Hukum Anak Menolak Pernikahan Karena Dijodohkan Orangtua

darulmaarif.net – Indramayu, 30 Juni 2024 | 08.00 WIB

Islam merupakan agama yang egaliter dan universal. Berbagai persoalan kehidupan manusia telah Alloh sempurnakan melalui perantara diutusnya baginda Nabi Muhammad Saw untuk membimbing umat manusia ke jalan kebahagiaan sejati yang sesuai dengan syari’at Islam.

Diantara persoalan yang masih kerap terjadi di masyarakat kita adalah perjodohan. Perjodohan umumnya dilakukan oleh orangtua. Mereka kerap menjodohkan anaknya dengan seseorang yang dinilainya pantas mendampingi anak mereka. Tentu saja niat mereka baik. Mereka tak ingin melihat anak mereka seumur hidup didampingi pria mata keranjang, suka main tangan, atau segala macam perilaku setan pada umumnya.

Orangtua dapat dan tentu boleh saja menjodohkan anaknya. Namun, hendaknya persoalan “perjodohan” ini meminta izin dan persetujuan dari anaknya terlebih dahulu, agar pernikahan yang diselenggarakan didasarkan pada sikap kerelaan masing-masing pihak, bukan karena keterpaksaan. Pernikahan yang dibangun atas dasar keterpaksaan, jika terus berlanjut khawatir akan mengganggu keharmonisan rumah tangga.

Menjawab persoalan ini, Sahabat Abu Hurairah rodliallohu ‘anhu berkata bahwa Rosulullah Saw bersabda:

لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى‎ ‎تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ‏‎ ‎الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ‏‎ ‎قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ‏‎ ‎وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ‏‎ ‎تَسْكُتَ

Artinya: “Tidak boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya.” Mereka bertanya, “Wahai Raosululloh, bagaimana mengetahui izinnya?” Beliau menjawab, “Dengan ia diam.” (HR. Imam Al-Bukhori dan Muslim)

Di antara kemuliaan yang Alloh Ta’ala berikan kepada kaum wanita setelah datangnya Islam adalah bahwa mereka mempunyai hak penuh dalam menerima atau menolak suatu lamaran atau pernikahan, yang mana hak ini dulunya tidak dimiliki oleh kaum wanita di zaman jahiliah. Karenanya tidak boleh bagi wali wanita manapun untuk memaksa wanita yang dia walikan untuk menikahi lelaki yang wanita itu tidak senangi.

Lantas berdosa kah seorang anak yang menolak perjodohan orangtua nya, dan apakah anak tersebut dikatakan durhaka karena penolakannya?

وعن ابن عباس رضي الله عنهما “أن جارية بكرا أتت النبي صلى الله عليه وسلم فذكرت أن أباها زوجها وهي كارهة فخيرها رسول الله صلى الله عليه وسلم” رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه

Artinya: “Dari sahabat Ibnu Abbas rodliallohu ‘anhuma, beliau berkata: Telah datang seorang gadis muda terhadap Rasulullah Saw dan ia mengadu bahwa ayahnya telah menikahkanya dengan laki-laki yang tidak ia cintai, maka Rosululloh Saw memberikan pilihan kepadanya (melanjutkan pernikahan atau berpisah). (HR. Imam Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah).

Maka berdasarkan hadits tersebut diatas, penolakan seorang anak terhadap perjodohan orangtua nya adalah tidak berdosa dan tidak dikategorikan sebagai sikap durhaka, dengan sebuah catatan penolakan tersebut harus dilakukan dengan cara dan ucapan yang bijak sehingga tidak menyakiti hati dan perasaan orangtua.

Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas rodliallohu ‘anhu berkata bahwasannya Nabi Muhammad Saw bersabda:

الثَّيِّبُ أَحَقُّ‏‎ ‎بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا‎ ‎وَالْبِكْرُ يَسْتَأْذِنُهَا‎ ‎أَبُوهَا فِي نَفْسِهَا‎ ‎وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا

Artinya: “Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan maka ayahnya harus meminta persetujuan dari dirinya. Dan persetujuannya adalah diamnya.” (HR. Imam Muslim)

Hukum pernikahan dalam Islam yang sesuai dengan syari’at adalah dengan adanya keridloan dari kedua calon mempelai. Jelas sudah jika satu tak ridlo, atau nikah dengan terpaksa maka pernikahan tersebut tidak sesuai anjuran syari’at Islam dan jelas dilarang dalam agama.

Pendapat senada juga disampaikan oleh al-Imam al-Faqih Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad ibn Muflih al-Muqdisi dalam kitabnya Adabus Syar’iyah wa al-Minah al-Mar’iyah, menjelaskan bahwa orangtua tidak memiliki hak untuk menentukan calon suami atau calon istri yang tidak diinginkan anaknya, bahkan jika di saat yang bersamaan ia menolak ketentuan orang tuanya, maka ia tidak termasuk anak yang durhaka,

لَيْسَ لِأَحَدِ الْأَبَوَيْنِ أَنْ يُلْزِمَ الْوَلَدَ بِنِكَاحِ مَنْ لَا يُرِيدُ، وَإِنَّهُ إذَا امْتَنَعَ لَا يَكُونُ عَاقًّا

Artinya, “Tidak ada hak bagi salah satu orangtua untuk menentukan calon (suami/istri) yang tidak diinginkan anaknya. Sungguh, jika ia menolak maka ia tidak termasuk durhaka.” (Ibnu Muflih, al-Adabus Syar’iyah wa al-Minah al-Mar’iyah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1999 M\1419 H], juz II, halaman 55).

Dengan demikian, memaksa seorang anak untuk menikah dengan orang yang tidak dicintainya adalah tindakan yang tidak tepat. Sebab, pernikahan tidak boleh dibangun atas dasar paksaan dan tekanan. Kedua calon suami dan istri memiliki hak dan kebebasan untuk menentukan calon pendamping hidupnya sendiri.

Dalam satu riwayat, Rosululloh Saw juga dengan tegas melarang untuk memaksa seorang anak menikah,

لَاتُنْكِحُهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ

Artinya, “Jangan nikahkan wanita, sedangkan ia dalam keadaan terpaksa.” (HR. Imam An-Nasa’i)

Dengan demikian, tidak boleh bagi ayah dan ibu itu untuk memaksa anaknya menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Hal ini semata demi kebahagiaan rumah tangga anaknya kelak. Islam juga melarang pernikahan yang dipaksakan orangtua, karena akan berbahaya bagi kehidupan rumah tangga anaknya kelak.

Bisa jadi mereka menikah hanya sebatas formalitas saja, karena semata mengikuti keinginan orangtua. Yang terjadi justru akan menimbulkan mafsadat yang besar, sebab pernikahan yang tidak dibangun atas dasar sama-sama rela tidak akan menemukan tujuan utama membangun rumah tangga: merawat mawaddah, rohmah dan menemukan sakinah.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.