Dari Fixed Mindset ke Growth Mindset, lalu ke Mindset Filosofis: Jalan Panjang Pendidikan Menuju Hikmah

darulmaarif.net – Indramayu, 17 Agustus 2025 | 08.00 WIB

Dalam ruang kelas Indonesia hari ini, para pendidik menghadapi realitas yang kompleks: murid yang tumbuh dalam arus digital, orang tua yang menuntut hasil instan, serta kurikulum yang kadang lebih menekankan target capaian daripada pembentukan watak. Di tengah tantangan itu, istilah fixed mindset dan growth mindset sering dijadikan jargon motivasi. Guru diharapkan mampu menumbuhkan sikap growth mindset pada murid—yakni keyakinan bahwa kemampuan bisa berkembang lewat usaha dan pembelajaran.

Namun, benarkah pendidikan berhenti di sini? Apakah tujuan tertinggi belajar hanya untuk berkembang dan terus tumbuh? Para filsuf, baik dari Yunani kuno hingga Islam klasik, memberi kita peta yang lebih luas. Mereka menunjukkan bahwa di balik growth mindset masih ada tingkatan alam pikir yang lebih dalam, yang bisa memberi arah bagi pendidikan Indonesia: dari sekadar mengejar pertumbuhan menuju pencarian makna, kebijaksanaan, dan hikmah.

Mindset Transendensi: Melampaui Ego

Jean-Paul Sartre pernah berkata: “Man is nothing else but what he makes of himself.” (Manusia tak lain adalah apa yang ia ciptakan dari dirinya sendiri). Pendidikan transendensi mengajarkan murid bukan hanya menambah keterampilan, melainkan membentuk diri yang otentik. Dalam Islam, ini mirip dengan tazkiyatun nafs—penyucian jiwa dari ego sempit menuju visi hidup yang lebih luhur.

Mindset Stoik: Fokus pada Kendali Diri

Epictetus, seorang filsuf Stoa, berkata: “It’s not what happens to you, but how you react to it that matters.” (Yang penting bukan apa yang terjadi padamu, tapi bagaimana engkau meresponnya). Guru yang mengajarkan stoisisme menanamkan keteguhan hati: murid mungkin gagal dalam ujian, tapi mereka bisa belajar menerima, bangkit, dan berusaha kembali. Inilah inti pendidikan karakter.

Mindset Dialektis: Belajar dari Pertentangan Ideologis

Hegel menyebut sejarah sebagai “the unfolding of Spirit through contradictions.” (Perkembangan roh melalui kontradiksi). Murid pun perlu dilatih untuk tidak takut pada perbedaan pendapat atau kegagalan. Justru dari dialektika—tesis, antitesis, sintesis—lahir pengetahuan baru. Guru yang bijak tidak hanya memberikan jawaban, tapi juga memberi ruang murid untuk mengolah kontradiksi menjadi kebaruan.

Mindset Integratif: Menyatukan Fixed dan Growth Mindset

Filsuf Muslim, Al-Farabi, dalam Tahsil al-Sa‘adah menekankan keseimbangan antara akal teoritis dan akal praktis. Ada hal-hal yang tetap (fixed), seperti kodrat manusia dan hukum alam, namun ada juga yang bisa berkembang (growth), yakni potensi intelektual dan moral. Mindset integratif mengajarkan guru dan murid untuk menerima keduanya, bukan menganggap salah satunya sebagai penghalang.

Mindset Hikmah: Tujuan Tertinggi Pendidikan

Ibn Sina menulis dalam al-Shifa’: “The aim of knowledge is not only to know, but to act in accordance with what is known.” (Tujuan ilmu bukan hanya mengetahui, tetapi berbuat sesuai dengan apa yang diketahui). Inilah inti hikmah: ilmu yang berbuah kebajikan. Pendidikan yang sejati bukan hanya mencetak murid pintar, tapi membentuk pribadi yang arif, selaras dengan kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Pendidikan yang Menghidupkan

Al-Qur’an pun menegaskan keutamaan hikmah:

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

Artinya: “Alloh menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa dianugerahi hikmah, maka sungguh ia telah dianugerahi kebaikan yang banyak.” (QS. Al-Baqoroh Ayat 269)

Ayat ini menegaskan bahwa hikmah bukan sekadar kecerdasan intelektual, melainkan anugerah ilahi yang menggabungkan ilmu, akhlak, dan kebijaksanaan dalam bertindak. Para mufassir klasik, seperti Ibn Katsir, menafsirkan hikmah sebagai: pemahaman mendalam terhadap Al-Qur’an, akal yang sehat), dan ketepatan dalam ucapan dan tindakan. Dengan kata lain, hikmah adalah kemampuan menghubungkan pengetahuan dengan amal perbuatan yang benar.

Bagi pendidik, ayat ini mengingatkan bahwa tujuan akhir proses belajar bukan sekadar prestasi akademik, tetapi melahirkan murid yang berakal sehat (ulul albab)—mereka yang mampu menimbang, merenung, lalu mengambil pelajaran dari setiap realitas kehidupan yang dihadapinya.

Dalam hadits, Rosululloh SAW juga bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

Artinya: “Barangsiapa yang Alloi kehendaki kebaikan darinya, maka Alloh akan memahamkannya dalam urusan agama.” (HR. Imam Bukhori dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa ukuran kebaikan seorang manusia bukan sekadar pada luasnya pengetahuan duniawi, tetapi pada kedalaman pemahaman agamanya. Fiqh fid-din tidak hanya berarti penguasaan hukum-hukum fikih secara teknis, melainkan pemahaman mendalam yang membentuk sikap hidup, pola pikir, dan kebijaksanaan dalam menghadapi masalah.

Imam al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa tafaqquh (mendalami agama) meliputi ilmu akidah, syariah, dan akhlak. Maka, seorang murid yang memiliki growth mindset boleh jadi terus berkembang dalam aspek duniawi, tetapi murid yang diberi hikmah oleh Alloh akan menjadikan perkembangan itu sebagai jalan menuju kebaikan hidup, orientasi akhirat, dan ridlo Alloh SWT semata.

Jika tenaga pendidik di Indonesia hanya berhenti pada growth mindset, maka murid mungkin tumbuh cerdas, tapi belum tentu bijaksana. Dengan membawa pendidikan ke level filsafat—mindset transendensi, stoik, dialektis, integratif, dan akhirnya hikmah—pendidikan akan kembali pada tujuan sucinya: menghidupkan manusia dan memanusiakan manusia seutuhnya.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.