darulmaarif.net – Indramayu, 08 Desember 2022 | 08.00 WIB
Sebagian ulama fiqh berpendapat bahwa menikah merupakan bagian dari ibadah, sehingga akan mendapatkan pahala jika melaksanakannya. Karena selain menumbuhkan ketenangan dalam kehidupan, menikah juga merupakan sarana menambah dan melanjutkan keturunan.
Dengan berbagai kelebihan tersebut, nyatanya ada beberapa ulama’ yang tidak menikah hingga meninggal dunia. Kesungguhan mereka dalam mendalami dan mengembangkan keilmuan ternyata menanggalkan hasrat mereka untuk membina rumah tangga. Hal ini tentu berbeda dengan orang-orang aman now yang sedang trendi poligami. Karya belum tentu ada, namun istri lebih dari satu.
Alasan mereka melajang bukan karena tidak mau atau tidak suka menikah. Akan tetapi kesibukannya dengan keilmuan dan keislaman, menjadikan mereka lupa untuk menikah.
Imam Nawawi merupakan sosok yang sangat masyhur keilmuannya, terutama di kalangan santri pondok pesantren. Beliau memiliki beberapa karya hebat yang sering dikaji di pondok pesantren. Nama lengkapnya Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi. Beliau lahir pada tahun 631 H.
Pada tahun 649 H, beliau datang ke Damaskus dan belajar di Madrasah ar-Rawahiyah. Selama 4 setengah bulan, beliau telah hafal kitab at-Tanbih yang merupakan kitab fiqih syafiiyah karya al-Imam Abu Ishaq Ibrahim al-Syairazi al-Fairuzzabadi (393-476H).
Ketekunnan dan keuletan beliau dalam menuntut ilmu tidak perlu diragukan lagi. Bahkan menurut salah satu muridnya, Abu al-Hasan bin al-Athar, setiap hari an-Nawawi belajar 12 kitab kepada guru-gurunya.
Mulai kitab fiqih: al-Wasith dan Muhadzab; kitab hadis: al-Jam’u baina Sahihain, Sahih Muslim; kitab nahwu: al-Luma’; kitab bahasa: Islahul Mantiq; ilmu sharaf; ushul fiqih; ilmu hadis: Asmaur Rijal; dan aqidah.
Selain kitab-kitab di atas, beliau juga belajar berbagai kitab yang lain dari guru-gurunya yang berbeda.
Setiap waktunya beliau gunakan untuk belajar, mengajar, beribadah, membaca wirid, puasa, berdzikir, bahkan beliau sangat sabar dengan keadaan kehidupan beliau, baik dalam hal makanan maupun pakaian.
Imam Nawawi termasuk salah satu Ulama produktif dalam menghasilkan karya pada masanya. Di antara karya yang dianggitnya adalah; Riyadhus Shalihin, al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzzab, Raudha at-Thalibin, Fathul Wahhab, al-Tahqiq, Bustanul Arifin, al-Adzkar, dan lain sebagainya.
Dari saking alimnya sosok Imam Nawawi, apabila terjadi perbedaan pendapat antara Imam Rafi’i dan Imam Nawawi dalam menetapkan hukum, maka yang diunggulkan (ikuti) adalah pendapat Imam Nawawi. Walau begitu, siapa sangka orang sekaliber Imam Nawawi ini, lebih memilih menjomblo seumur hidup. Tentu saja, pilihan Imam Nawawi ihwal kejomblowannya itu bukan sembarang pilihan.
Perihal kejomblowan Imam Nawawi ini bahkan dibukukan oleh Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah, seorang murid dari Syekh Zahid Kautsari yang merupakan salah satu Ulama idola Gus Dur, dalam risalahnya yang bertajuk Al-Ulama Al-Uzzab Alladzina Atsaru Al-Ilma Ala Az-Zawaj, kemudian diterjemahkan oleh Yayan Musthofa, Para Ulama Jomblo: Kisah Cendekiawan Muslim yang Memilih Membujang (2020).
Karena itu, kepada para jomblowan-jomblowati, tidak usah risau dan khawatir. Sebab, pilihan klian untuk menikah atau menjomblo semua sudah ada mazhabnya masing-masing dari para ulama yang kapasitas keilmuan serta integritasnya tak ada seorang pun yang meragukan. Perihal kejomblowannya, kita bisa menemukan ketegasan dari beliau, sebagaimana yang termaktub dalam Muqoddimah (bagian pembuka) kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzzab (kitab komentar dari kitab Al-Muhadzzab). Dalam karyanya ini, Imam Nawawi secara tegas dan lugas menyatakan dukungan atas “thariqoh jomblowiannya”. Dengan menyitir beberapa argumentasi para ulama. Seperti Al-Hafizh Al-Khatib Al-Baghdadi (ulama pakar hadis dan sejarawan) yang berpesan demikian,
يستحب للطالب أن يكون عزبا ما أمكنه، لئلا يقطعه الاشتغال بحقوق الزوجة، والاهتمام با لمعيشة، عن إكمال طلب العلم
Artinya: “Dianjurkan bagi penuntut ilmu (pelajar) untuk menjomblo sebisa mungkin, agar kesibukan kewajiban-hak suami-istri dan mencari nafkah tidak memotong (mengganggu) proses kesempurnaan mencari ilmu”. (Lihat, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzzab, Juz I, hal. 65)
Juga ungkapan seorang sufi besar Ibrahim bin Adham berikut,
من تعود أفخاذ النساء لم يفلح
Artinya: “Barangsiapa yang terbiasa (disibukkan) dengan mulus paha para wanita (seks), maka dia tidak akan beruntung atau bahagia”. (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzzab, Juz I, hal. 65)
Kemudian Imam Nawawi juga menyitir pendapat Imam Sufyan Ats-Tsauri (seorang mujtahid mutlak berkebangsaan Kuffah),
اذا تزوج الفقيه فقد ركب البحر، فإن ولد له فقد كسربه
Artinya: “Ketika seorang fakih (orang yang menguasai ilmu di bidang agama) menikah, maka ia telah menaiki perahu untuk berlayar di atas samudera. Apabila lahir seorang anak (memiliki anak), maka ia telah hancurkan perahu itu berkeping-keping”. (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzzab, Juz I, hal. 65)
Walaupun Imam Nawawi menjomblo, bukan berarti beliau tidak paham mengenai hukum menikah yang sangat dianjurkan oleh agama. Akan tetapi, Imam Nawawi lebih memilih untuk memendam urusan duniawinya demi sebuah ilmu pengetahuan. Ini artinya, sebegitu mahalnya ilmu hingga sebagian ulama-ulama kita terdahulu (salah satunya Imam Nawawi) lebih memilih ilmu pengetahuan daripada menikmati hidup dengan cara menikah.
Kemudian, untuk memperkuat mazhab jomblonya ini, Imam Nawawi menegaskan kembali dalam Muqodimah kitab Al-Majmu’-nya,
قلت هذا كله موافق لمذهبنا، فان مذهبنا أن من لم يحتج الى النكاح استحب له تركه، وكذا إن احتاج وعز عن مؤنته
Artinya: “Saya menegaskan. Semua ucapan ulama di atas (yang menganjurkan membujang), sesuai dengan prinsip mazhab kami (mazhab Asy-Syafi’i). Seseorang yang belum membutuhkan pernikahan dianjurkan untuk tidak melakukannya (menjomblo). Begitu juga bagi seseorang yang merasa membutuhkan pernikahan, akan tetapi ia belum mampu membiayai pernikahan (tidak punya biaya)”. (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzzab, Juz I, hal. 66)
Dari sini jelas bahwa beliau adalah termasuk orang yang tidak membutuhkan pernikahan. Bahkan, andaikan menikah, maka menurutnya, fokus pengabdian terhadap ilmu akan terganggu. Berkat kejomblowannya itu, Imam Nawawi banyak menghasilkan karya ilmiah dan dijadikan rujukan oleh banyak kalangan.
Bagi yang meniti jalan jomblo seumur hidup seperti laku Imam Nawawi, jadilah jomblo sejati yang rela mengorbankan seluruh hidupnya demi kecintaan pada ilmu. Tapi bagi yang memang butuh menikah, menikahlah dengan kesiapan lahir-bathin dalam mengarungi biduk rumah tangga.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.