darulmaarif.net – Indramayu, 08 Agustus 2024 | 08.00 WIB
Kitab kuning menjadi sumber rujukan belajar di pondok pesantren. Pengajaran kitab ini juga dikenal dengan kitab-kitab klasik atau Turots.
Dikatakan sebagai kitab kuning karena pada mulanya kitab ini dicetak di kertas yang berwarna kekuning-kuningan. Ciri khas dari kitab kuning selain dicetak di kertas berwarna kuning, isi tulisan tidak ada harokat, alias gundul.
Karena tulisan gundul inilah, hanya orang yang tahu ilmu dan cara membacanya. Buat yang masih pemula, dijamin hanya bengong tidak bisa membaca. Namun diera semakin maju, pasalnya kitab kuning yang dicetak ulang dengan gaya baru sudah dicetak menggunakan kertas tidak kuning, atau dicetak di kertas HVS dan sudah diberi syakal atau harokat.
Menurut Martin Van Bruinessen, Kitab kuning diartikan sebagai kitab klasik yang ditulis sudah berabad-abad yang lalu menggunakan bahasa arab, dan sering digunakan untuk buku pedoman di pesantren-pesantren.
Asal-usul Kitab Kuning
Penyebutan kitab-kitab klasik di pondok pesantren lebih populer dengan ‘kitab kuning’. Belum diketahui secara pasti asal-usul istilah ini.
Masih mengacu sumber yang sama, kemungkinan penyebutan ini guna membatasi tahun karangan. Kemungkinan lainnya disebabkan karena warna kertas dari kitab tersebut berwarna kuning, namun argumentasi ini dinilai kurang tepat karena kitab-kitab Islam klasik banyak yang dicetak dengan kertas putih.
Jika ditelisik, kitab kuning ini berasal dari luar Indonesia yang saat itu masih Nusantara. Sebab, kitab-kitab klasik ini berbahasa Arab dan ditulis jauh sebelum Islam masuk Nusantara.
Kitab kuning ini kemudian erat kaitannya dengan pengajaran di dunia pesantren Nusantara. Menurut buku Pendidikan Islam Transformatif ala KH. Abdurrahman Wahid karya Efendi, diperkirakan pengajaran kitab kuning secara massal dan permanen dilakukan pada pertengahan abad ke-19 ketika sejumlah ulama Nusantara, khususnya Jawa, pulang dari menuntut ilmu di Makkah.
Perkiraan tersebut bukan berarti kitab kuning belum ada sebelum masa itu. Sejarah mencatat sejumlah kitab kuning baik ditulis dalam bahasa Arab, Melayu, maupun Jawi sudah beredar dan menjadi bahan informasi serta kajian Islam di Nusantara sejak abad ke-16.
Isi Kitab Kuning
Ditinjau dari segi isi, kitab kuning sebagai kitab klasik yang masih digunakan sampai sekarang memang dianggap sebagian orang kurang pas, dianggap tidak etis, memunculkan stigma dan tidak sopan. Wajar jika muncul komentar seperti itu di tengah perkembangan teknologi dan perubahan sudut pandang modernisasi yang pesat.
Ujian seperti yang disebutkan di atas, kitab kuning tetap masih banyak digunakan kalangan pesantren, ataupun untuk masyarakat umum yang sadar akan ngaji (belajar ilmu agama). Justru perkembangan yang serba cepat yang sebagian orang meragukan isi kitab kuning, justru kitab-kitab inilah yang menjadi acuan paling baku untuk menjawab persoalan kehidupan yang terjadi saat ini.
Dengan kata lain, isi kitab kuning yang dibuat sejak jaman klasik, permasalahan yang terjadi masih relevan sesuai dengan permasalahan saat ini. tidak heran jika kitab ini sakralisasi tradisi menuju profinasi.
Isi kitab kuning memang bermacam-macam, ada yang berisi tentang gramatikal Arab sepeti Nahwu Shorf, Fikih, Akidah, Ahlak, Tasawuf, Tafsir dan Hadits. Bahkan banyak pula kitab kuning yang mempelajari ilmu kalam (teologi) hingga filsafat. kitab kuning tetap relevan dengan perkembangan jaman saat ini.
Ciri isi kitab kuning yang unik dan berbeda adalah, kitab tersebut memiliki jaringan, geneologi keilmuan, silsilah atau yang biasa kita dengar dengan istilah sanad. Jadi kitab tersebut ditulis oleh tokoh yang memiliki sanad yang jelas atau berkesinambungan.
Sejarah kitab kuning sebenarnya erat kaitannya dengan kehidupan dengan tradisi kehidupan para santri-santriwan di pesantren. Karena di sanalah kitab kuning diajarkan, dibedah dan kaji secara mendalam. Sedangkan pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan yang berbasis pengajaran agama Islam.
Metode Pengajaran Kitab Kuning di Pesantren
Pengajaran kitab-kitab klasik atau kitab kuning di pesantren biasanya menggunakan sistem sorogan, wetonan, dan bandongan, seperti dijelaskan dalam buku Sawab & ‘Iqab untuk Peningkatan Kedisiplinan Siswa di Pesantren karya M. Syukri Azwar Lubis.
Sorogan adalah model pengajaran kitab kuning dengan santri membaca kitabnya di hadapan kyai. Kemudian, kyai akan memberikan koreksi dan bimbingan kepada santri.
Adapun, model wetonan dan bandongan adalah model pengajaran dengan sekelompok santri mendengarkan kiai membaca, menerjemahkan, dan menerangkan kitab kuning. Dalam metode ini, para santri akan membuat catatan dari penjelasan kyai.
Nah itulah beberapa ulasan singkat tentang asal-usul kitab kuning dan sejarah penyebutan nya.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.