Sebuah Cerpen: Kau Pergi, Kudekap Sepi

darulmaarif.net – Indramayu, 30 Oktober 2025 | 15.00 WIB

Malam yang pekat turun menyelimuti rumah, membawa dingin yang menyisip di sela-sela jendela rumah tua milik Arman dan Rufaidah. Di sebuah kursi kayu berlantaikan papan usang, Arman duduk terpaku, wajahnya seperti buku berdebu yang penuh kenangan pahit. Suara hujan rintik yang jatuh membius sunyi, menyembunyikan deraian air mata yang tak pernah ia biarkan menetes di depan orang lain.

Tiba-tiba, seorang pemuda melangkah pelan menghampiri. Matanya penuh penasaran saat bertanya, “Pak Arman, mengapa Bapak sampai saat ini belum menikah kembali, walaupun sudah lima belas tahun istrimu telah meninggal dunia?”

Arman menghela napas panjang, seolah memanggil lembaran masa lalu terbuka perlahan.

“Kalau begitu, aku akan menceritakan sebuah kisah dari waktu aku bersama istriku.” Suaranya berat, membawa seluruh beban rasa yang belum pernah ia lepaskan.

Rufaidah dan aku, dulu pernah bergulat dalam pertengkaran yang amat hebat. Malam itu, kata-kataku menjadi anak panah yang menusuk hati, dan aku tidak sengaja mengayunkannya terlalu dalam.
“Aku tidak mau melihat wajahmu lagi; pulanglah ke rumah orang tuamu,” kataku dengan amarah yang meluap dari kedalaman hati.

Rufaidah pergi tanpa menangis, namun aku tahu akan ada luka yang dalam dia pendam. Keheningan mengisi rumah kami, menyayat jiwa yang dulu kami bangun dan rajut cinta bersama-sama.

Setelah seminggu aku rindu padanya, lalu aku pergi menjemputnya kembali. Aku mengetuk pintu, istriku membukakan pintu dengan penuh kerinduan, lalu dia memelukku dengan hangat dan berbisik di telingaku, ‘Jangan bilang pada keluargaku tentang apa yang terjadi antara kita. Katakan saja aku sedang bepergian dan aku hanya singgah mengunjungi mereka.’

Tanpa kata, kami bertemu dalam sebuah pelukan hangat yang menghapus dingin dan resah.

Lalu aku bertanya pada diri sendiri,
“Bagaimana mungkin kamu menemukan hati yang bisa menyimpan rahasiamu dan menjaga kehormatanmu, walaupun masalah yang kalian hadapi sangat besar?”

Kata-katanya penuh rahasia dan pelindung kehormatan keluarga, tindakan yang sederhana namun sarat makna.

***

Aku sering bertanya pada diriku sendiri, bagaimana mungkin seseorang bisa menyimpan rahasia sebesar itu dan melindungi kehormatan saat cinta sedang diuji hebat?

Dalam satu dialog yang penuh ketegangan namun penuh kasih, aku pernah bertanya kepada istriku, “Mengapa kau tetap bertahan padaku meski aku telah menyakitimu?”

Dia memandangku, seakan menimbang beban yang kami pikul bersama, lalu berkata dengan suara lirih, “Karena aku tahu, cinta bukan sekadar kata, tapi perjuangan yang kita pilih untuk kita jalani bersama, meski kerapkali badai kehidupan menerpa rumah tangga kita.”

“Kau takut kehilangan aku, ya?” tanyaku dengan nada hampir memohon.

“Tidak, aku takut kehilangan diri sendiri jika kita menyerah,” jawabnya.

***

Tiba-tiba, kisah kami berubah. Lima belas tahun berlalu, dan aku belum menikah kembali bukan karena aku terpenjara oleh masa lalu semata. Ada rahasia besar yang selama ini kupendam.

Rufaidah tak pernah pergi dariku meski raganya telah tiada. Dia pernah jatuh sakit, dan aku merawatnya jauh dari perhatian dunia. Namun aku cacat, bukan oleh sebuah penyakit fisik, tapi oleh luka batin yang mendalam.

Selama ini aku menjaga rumah kami, menjaga cinta kami tetap hidup dalam sunyi, bukan demi dunia. Tapi demi kenangan yang menuntunku bertahan. Tak seorang pun tahu apa yang kusembunyikan di pedalaman dada ini.

**

Kini, aku duduk sendirian mengenang, berterima kasih atas setiap detik yang kutemani dengannya. Meskipun luka ini tak kunjung sembuh, dan waktu terus berlalu, cinta yang kami rajut tetap menjadi lentera di kegelapan hatiku.

Mungkin cinta itu bukan tentang kesempurnaan, tapi tentang keberanian untuk tetap bertahan, memaafkan, dan melindungi rahasia yang hanya bisa didengar oleh tembok rumah kami sendiri.

Kukatakan satu pelajaran besar dalam hidupku, dan untuk pasangan suami istri di manapun berada:

“Walaupun masalah yang kalian hadapi sangat besar sekalipun. Beruntunglah bagi pasangan suami istri yang masalahnya tidak pernah didengar orang lain, kecuali didengar oleh dinding-dinding rumah mereka sendiri.”

Kulihat pemuda yang datang menghampiriku tertegun, sempat merenung, dan matanya kini berkaca-kaca. Dia segera pamit pulang, dengan senyum ramah di wajahnya, dan berkata betapa beruntungnya aku memiliki seorang istri yang kisahnya tak pernah lekang oleh waktu.

Tamat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share:

More Posts