darulmaarif.net – Indramayu, 16 Juli 2024 | 11.00 WIB
Judul diatas mencerminkan sebuah perdebatan yang kompleks dan sensitif dalam konteks politik dan agama. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia memiliki pengaruh yang signifikan dalam hal pandangan terhadap hubungan diplomatik, termasuk dengan Israel.
NU sebagai organisasi Islam di Indonesia memiliki sejarah yang kuat dalam mendukung isu-isu keadilan sosial dan hak-hak warga Palestina. Banyak Ulama NU menekankan perlunya menjaga solidaritas dengan Palestina dan menolak normalisasi dengan Israel selama masalah Palestina belum terselesaikan dengan adil. Namun demikian, ada juga pandangan bahwa diplomasi dapat menjadi alat untuk memperjuangkan perdamaian yang berkelanjutan di kawasan tersebut.
Baru-baru ini geger dan menjadi sorotan netizen terkait kunjungan 5 Ulama NU ke Israel dan menemui Presiden Israel Isaac Herzog. Konon dalam pertemuan tersebut-yang dikutip dari laman tvonenews.com-Zen Maarif termasuk dalam rombongan 5 nadhliyin atau warga Nahdlatul Ulama (NU).
Setelah bertemu dengan Presiden Israel itu, nahdliyin satu ini membuat postingan yang membuat geger banyak orang.
Dalam postingan milik akun Instagram @zenmaarif, dia mengatakan ‘saya bukan demonstran, melainkan filus-agamawan. Alih-alih demonstrasi di jalanan dan melakukan pemboikotan, saya lebih suka berdiskusi dan mengungkapkan gagasan’.
Postingan @zenmaarif ini jelas saja menuai banyak kecaman dari warga Nahdliyin, termasuk kritikan keras dari PBNU.
Bagi warga Nahdliyin, tentu saja pro-kontra wacana normalisasi hubungan diplomatik Indonesia-Israel ini dapat memicu perpecahan saudara di antara umat Islam di Indonesia. Untuk mendudukkan perkara pro-kontra tersebut, setidaknya ada 3 sikap kalangan Tokoh Ulama NU dalam tinjauan ijtihad Politik Ulama terkait isu-isu kemanusiaan dan kemerdekaan Palestina.
Pandangan Pertama, Ulama NU menolak keras hubungan diplomatik dengan Israel dalam bentuk apapun.
Pandangan ini diserukan oleh mantan ketua PBNU Prof. DR. KH. Said Aqil Siradj saat memberikan keterangan terkait Muktamar NU ke-33 di Jombang, Jawa Timur, pada Senin (3/8/2015)
Buya Said Aqil Siradj memberikan pandangan tegas dan keras melarang hubungan diplomatik dalam bentuk apapun antara Indonesia dengan Israel. Menurutnya, Israel tidak layak dikunjungi karena menjajah Palestina.
Meski sempat ditawari untuk berkunjung ke Israel pada tahun 2021, namun tawaran itu ditolak Buya Said Aqil Siradj atas alasan Israel yang tidak mau mengakui Palestina.
Dalam pengakuannya kepada wartawan seusai bertemu Presiden Jokowi di Istana Negara pada tahun 2021 silam, beliau mengatakan bahwa ‘Masalah kemandirian bahwa kita sama-sama NU dan presiden sama berpendapat menjaga kemandirian jangan sampai kita terpengaruh oleh kepentingan luar. Sikap Indonesia terhadap Palestina tetap jelas, keberpihakan ke Palestina. Selama Israel tidak mengakui negara Palestina, maka Indonesia tidak akan mengakui negara Israel secara politik’.
Dalam kesempatan lain, Buya Said Aqil Siradj juga menolak kedatangan Timnas Israel datang ke Indonesia. Dia menegaskan bahwa penolakan terhadap keberadaan Israel sesuai dengan perintah Al-Qur’an.
Menurutnya, ‘Saya pribadi dan banyak kyai-kyai seperti saya, menolak kehadiran Israel. Itu Al-Qur’an. Kita manusia ini, apa sih kita, kok bisa lawan Al-Qur’an!’.
Dengan demikian, pandangan pertama tokoh NU ini menolak dengan keras hubungan diplomatik Indonesia-Israel dalam bentuk apapun secara tegas.
Pandangan Kedua, Ulama NU mendukung secara terbuka dan terang-terangan hubungan diplomatik dengan Israel dalam bentuk apapun.
Pandangan ini di inisiasi oleh KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur. Pada tahun 1994, Gus Dur pernah diundang secara langsung oleh Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin untuk menyaksikan penandatanganan perjanjian damai antara Israel dan Yordania. Gus Dur merupakan tokoh Islam di Indonesia. Ia lahir dari keluarga Kyai dari pondok pesantren. Ia juga seorang pemimpin ormas Islam terbesar, yaitu Nahdlatul Ulama. Namun, ia jauh dari stereotip bahwa pemimpin Islam harus memusuhi Israel. Sebaliknya, ia dekat dengan Israel.
Kisah diundangnya Gus Dur oleh Yitzhak Rabin itu ditulis oleh Djohan Efendi dalam Damai Bersama Gus Dur (2010: xxxiii). Djohan menceritakan bagaimana Gus Dur menangkap hasrat damai dari orang-orang Israel, tidak peduli latar belakangnya. Saat itu Gus Dur bertemu dengan orang Yahudi, Arab, Muslim, Kristen, dan ia merasakan hasrat yang sama dari mereka. Mereka mengatakan kepada Gus Dur, hanya mereka yang berada dalam keadaan perang yang bisa merasakan apa kata damai.
Juga kalangan elite, mereka pun menginginkan perdamaian. Hal itu terlihat ketika Yasser Arafat dan Yitzhak Rabin sempat mengunjungi Jakarta dan menemui Presiden Soeharto meminta peranan Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar untuk membantu proses perdamaian Palestina dan Israel.
Gus Dur bukan tidak tahu bagaimana penderitaan rakyat Palestina. Ia paham benar konflik yang terjadi di sana. Justru karena itu, pada saat ia menjadi presiden, Gus Dur mewacanakan membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Gagasan Gus Dur sederhana, Indonesia tidak mungkin bisa berperan dalam perdamaian Palestina dan Israel jika tidak menjalin hubungan diplomatik dengan keduanya.
Pandangan Ketiga, Ulama NU mendukung secara sembunyi-sembunyi hubungan diplomatik
Pandangan ini di inisiasi oleh 5 Tokoh Ulama Muda NU yang baru-baru ini mendatangi Israel secara sembunyi-sembunyi. Meski menuai banyak sekali kritikan pedas dari warga Muslim Indonesia, alasan mereka mendatangi Presiden Isaac Herzog dalam rangka mencoba membuka kembali diskusi diplomatik antara Indonesia-Israel.
Kelima tokoh muda NU tersebut jelas-jelas mendatangi Israel tanpa izin resmi dari PBNU dan Kementrian Luar Negeri Indonesia.
Menurut saya, kunjungan 5 tokoh muda NU tersebut berinisiatif mencoba membuka dialog kebangsaan dan keagamaan dengan Israel sebagai wujud dari tanggungjawab moral cendekiawan Muslim Indonesia yang punya harapan besar dapat menjadi jembatan penghubung Indonesia-Israel. Meksipun, disisi yang lain kunjungan mereka secara diam-diam justru menuai kritik dan kecaman oleh para petinggi di PBNU sendiri.
Dari tiga pandangan diatas, dapat disimpupkan wacana pro-kontra hubungan diplomatik Indonesia-Israel sebagai berikut:
Pro Normalisasi:
- Alasan Kemanusiaan
Beberapa ulama NU yang mendukung normalisasi mengutip alasan kemanusiaan, yaitu bahwa hubungan diplomatik dapat membuka akses untuk bantuan kemanusiaan kepada Palestina yang sangat membutuhkan.
- Kemajuan Ekonomi
Ada pandangan bahwa normalisasi dapat membuka peluang ekonomi dan investasi yang menguntungkan bagi Indonesia.
- Realitas Politik
Mengakui realitas politik global dan strategi diplomasi yang menguntungkan bagi Indonesia dalam konteks regional dan global.
Kontra Normalisasi:
- Solidaritas dengan Palestina
Banyak ulama NU yang menentang keras normalisasi karena solidaritas sejarah dan agama dengan rakyat Palestina yang berjuang melawan pendudukan Israel.
- Prinsip Keadilan dan Kemanusiaan:
Pandangan bahwa normalisasi dapat dipandang sebagai legitimasi terhadap tindakan Israel yang dianggap melanggar hak asasi manusia dan hukum internasional.
- Potensi Dampak Negatif
Khawatir normalisasi dapat mempengaruhi solidaritas umat Islam dan citra Indonesia sebagai negara yang peduli terhadap perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina.
Secara keseluruhan, posisi para Tokoh Ulama NU mencerminkan keragaman pandangan yang mencerminkan sensitivitas sosial, politik, dan agama yang kompleks dan dalam menanggapi isu-isu Israel-Palestina.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.