Masyarakat Harus Tahu! Ini Rambu-rambu Islam dalam Memilih Pemimpin atau Pejabat

darulmaarif.net – Indramayu, 15 November 2024 | 14.00 WIB

Setiap lima tahun, saat musim Pemilu tiba, masyarakat disibukkan dengan berbagai calon pemimpin yang muncul. Di balik beragam wajah dan nama yang berusaha menarik perhatian, banyak umat Islam yang merasa bingung dalam menentukan pilihan. Rambu-rambu Islam dalam memilih pemimpin menjadi sangat penting untuk dipahami, mengingat mereka sering dihadapkan pada narasi negatif yang beredar di berbagai platform media sosial. Narasi-narasi ini menciptakan ketidakpastian dan keraguan di hati para pemilih. Masyarakat pun menghadapi dilema antara harapan akan perubahan dan ketakutan terhadap konsekuensi dari pilihan yang mungkin salah. Dalam situasi ini, umat Islam dituntut untuk mampu menyaring informasi agar dapat menemukan calon pemimpin yang tidak hanya menjanjikan, tetapi juga sejalan dengan nilai dan prinsip agama.

Artikel ini mencoba mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya kebijaksanaan dalam memilih. Rambu-rambu Islam dalam memilih pejabat harus mencakup pemahaman tentang latar belakang, visi dan misi calon, serta karakter dan integritas mereka. Dengan pendekatan yang cerdas dan kritis, kita dapat menentukan pemimpin yang mampu membawa kemaslahatan bagi masyarakat.

Prinsip Utama Memilih Pemimpin

Prinsip utama dalam sistem pemerintahan Islam adalah kesetaraan (al-musawah) dan keadilan (al-‘adalah). Dalam memilih pemimpin atau pejabat, Islam menggarisbawahi pentingnya bersikap adil. Keadilan yang dimaksud adalah memandang segala sesuatu secara obyektif. Dalam konteks ini, obyektifitas dalam menilai dan memilih individu untuk menduduki jabatan tertentu menjadi sangat penting.

Bersikap Adil Dalam Memilih

Imam Al-Mawardi (975-1058 M) dalam al-ahkam al-sulthoniyah menjelaskan bahwa ahlu al-ikhtiyar (sekelompok orang yang bertugas memilih pemimpin) harus memenuhi tiga syarat: keadilan menyeluruh, pengetahuan yang luas tentang calon, serta kebijaksanaan. Jika syarat-syarat ini dipenuhi, mereka akan mampu memilih calon pemimpin yang paling layak (kredibel). Meskipun konsep Al-Mawardi tentang “ahlu al-ikhtiyar” tidak lagi sepenuhnya diterapkan di Indonesia, syarat-syarat tersebut tetap relevan bagi kita dalam proses pemilihan pemimpin atau pejabat publik. Sebagaimana kita ketahui, pemilihan pemimpin di Indonesia melalui pemilu yang memberi masyarakat hak untuk menentukan pilihan secara langsung.

Poin penting yang perlu diperhatikan adalah jika pemilih menyadari makna hak pilih yang mereka miliki dan berusaha memenuhi syarat-syarat tersebut, maka akan mungkin sekali hasil pemilu dapat melahirkan kepemimpinan yang berkualitas. Dari kepemimpinan yang berkualitas akan muncul pejabat yang berkompeten, dan dari para pejabat yang berkualitas ini lahir pelayanan publik yang baik untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Memilih Pejabat Yang Kredibel

Kredibilitas pejabat menjadi faktor krusial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka memiliki tanggung jawab penting untuk membantu pemimpin (presiden/kepala daerah) dalam memberikan manfaat kepada masyarakat serta mencegah tindak pidana kriminal, termasuk memberantas korupsi yang telah lama merugikan negara dan menghambat kesejahteraan masyarakat.

Al-Qur’an menggambarkan betapa pentingnya kredibilitas seseorang sebelum kita menunjuknya untuk suatu tugas. Melalui kisah putri Nabi Syu’aib AS yang mengusulkan ayahnya untuk memperkerjakan Nabi Musa AS sebagai penggembala, Allah SWT berfirman:

قَالَتْ إِحْدَىٰهُمَا يَٰٓأَبَتِ ٱسْتَـْٔجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ ٱسْتَـْٔجَرْتَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْأَمِينُ

Artinya: “Berkatalah salah satu dari keduanya, ‘Wahai Ayahanda, pekerjakanlah ia karena sesungguhnya sebaik-baiknya orang yang engkau pekerjakan adalah yang kuat dan dapat dipercaya (amanah).” (QS. Al-Qashas [28]: 26)

Kekuatan (kapabilitas) dan amanah dalam ayat tersebut melambangkan kredibilitas yang harus dimiliki seseorang ketika dipilih menjadi pemimpin. Dua aspek ini telah dipandang oleh Ibnu Taimiyyah sebagai rukun (tiang penyangga) sebuah pemerintahan. Dalam dimensi pemerintahan, kekuatan (al-quwwah) adalah kedalaman pengetahuan seorang pemimpin mengenai keadilan dan kemampuannya untuk memastikan keberlangsungan hukum demi mewujudkan keadilan. Sedangkan amanah diartikan sebagai rasa takut seorang pemimpin kepada Allah SWT dan hilangnya rasa takut terhadap manusia. Keduanya merupakan ukuran kualifikasi untuk disebut layak memimpin.

Imam As-Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa mengungkapkan pidato pertama Umar bin Khattab ketika dilantik menjadi Khalifah. Setelah memuji Allah SWT, Umar menyatakan, “Sungguh, aku telah diuji dengan kalian dan kalian juga diuji denganku, karena aku telah ditunjuk untuk menggantikan sahabatku (Abu Bakar RA). Siapapun yang hadir akan kutunjuk pejabat-pejabat yang kuat dan amanah. Jika mereka berlaku adil, akan kutambah kebaikan untuk mereka. Namun, jika mereka zalim, akan kutindak mereka. Semoga Allah SWT mengampuni kita semua.” Dengan pidato tersebut, Umar ingin menegaskan kepada masyarakat akan keadilan yang akan ditegakkannya dan berkomitmen untuk menunjuk orang-orang yang kuat dan amanah.

Penyelewengan, Kezaliman, dan Kehancuran

Imam Al-Mawardi sebelumnya mengusulkan agar proses pemilihan pemimpin didasari oleh prinsip adil agar tercipta kepemimpinan yang berkualitas. Terlebih, keadilan adalah elemen esensial dalam diskusi seputar kepemimpinan. Sebagai amanat agama dan konstitusi, keadilan berfungsi sebagai katalis keberhasilan dan keberlangsungan sebuah pemerintahan. Sebaliknya, kezaliman akan mengancam dan menghancurkan suatu pemerintahan. Hal ini ditegaskan oleh Imam Al-Ghazali:

والسلطان الظالم لا يبقى ملكه ولا يدوم، لأن النبي صلى الله عليه وسلم يقول: “الملك يبقى مع الكفر ولا يبقى مع الظلم.

Artinya: “Sebuah pemerintahan yang dipimpin oleh pemimpin yang zalim tidak akan berlangsung lama. Karena Nabi ﷺ bersabda: ‘Kekuasaan seorang raja akan tetap melekat meskipun ia kafir, akan tetapi tidak dengan kezaliman.”

Kutipan Imam Al-Ghazali menggambarkan bahwa kezaliman seorang pemimpin adalah faktor utama yang dapat menghancurkan pemerintahannya. Justru, kekafiran pemimpin tidak menjadi masalah berarti jika keadilan ditegakkan dan pencegahan kezaliman dilakukan dengan baik.

Keadilan adalah modal utama seorang pemimpin dalam menjalankan roda pemerintahan. Ini meliputi pemilihan individu untuk posisi tertentu, di mana obyektifitas dalam memilih tanpa terpengaruh oleh afiliasi pribadi atau praktik nepotisme merupakan tanda keadilan. Jika ditemukan adanya pengaruh lain yang mempengaruhi pemilihan pejabat, maka itu menunjukkan ketidakadilan dan pengkhianatan. Ibnu Taimiyyah menegaskan:

فيجب على وليّ الأمر ان يولّي على كل عمل من اعمال المسلمين اصلح من يجده لذلك العمل. قال النبي صلى الله عليه وسلم: “من ولي من امر المسلمين شياً, فولي رجلاً وهو يجد من هو اصلح للمسلمين منه, فقد خان الله ورسوله وخان المؤمنين.”

Artinya: “Wajib hukumnya seorang pemimpin menunjuk orang yang paling kredibel untuk mengurusi urusan umat Islam. Jika seorang pemimpin menunjuk seseorang untuk suatu jabatan, padahal ia menemukan individu lain yang lebih layak, maka sungguh ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan umat Islam.” (HR. Al-Hakim)

Pernyataan tegas ini mendesak kita untuk memahami bahwa penyalahgunaan wewenang oleh pemegang otoritas dalam memilih pejabat merupakan khianat tidak hanya kepada rakyat, tetapi juga kepada Allah dan Rasul-Nya. Jabatan politik seharusnya digunakan untuk kemaslahatan masyarakat luas, bukan untuk kepentingan segelintir pihak.

Sebagai masyarakat Muslim, kita harus selalu mengedepankan sikap adil (inshof) dalam menghadapi fenomena politik. Kritik yang disampaikan harus bersifat konstruktif, bukan hanya berdasarkan emosi negatif. Jika kita mengharapkan keadilan dari pemimpin, maka kita juga harus mulai menerapkannya dalam diri kita sendiri.

Semoga rambu-rambu Islam dalam memilih pemimpin atau pejabat ini bermanfaat dalam membantu kita menjalankan hak pilih dengan bijaksana demi tercapainya kepemimpinan yang berkualitas.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.