Kripto dan NFT dalam Timbangan Hukum Islam: Aset Digital antara Spekulasi dan Syariat

darulmaarif.net – Indramayu, 16 April 2025 | 10.00 WIB

Dalam era digitalisasi global, aset Kripto dan NFT (Non-Fungible Token) menjadi fenomena ekonomi yang tak terhindarkan. Bitcoin, Ethereum, hingga karya seni NFT kini tak hanya jadi alat spekulasi tapi juga dianggap instrumen investasi modern. Namun, sebagai umat Islam, kita wajib bertanya: Apakah aset digital tanpa jaminan fisik seperti ini halal menurut hukum syariat?

Di sinilah titik krusialnya. Banyak transaksi kripto dan NFT yang hanya berorientasi pada untung cepat melalui fluktuasi harga yang ekstrem (volatile), tanpa dasar nilai riil atau aset pendukung yang jelas. Ini menciptakan praktik gharar (ketidakjelasan) dan maysir (spekulasi/judi) dalam jual beli.

Dalil Kaidah Fiqh

Para ulama kontemporer mengangkat kaidah fiqh dalam hukum mu’amalat:

الْغَرْمُ بِالْغَنْمِ يَعْنِي إِنَّ مَنْ يَنَالُ نَفْعَ شَيْئٍ يَحْتَمِلُ ضَرَرَهُ

Artinya: “Resiko sejalan dengan keuntungan (yakni orang yang memperoleh manfaat atas sesuatu, pada saat yang sama harus mau berkorban bila terjadi resiko dari usaha yang telah memberikan keutungan kepada dirinya)”.

Maksud Kaidah Fiqhiyah ini adalah seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus siap juga menanggung risiko yang akan dihadapi. Artinya, keuntungan dalam transaksi hanya sah jika ditopang oleh risiko yang nyata dan nilai yang seimbang. Aset kripto dan NFT yang diperdagangkan tanpa nilai riil (underlying asset) cenderung menyalahi kaidah ini karena hanya berorientasi pada high risk, high gain yang sangat spekulatif.

Al-Qur’an secara prinsip juga mengingatkan umat Islam untuk menjauhi transaksi yang bersifat judi dan ketidakjelasan:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (QS. Al-Ma’idah Ayat 90)

Dalam konteks fiqih mu’amalat, spekulasi tanpa kepastian nilai atau barang termasuk bentuk transaksi yang dilarang.

Dalam kitabnya Hasyiyah Al-Bujairimi ‘ala Khathib, Syekh Al-Khathib As-Syirbini menjelaskan sebagai berikut:

البُيُوعُ ثَلاثَةُ أشْياءَ) أيْ أنْواعٍ بَلْ أرْبَعَةٌ كَما سَيَأْتِي. الأوَّلُ. (بَيْعُ عَيْنٍ مُشاهَدَةٍ) أيْ مَرْئِيَّةٍ لِلْمُتَبايِعَيْنِ (فَجائِزٌ) لِانْتِفاءِ الغَرَرِ. (و) الثّانِي (بَيْعُ شَيْءٍ) يَصِحُّ السَّلَمُ فِيهِ (مَوْصُوفٍ فِي الذِّمَّةِ)

Artinya: “Jual beli itu ada tiga perkara atau tiga macam, dalam satu wajah ada 4 macam. Pertama: jual beli barang fisik yang bisa disaksikan oleh dua orang yang saing melakukan akad, maka hukumnya adalah boleh karena ketiadaan gharar (penipuan). Kedua, jual beli sesuatu yang bisa ditunjukkan karakteritiknya dan berjamin.” (Hasyiyah Al-Bujairimi ‘ala Khathib, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 2015], juz III, halaman 4).

Aset cryptocurrency seperti Bitcoin, Ethereum, Polkadot, Tether, Solana, dan atau koin Kripto/NFT lainnya pada dasarnya tidak memenuhi kategori sebagai sil’ah (komoditas) secara fikih, disebabkan tidak masuk kategori ‘ain musyahadah maupun kategori syai-in maushuf fidz-dzimmah. Apalagi, aset Kripto dan NFT merupakan aset yang memiliki nilai volatilitas yang tinggi.

Pandangan Ulama Kontemporer

Beberapa Ulama seperti Dr. Yusuf Al-Qaradawi, Syeikh Taqi Usmani, dan Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) menyatakan bahwa:

  1. Kripto yang tidak memiliki aset dasar dan hanya ditransaksikan untuk spekulasi harga, termasuk maysir, dan hukumnya haram.
  2. NFT yang hanya berbentuk gambar tanpa nilai manfaat yang nyata atau legalitas hak cipta, juga dilarang untuk diperjualbelikan.

Namun, ada pengecualian. Jika kripto atau NFT digunakan sebagai alat tukar dalam sistem yang stabil, transparan, memiliki nilai riil (underlying asset seperti emas, produk jasa, atau proyek teknologi riil), maka bisa dinilai halal berdasarkan maslahah (kemanfaatan) dan ‘urf (kebiasaan pasar) yang sah menurut syariah.

Solusi Islam: Jalan Tengah yang Bijak

  1. Edukasikan Masyarakat agar tidak latah berinvestasi kripto tanpa ilmu syariah dan mitigasi risiko jangka panjang.
  2. Gunakan Platform Syariah yang menjamin transparansi, nilai riil, dan bebas dari spekulasi liar.
  3. Fatwa Tegas dan Terbuka dari lembaga syariah agar umat tidak terjebak dalam jebakan emas digital palsu.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Kripto dan NFT adalah realitas baru yang menantang para Ulama untuk menggali hukum dari sumber-sumber syariah dengan pendekatan kontemporer. Selama transaksi itu memenuhi prinsip keadilan, kejelasan, transparansi dan manfaat riil, maka Islam memberikan ruang fleksibilitas. Tapi jika hanya menjadi alat spekulasi dan model pemiskinan baru, maka syariat Islam jelas mengharamkannya.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.