Kemuliaan Bukanlah tentang Garis Nasabnya, Tetapi Soal Ini

darulmaarif.net – Indramayu, 08 September 2023 | 08.00

الشرف بالادب لا بالنسب

“Kemuliaan itu dengan adabnya (budi pekertinya), bukan karena keturunannya.”

Namun kenyataannya, yang sering terjadi dan kita temui di tengah-tengah kehidupan kita adalah, seseorang yang merasa mulia karena nasabnya, harta kekayaannya, atau karena jabatannya. Merasa dirinya lebih baik karena ia merasa nasab kedua orangtuanya, orangtua yang memiki segala hal yang membuat ia menjadi seseorang yang terpandang.

Padahal sejatinya, kemuliaan yang kita dapatkan adalah dengan adab baik yang selalu kita lakukan kepada siapapun. Adab atau akhlak yang baik meverminkan bahwa seseorang memiliki kapasitas iman dan takwa nya yang baik pula. Mulia bukan karena nasabnya, harta, ataupun jabatan kedua orangtua kita.

Ada satu kisah menarik. Suatu hari cucu Nabi yang amat sholeh dan rendah hati, Imam Ali Zainal Abidin yang populer dipanggil “As-Sajjad” tampak sedang berduka. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu yang menggelisahkan hatinya. Pipinya basah oleh air mata yang tak terbendung. Temannya mengatakan, “wahai, putra Husein yang mulia, cucu Ali bin Abi Thalib yang mulia dan cicit Nabi Muhammad, utusan Alloh yang amat mulia, mengapa engkau berduka?”.

As-Sajjad menjawab, “saudaraku, tolong jangan bawa-bawa ayah, ibu dan kakekku. Aku sedang memikirkan masa depanku sendiri, aku akan tinggal di mana sesudah aku meninggalkan dunia ini. Apakah aku akan selamat atau tidak? Ingatlah, di akhirat kelak tak ada lagi hubungan nasab atau keturunan yang bisa menyelamatkan seseorang, kecuali amal sholehnya masing-masing.”

Apa yang dijelaskan dan menjadi sesuatu yang menggelisahkan As-Sajjad itu selaras dengan firman Alloh Swt dalam Surat Al-Mu’minun ayat 101.

فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلَا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلَا يَتَسَاءَلُونَ

“Apabila terompet ditiup (kelak pada Hari Kiamat) maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanggungjawab”.

Dalam ayat lain, Alloh Swt juga berfirman:

فَإِذَا جَاءَتِ الصَّاخَّةُ. يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ، وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ

“Dan apabila terompet kedua ditiup. Hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan dari anak-anaknya. Setiap orang pada hari itu disibukkan oleh urusan dirinya sendiri”. (QS. Abasa:33-37)

Selain itu, Alloh Swt juga menyatakan:

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُون َإِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Alloh dengan hati yang bersih”. (QS. Asy-Syu’ara: 88-89)

Betapa mendalamnya pengetahuan As-Sajjad, cicit Nabi yang mulia itu dan betapa rendah hatinya beliau ini. As-Sajjad sangat mengerti bahwa kemuliaan dan kebaikan seorang manusia hanyalah karena ketakwaannya kepada Alloh, bukan karena keturunan, jabatan, jenis kelamin, aksesoris atau simbol-simbol yang dilekatkan orang kepadanya.

Alloh Swt sudah menegaskan mengenai hal ini:

اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ اَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya yang paling mulia di mata Allah adalah orang yang paling bertakwa”. (QS. Al-Hujurat: 13)

Sejalan dengan ayat di atas, Nabi mengatakan :

اِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى اَجْسَامِكُمْ وَلَا اِلَى صُوَرِكُمْ. وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَاَعْمَالِكُمْ

“Alloh tidak melihat jasad dan rupa kalian, tetapi Alloh melihat hati dan amal perbuatan kalian”. (HR. Muslim)

Surga disediakan untuk orang-orang yang beriman dan berbuat baik, dari manapun berasal, berwarna kulit apapun, berjenis kelamin apapun dan dari keturunan siapapun.

Neraka itu menjadi tempat orang-orang yang mengingkari atau menentang Alloh, dan tempat bagi orang-orang yang berbuat jahat, dari manapun, berwarna kulit apapun, jenis kelamin apapun dan keturunan siapapun.

Wahai kaum muslimin dan muslimat, para pemuda pemudi Islam, janganlah kalian berjalan di muka bumi ini dengan angkuh lagi membanggakan diri karena nasab, jabatan atau status sosial lainnya. Jangan pula pesimis atau minder karena tidak terlahir dari orangtua yang berasal mulia, berpangkat tinggi, atau kaya raya. Sebab, semua itu tak ada gunanya di mata Alloh. Alloh senantiasa melihat satu-satunya parameter kemuliaan hamba-Nya karena keimanan dan ketakwaan para hamba-Nya. Imam Ali Zainal Abidin adalah sosok mulia, meski terlahir dari keturunan Nasab Nabi yang paling mulia, akan tetapi beliau tetap tawadlu’ dengan mengatakan: “saudaraku, tolong jangan bawa-bawa ayah, ibu dan kakekku.”

Semoga Bermanfaat. Wallohu a’lam.