darulmaarif.net – Indramayu, 07 Agustus 2024 | 09.00 WIB
Memiliki anak angkat lewat jalan adopsi kerap menjadi salah satu solusi pilihan pasangan suami istri yang tidak bisa memiliki keturunan.
Islam telah lama mengenal istilah tabbani atau adopsi. Rosululloh Saw bahkan mempraktikkannya langsung, yakni ketika mengangkat Zaid bin Haritshah sebagai anaknya.
Secara harfiah, tabbani diartikan sebagai seseorang yang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Hal ini itu dilakukan untuk memberi kasih sayang, nafkah pendidikan, dan keperluan lainnya.
Secara hukum Islam, anak angkat itu bukanlah anaknya. Adopsi dinilai sebagai perbuatan yang pantas dikerjakan oleh pasangan suami istri yang luas rizkinya, tapi belum dikaruniai anak.
Maka itu, sangat baik jika mengambil anak orang lain yang kurang mampu agar mendapat kasih sayang ibu-bapak (karena yatim piatu), atau untuk mendidik dan memberikan kesempatan belajar kepadanya.
Ketika anak angkat tidak bisa menjadi seperti anak kandung, turunannya adalah masalah kemahraman. Karena ini kaitannya dengan menjaga interaksi antara anak dengan ortu angkatnya ketika di dalam rumah.
Berikut tips syar’i adopsi anak, agar tidak ada keharaman ikhtilath (bercampur baur) kelak ketika dewasa:
Pertama, pilih calon anak angkat yang berasal dari mahrom bagi ibu angkat jika anak laki-laki, dan mahrom bagi ayah angkatnya jika perempuan misal, anak kakaknya, atau anak adiknya, atau anak keponakan dari kakak atau adik kandung.
Kedua, jika tidak mendapatkan calon anak dari mahrom, makan jadikan anak angkat itu mahrom rodho’ah dengan cara disusui oleh ibu angkatnya hingga sempurna syarat dan rukun rodho’ahnya, “tapi bagaimana saya kan tidak melahirkan, mana ada air susu? “Coba konsul ke dokter, biasanya ada terapi suntik hormon. Terus jika ibu angkatnya belum bisa menyusui dan belum hamil apa bisa jadi rodho’? Imam Hambali tidak mensyaratkan yang menyusi harus pernah hamil dulu, bahkan susu wanita perawan yang belum diwat’i (di jima’) dan belum hamil pun bisa menjadikan rodho’ menurut imam Hambali.
Jika dua cara itu tidak bisa diusahakan, maka status Anak angkat tersebut seperti laki-laki ajnabi hukumnya bagi ibu angkat, atau seperti perempuan ajnabiyah bagi ayah angkat, karena tidak ada hubungan darah dan tidak ada hubungan susuan. Sebelum menginjak usia baligh, anak tersebut masih aman untuk disayang dan disentuh, tapi setelah baligh berlaku hukum ajnabi/ajnabiyah.
Adapun hukum garis keturunan nasab, warisan, nafaqoh, gugurnya qishosh, tidak potong tangan karena mencuri harta orang tua, tidak adanya penahanan (harta) karena hutang anak, dan perwalian atas harta dan jiwa, itu semua tidak berlaku antara orangtua angkat dan anak angkat, meskipun anak angkat sudah menjadi mahrom rodho’ sekalipun.
Menurut Syekh Zainuddin Al-Malibari, penyusuan yang mengharamkan pernikahan adalah penyusuan yang memenuhi lima syarat: (1) susu berasal dari perempuan yang sudah mencapai usia haid; (2) susu masuk ke dalam rongga bayi yang belum mencapai usia dua tahun; (3) masuknya susu harus secara yakin, bukan dugaan; (4) masuknya susu harus sebanyak lima kali; (5) masuknya susu harus secara ‘urf, yaitu sesuai dengan adat kebiasaan setempat.
Dengan demikian, anak angkat bisa jadi mahrom rodlo’ah bagi ibu dan ayah angkatnya dengan ketentuan seperti yang dijelaskan dalil-dalil diatas.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.
Referensi:
موسوعة الفقهيّة
ذَهَبَ الْجُمْهُورُ وَهُوَ رِوَايَةٌ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ إِلَى أَنَّهُ لاَ يُشْتَرَطُ لِثُبُوتِ التَّحْرِيمِ بِلَبَنِ الْمَرْأَةِ أَنْ يَتَقَدَّمَ حَمْلٌ. فَيُحَرِّمُ لَبَنُ الْبِكْرِ الَّتِي لَمْ تُوطَأْ وَلَمْ تَحْبَل قَطُّ؛ لِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: {وَأُمَّهَاتُكُمُ
يَتَرَتَّبُ عَلَى الرَّضَاعِ بَعْضُ أَحْكَامِ النَّسَبِ:
أ – تَحْرِيمُ النِّكَاحِ سَوَاءٌ حَصَل الرَّضَاعُ فِي زَمَنِ إِسْلاَمِ الْمَرْأَةِ أَوْ كُفْرِهَا؛ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ (1) . وَسَيَأْتِي تَفْصِيل ذَلِكَ.
ب – ثُبُوتُ الْمَحْرَمِيَّةِ الْمُفِيدَةِ لِجَوَازِ النَّظَرِ، وَالْخَلْوَةِ، وَعَدَمِ نَقْضِ الطَّهَارَةِ بِاللَّمْسِ عِنْدَ مَنْ يَرَى ذَلِكَ مِنَ الْفُقَهَاءِ.
أَمَّا سَائِرُ أَحْكَامِ النَّسَبِ كَالْمِيرَاثِ، وَالنَّفَقَةِ، وَالْعِتْقِ بِالْمِلْكِ، وَسُقُوطِ الْقِصَاصِ، وَعَدَمِ الْقَطْعِ فِي سَرِقَةِ الْمَال، وَعَدَمِ الْحَبْسِ لِدَيْنِ الْوَلَدِ، وَالْوِلاَيَةِ عَلَى الْمَال أَوِ النَّفْسِ فَلاَ تَثْبُتُ بِالرَّضَاعِ، وَهَذَا مَحَل اتِّفَاقٍ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ.