Imam Muhammad bin Ya’qub al-Muqri, serta Imam Abdurrohman bin Khollaf adh-Dhabbi. Beliau juga banyak menukil periwayatan hadits dari mereka dalam kitab tafsirnya. Beliau-imam al-Asy’ari-wafat sebagaimana diceritakan oleh al-Ustazd Ibnu Faurok pada tahun 324 H.

Sedangkan Imam al-Maturidi, bernama lengkap Abu Manshur al-Maturidi Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Hanafi yang dijuluki dengan gelar “Imamul Huda al-Mutakallimin”. Beliau adalah seorang Ulama besar nan kharismatik, piawai dalam membela agama, peletak dasar-dasar ajaran Ahlus Sunnah, dan telah berhasil mematahkan argumentasi madzhab Muktazilah dan para pengikut bid’ah sesat dalam perdebatan secara verbal antara beliau dan mereka semua, sehingga akhirnya mereka semua dibuat bungkam olehnya.

Imam al-Maturidi memiliki banyak karya, di antaranya adalah Kitab at-Tauhid, Kitab al-Maqolat, Kitab Rod Awail al-Adillah lil-Ka’bi serta Kitab Bayan Wahmul Muktazilah, dan masih banyak lagi karya-karya lainnya. Sedangkan guru-gku beliau adalah Imam Abu Bakar Ahmad bin Ishaq bin Shalih al-Juzjani, Muhammad bin Muqotil ar-Razi, serta Nashir bin Yahya al-Balkhi. Beliau wafat pada tahun 333 H. tidak alma setelah wafatnya Imam Abul Hasan al-Asy’ari, dan dimakamkan di daerah Samarkhand.

Yang perlu diketahui bahwa Imam al-Maturidi sebenarnya bukanlah murid atau pengikut Imam al-Asy’ari. Ini tak lain karena beliau lah orang yang pertama kali memunculkan paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Beliau juga yang telah memberi penjelasan secara rinci terhadap madzhab Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya, dimana mereka ini adalah para pembela paham akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada periode sebelum kemunculan Imam al-Asy’ari. Hal ini membuktikan bahwa setiap zaman akan selalu ada para pembela pemahaman agama yang benar.

Demikian pula, yang juga mesti diketahui adalah bahwa masing-masing dari kedua imam ini tidak menyusun pemahaman agama berdasar pendapat mereka sendiri. Akan tetapi, mereka semata-mata hanya menuturkan paham keyakinan yang utuh dan benar dari para sahabat Nabi, lalu mereka berjuang dengan keras membela keyakinan itu. Salah satu dari kedua Imam besar ini mengambil peran dalam membela nash-nash (pendapat) Imam Syafi’i, sedangkan satunya berjuang membela pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah. Hingga pada akhirnya, kedua Imam ini berdiri pada wilayah yang sama dalam mematahkan segala dalil para pengikut bid’ah dan kesesatan sehingga mereka (ahlul bid’ah) kalah dalam forum-forum tersebut. Dengan demikian, ketika seorang muslim m ngikuti madzhab pemikiran (keagamaan) kedua tokoh ini, maka ia akan disebut Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.

Demikianlah penjelasan singkat mengenai asal-usul paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah menurut pendapat Syekh Muhammad Faqih Maskumambang yang dinukil dari kitabnya, an-Nushishul Islamiyyah Fir-Roddi ‘Ala Madzhabil Wahabiyyah.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.