darulmaarif.net – Indramayu, 29 Oktober 2025 | 10.00 WIB
Dalam dinamika pergaulan sehari-hari saat ini, pengalaman disakiti oleh teman yang tidak loyal atau biasa disebut backstabber (menusuk dari belakang) sangatlah relevan dan menguji ketahanan jiwa kita. Sakitnya menusuk begitu dalam, tapi tak berdarah.
Di zaman modern ini, hubungan sosial tidak hanya terjadi secara langsung, tetapi juga melalui media sosial dan lingkungan virtual yang lebih luas, sehingga luka batin dari pengkhianatan bisa datang dengan cara yang lebih kompleks dan menyakitkan. Islam sebagai agama rahmat dan akhlak mulia memberikan tuntunan praktis yang tidak hanya mengajarkan kita untuk menjauh dari orang yang menyakiti, tetapi jauh lebih penting, bagaimana bersikap bijak dan elegan dalam menanggapi keadaan tersebut.
Ketika disakiti oleh teman, insting alami adalah merasa marah, kecewa, dan bahkan ingin membalas. Namun, Islam mengingatkan bahwa kekuatan sejati bukanlah dalam membalas dendam, melainkan dalam kesabaran dan mengendalikan emosi diri kita. Hal ini sangat penting di tengah arus informasi yang cepat dan hubungan sosial yang terkadang dangkal, sehingga mudah terjadi salah paham dan prasangka buruk. Dengan bersabar dan menahan emosi, kita memberi waktu pada diri untuk berpikir jernih dan tidak membuat keputusan berdasarkan amarah semata.
Kesabaran dan Pengendalian Diri
Langkah pertama yang harus dilakukan seseorang yang merasa dikhianati oleh temannya adalah bersabar dan mengendalikan diri. Islam sangat menekankan nilai kesabaran dalam segala kondisi apalagi ketika berhadapan dengan ujian perasaan dari orang terdekat. Firman Alloh SWT di dalam Al-Qur’an menyatakan:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
Artinya: “Dan sungguh, Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqoroh Ayat 155)
Kesabaran dalam menghadapi sikap teman yang menyakiti merupakan bentuk ujian iman yang jika dilalui dengan benar akan mengantarkan kepada keberkahan dan ketenangan hati.
Tabayyun Sebelum Memutuskan Sikap
Islam juga mengajarkan prinsip tabayyun atau klarifikasi sebelum mengambil kesimpulan, terutama ketika ada fitnah atau tuduhan. Dalam QS. Al-Hujurat ayat 12, Alloh SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” (QS. Al-Hujurat Ayat 12)
Sikap tabayyun mencegah kita berprasangka buruk tanpa bukti kuat. Bila merasa telah dikhianati, sebaiknya temui dan tanyakan langsung kepada teman tersebut agar jelas duduk perkaranya.
Memaafkan adalah Kemuliaan
Memaafkan adalah tingkatan akhlak tertinggi yang dapat dimiliki manusia, seperti firman Alloh SWT berikut:
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
Artinya: “Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang antara kamu dan dia menjadi seperti teman yang sangat setia.” (QS. Fussilat Ayat 34)
Dalam kata lain, membalas keburukan teman yang berkhianat dengan sikap maaf dan kebaikan mampu mengubah musuh menjadi sahabat sejati.
Tetap Waspada dan Menjaga Diri
Memaafkan tidak berarti kita harus memberi kepercayaan tanpa batas. Islam mengajarkan agar kita tetap waspada dan menjaga diri dari kemungkinan disakiti ulang. Nabi Muhammad SAW bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يُصَابَهُ فِي نَفْسِهِ ضَرَرٌ مِنْ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ
Artinya: “Tidak halal bagi seorang mukmin untuk dipukul di lubang yang sama dua kali.” (HR. Imam Bukhori dan Muslim)
Maka jelas bahwa menjaga batas pergaulan tetap penting walaupun telah memaafkan.
Selain ayat Al-Qur’an dan hadits, kitab kuning juga menegaskan nilai sabar dan akhlak mulia dalam menghadapi ujian sosial.
Sayyidina Ali bin Abu Tholib ra misalnya, mengilustrasikan kesabaran sebagai kendaraan dan qona’ah sebagai senjata tajam yang ampuh sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Mawardi.
وقال علي بن أبي طالب كرم الله وجهه الصبر مطية لا تكبو، والقناعة سيف لا ينبو
Artinya: “Sayyidina Ali bin Abu Tholib karromaLlohu wajhah berkata, ‘Sabar adalah kendaraan yang takkan tergelincir. Sedangkan qona’ah adalah pedang tajam yang takkan tidak mempan,'” (Al-Mawardi, Adabud Duniya wad Din, [Beirut, Darul Fikr: 1992 M/1412 H], halaman 212)
Sementara itu, sahabat Abdullah bin ‘Abbas ra menyebut kesabaran atas kesulitan sebagai bekal seseorang dalam mengarungi perjalanan kehidupan. Kesabaran, menurutnya, bekal terbaik kehidupan.
وقال عبد الله بن عباس رضي الله عنهما أفضل العدة الصبر على الشدة
Artinya: “Sahabat Abdullah bin Abbas ra berkata, ‘Sebaik-baik bekal adalah kesabaran atas kesulitan,'” (Al-Mawardi, 1992 M/1412 H: 212)
Sebagai penutup, penting untuk diingat bahwa dalam Islam, menjaga hubungan pertemanan yang dilandasi dengan akhlak mulia adalah cerminan keimanan dan kehormatan diri. Ketika menghadapi teman yang menyakiti atau berkhianat, sikap sabar, klarifikasi, memaafkan, dan tetap menjaga kewaspadaan adalah langkah-langkah yang tidak hanya menyelamatkan hubungan sosial tetapi juga memperkuat keimanan. Rosululloh SAW mengingatkan,
المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل
Artinya: “Agama Seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Imam Abu Daud dan At-Tirmidzi)
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi ra mengatakan bahwa hendaknya seseorang memilih teman atau sahabat yang baik, dengan kriteria sebagai berikut;
وفى جملة، فينبغى أن يكون فيمن تؤثر صحبته خمس خصال: أن يكون عاقلاً حسن الخلق غير فاسق ولا مبتدع ولا حريص على الدنيا
Artinya: “Secara umum, hendaknya orang yang engkau pilih menjadi sahabat memiliki lima sifat berikut : orang yang berakal, memiliki akhlak yang baik, bukan orang fasik, bukan ahli bid’ah, dan bukan orang yang rakus dengan dunia.” (Mukhtasar Minhajul Qoshidin jUz 2/36)
Oleh karena itu, memilih dan menjaga persahabatan yang baik tidak sekadar soal kedekatan sosial, tetapi juga sarana memperkuat ikatan spiritual dan moral. Dengan berpegang pada prinsip-prinsip ini, setiap muslim dapat menapaki jalan mulia persahabatan yang membawa kedamaian hati dan keberkahan dalam hidup.
Menghadapi teman yang menyakiti bukan masalah sederhana, tetapi bisa dijadikan jalan untuk mengasah kesabaran dan kebijaksanaan. Islam memberi pedoman jelas: sabar, tabayyun, memaafkan, dan tetap waspada merupakan sikap elegan yang menjunjung tinggi akhlak mulia dan menjaga hati dari racun dendam. Dengan mengamalkan ajaran ini, tidak hanya hati yang tenang, tetapi hubungan sosial pun tetap terjaga dengan penuh keberkahan.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.