darulmaarif.net – Indramayu, 19 Februari 2023 | 14.00 WIB
Penulis: Dyahlova – Alvinice
Setiap kali semburat fajar merah melukis langit dalam lelapnya dunia. Saat sejenak udara sejuk menghapus polusi, menghasilkan embun yang membasahi daun-daun, seakan malam menjadi waktu untuk bumi mempersiapkan siang. Sudah lewat sepertiga malam, adzan berkumandang sahut menyahut berbunyi dari berbagai belahan bumi. Beberapa senior di pondok pesantren itu memegang bilah rotan mengarahkanya kemanapun sehingga menghasilkan suara berisik bersahutan masuk ke dalam beberapa telinga yang memaksa mata untuk membuka kelopaknya.
“Segera bangun, sholat!”.
Beberapa santri tingkat aliyah lebih memilih bangun daripada terkena ayunan bilah rotan dari senior, tetapi ada juga yang tidak beranjak, hanya duduk dengan mata memejam, menunggu senior itu pergi turun ke lantai bawah membangunkan yang lain. Tapi hanya soal waktu senior itu kembali lagi mengrahkan bilah rotan kemanapun meneriaki agar bergegas wudhu dan hanya soal waktu juga iqomah tanda akan dimulainya sholat berkumandang, lalu senior itu dengan rasa kewalahan pergi untuk sholat shubuh.
Dandi remaja tujuh belas tahun, duduk di kelas pertengahan Madrasah Aliyah. Pagi itu saat sinar timur menabur vitamin D tanda dimulainya aktivitas di sebagian belahan bumi dan menjadi tanda untuk mulai menyalakan lampu di belahan bumi lain. Dandi melihat sekerumunan teman-temannya berdiri berdesakan di depan papan informasi madrasah putra dengan seragam sekolah lusuh tanpa disetrika, rambut berantakan seperti tak disentuh sisir. Dandi melewati kerumunan tersebut. Tidak tertarik, pergi menuju kelas. Mungkin hanya informasi nama-nama dan foto-foto siswi yang seminggu lalu mengikuti lomba paduan suara. Dandi tidak tertarik pada hal-hal seperti itu. Tidak seperti siswa lain. Setibanya di kelas ia berjalan ke bangkunya, meletakkan tas di kursi
“Dandi, mungkin kau harus melihat papan informasi”. Cukin, teman sebangku Dandi yang sudah duduk di kursinya sejak sebelum Dandi datang. Menyarankan agar temannya bergabung dengan kerumunan tadi.
“Memangnya ada apa?”.
Cukin tidak menjawab. hanya tertunduk lesu. Dengan berat hati Dandi berdiri dari kursinya. Melangkah keluar kelas. Mendekati papan informasi berusaha menyibak kerumunan. Tapi percuma. Dia hanya bisa menunggu dari belakang sampai kerumunan itu terkikis. Satu dua siswa keluar kerumunan dengan wajah tertunduk, satu dua dengan wajah lega. Kerumunan mulai mengecil, Dandi samar melihat kertas yang nenempel di papan informasi itu. Siswa yang tidak bisa mengikuti ujian akhir semester, Matanya membelalak mengamati tulisan itu. Sekarang ia persis berada di depan tulisan itu. Matanya menemukan nama itu, Dandi Maulana. Nomor dua dari sepuluh nomor. Itu benar nama Dandi. Hanya dia satu-satunya di madrasah yang nemiliki dua kata itu. Dengan jantung berdetak kencang ia berbalik badan tetap tegak berdiri. Ia bingung apa yang harus ia lakukan. Apa yang harus dikatakan kepada orang tuanya. Tiga hari menjelang ujian akhir semester. Tetapi, apa boleh buat. Itu semua keputusan guru-guru beserta pengurus pesantren, melalui rapatnya bersama kepala madrasah yang sekaligus pengasuh pesantren. Memutuskan bahwa Dandi beserta sembilan siswa lainnya tidak bisa mengikuti ujian akhir semester genap. Itu artinya Dandi sudah kalah sebelum bertanding. Dan itu sama saja berarti Dandi harus tinggal kelas.
Cukin teman dekat Dandi. Ia bernasib sedikit lebih beruntung dari temannya itu. Hampir dua tahun bersama. Ia berasal dari ibu kota. Ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi ketika usia Cukin lima belas. Tidak betah tinggal dengan ibu tirinya, Cukin meminta untuk dimasukkan ke pesantren pada ayahnya. Dan akhirnya setelah lulus sekolah menengah pertama di ibu kota ia masuk pesantren. Cukin sebenarnya anak yang pandai, tetapi ia pemalas. Di kelas ia lebih sering tidur. Ia sering sekali masuk ruang Bimbingan Konseling karena jarang sekali berangkat sekolah. Tidak hanya sekali dua, bulan ini saja sudah tiga kali. Ia lebih gemar mengaji daripada sekolah. Tetapi, bagaimanapun ilmu pengetahuan juga penting.
Dua bulan sebelum kertas di papan informasi itu terpampang. Ayah Cukin dipanggil oleh pihak madrasah dan pesantren yang masih satu naungan, yang mana urusan madrasah pun menjadi urusan pesantren. Cukin diberi lampu kuning atas sifatnya. Ia dimarahi habis-habisan oleh ayahnya dan diancam akan dikurangi uang sakunya. Ia sebenarnya tidak peduli dengan ancaman itu. Karena ia tahu benar ayahnya, barangkali itu hanya sebuah ancaman. Tetapi, malam harinya, setelah dimarahi habis-habisan, ia bertemu ibu kandungnya dalam mimpi. Terlihat mata ibunya sembab, rambutnya lusuh.
“Jadilah anak yang baik, bahagiakan ayah dan ibumu!”. Hanya itu yang diucapkan ibunya.
Suara adzan shubuh berkumandang, membuyarkan mimpi itu. Cukin seketika bangun. Tidak seperti biasanya, ia bangun hanya jika bilah rotan senior yang membangunkanya. Ia memikirkan mimpi tadi. Apa yang dia lihat? Kenapa mata ibunya sembab? Apa yang ditangisi oleh ibunya? Apakah ibu menangisi anaknya?
Mimpi itu benar-benar mengubah Cukin. Setelah memikirkan itu, ia sholat dan berdoa untuk diberikan petunjuk. Sedikit demi sedikit ia berubah. Ia berusaha menjalankan pesan almarhum ibunya.
Pagi memang tak selalu indah seperti banyak puisi-puisi para pujangga. Tak seceria burung yang bercuit di pagi. Tiga hari menjelang ujian akhir semester genap. Cukin tiba di sekolah saat masih segelintir siswa yang datang. Ia sengaja datang lebih awal karena ingin sarapan lebih dulu di kantin madrasah.
Papan informasi itu terdapat di lorong utama sekolah, sehingga setiap orang yang ingin masuk ke halaman sekolah pasti melihat papan informasi itu. Begitu pula cukin, ia menemukan kertas itu terpampang, entah memekai lem apa. Membacanya dari atas ke bawah, dari bawah ke atas, mengulanginya lagi dari atas. Membacanya dengan jelih. Hampir lima kali memastikan namanya benar benar tidak ada di sana. Ia bernapas lega, setelah jantungnya berdetak kencang. Pergi melangkah menuju kelas. Tetapi, langkah itu seketika terhenti. Jantungnya kembali berdetak kencang. Ia mengingat sesuatu. Memutar arah setelah berjalan beberapa langkah. Berlari ke tempat tadi. Mengulangi membaca dari atas, matanya berhenti di baris ke dua, nomor dua. Dandi Maulana. Cukin berbalik berjalan melangkah menuju kelas. Duduk menunduk di kursinya dalam kelas yang mulai ramai. Ia merasa menjadi teman yang bodoh, tidak berguna, sampah. Cukin merasa malu dengan sahabatnya. Tidak bisa menolong Dandi. Hingga beberapa menit kemudian Dandi datang.
Sama seperti sahabatnya, Cukin. Dandi berasal dari ibu kota. Dandi anak yang pendiam. Perangainya sulit ditebak. Ayah ibunya adalah orang yang sibuk. Rutin setiap bulannya pergi ke luar kota. Dengan kesibukannya itu orang tuanya sepakat untuk memasukkan Dandi ke pesantren sejak Dandi masih Sekolah Menengah Pertama di ibu kota, hingga akhirnya lulus. Setelah lulus ia memilih pindah. Dan di pesantrenya yang baru inilah ia pertama kali bertemu Cukin.
Di pesantren itu ia mengenyam pendidikan di Madrasah Aliyah yang juga milik pesantren. Ia dan Cukin di tempatkan satu kamar, di asrama berlantai lima. Sejak Dandi mengenal Cukin sifatnya bertambah satu, yaitu pemalas. Dandi juga beberapa kali masuk ruang Bimbingan Konseling dengan Cukin. Dandi jarang sekali masuk sekolah, bahkan sesudah Cukin mengalami mimpi itu, Dandi tidak berubah seperti temanya itu. Cukin sering menasehati untuk masuk sekolah, agar umurnya di pesantren bisa bertahan. Karena presensi kehadiran di atas sembilan puluh persen menjadi syarat siswa mengikuti ujian akhir semester genap. Entah. Mungkin teman temannya tidak tahu alasan Dandi jarang masuk sekolah.
Matahari memang selalu memulai hari dengan sinar lembut menyiram semangat manusia untuk memulai aktivitas. Setengah tujuh lebih, Dandi bangun tidur. Ia belum sholat shubuh. Dandi selalu tidur lagi walaupun telah terkena ayunan sebilah rotan milik senior. Dia berdiri dengan malasnya, menyambar handuk. Mengambil gayung berisi beberapa perlengkapan mandi, turun memijaki anak tangga menuju lantai bawah ke kamar mandi. Di sana hanya terdapat dua kamar mandi. Satu kamar mandi tertutup rapat, ada handuk dan beberapa pakaian menggelantaung di ventilasi atas pintu, terdengar gemercik air dari dalamnya menandakan orang di dalamya sedang mandi. Dandi melongok menilik kamar mandi satunya yang kosong, sedikit bau tidak enak tercium dan terdapat beberapa sampah bungkus sabun. Dandi menarik kepalanya. Ia memilih menunggu kamar mandi di sebelahnya. Duduk jongkok bersandar di tembok. Menunggu.
Pada menit ke dua sejak Dandi duduk jongkok, seorang anak sebayanya datang dengan menggendong handuk di pundaknya serta menggenggam gagang gayung. Masuk kamar mandi kosong tadi, belum menutup pintu. Terdengar aliran air mengalir keluar dari kran, anak itu membersihkan kamar mandi yang tidak jadi dipakai Dandi. Ia mengumpulkan sampah di dalamnya dan membuangnya pada tempat sampah di depan dua kamar mandi itu. Anak itu lalu menutup pintu, mandi. Beberapa menit lagi bel madrasah berbunyi, dan gerbangnya akan segera ditutup. Akhirnya kedua pintu kamar mandi terbuka, orang di dalamnya keluar, selesai mandi. Dandi masuk mencoba menyalakan kran untuk mencuci muka terlebih dulu. Tetapi hanya beberapa tetes air keluar dari mulut kran. Sedangkan beberapa menit lagi gerbang madrasah ditutup. Dan hal itulah yang membuat Dandi jarang masuk sekolah.
Pernah suatu malam ketika sabit hanya ditemani bintang dan segelintir manusia yang masih terjaga, Dandi bermimpi. Ia bertemu seorang kakek. Kakek itu bercerita dengan lembut, tentang deorang pemuda yang sedang mencari bunga yang paling indah untuk diberikan pada kekasihnya. Pemuda itu masuk ke dalam hutan belantara, bertualang dan akhirnya ia menemukan bunga yang indah tetapi bunga itu sedikit berdebu dan sebenarnya mudah dibersihkan. pemuda itu belum memetiknya, ia percaya jika masuk lebih dalam ke hutan maka ia akan menemukan bunga yang lebih indah. Tetapi, sampai berhari hari ia hanya menemukan bunga biasa. Ia pun memutuskan untuk kembali ke tempat dimana ia menemukan bunga indah itu, tetapi ketika pemuda itu sudah sampai di tempat yang dituju, bunga itu sudah layu. Alangkah menyesalnya pemuda itu.Dandi
Tidak seperti mimpi Cukin. mimpi itu tidak bisa merubah Dandi.
Bersambung….