Viral Istilah Silent Majority Usai Pemilu: Tanggapan Islam Terkait Masyarakat Diam

darulmaarif.net – Indramayu, 20 Februari 2024 | 08.00 WIB

Istilah silent majority menjadi ramai diperbincangkan usai hasil quick count Pemilu 2024 dikeluarkan oleh sejumlah lembaga survei. Lantas, apa makna dari silent majority sebenarnya?

Definisi Silent Majority

Menurut Kamus Oxford, silent majority merujuk pada sekelompok besar orang di suatu negara yang diam atau tidak mengungkap pendapatnya secara terbuka.

Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, silent majority artinya mayoritas yang diam.

Dalam konteks politik atau Pemilu 2024, silent majority mewakili sebagian besar penduduk Indonesia yang tidak menyatakan secara terbuka dukungannya terhadap partai, calon anggota legislatif, atau calon presiden dan wakil presiden tertentu.

Suara yang tidak “terlihat” karena diam tersebut terbukti aktif berpartisipasi dalam pemilu dan memberikan dampak jumlah suara yang cukup signifikan.

Istilah ini biasanya dipakai dalam konteks politik untuk merujuk ke massa yang tidak terwakili oleh media atau lainnya. Kelompok masyarakat ini tidak ikut kampanye politik, bukan simpatisan partai, dan dianggap netral dalam Pemilu 2024.

Dampak Silent Majority

Dampak ini bisa sangat signifikan dalam berbagai konteks, tak terkecuali dalam aspek politik.

Sebagai contoh, silent majority memiliki dampak negatif dalam maraknya kasus korupsi oleh pejabat daerah maupun negara.

Masyarakat memilih untuk tidak peduli, sehingga seakan-akan bersikap permisif pada tindakan tersebut.

Dampak lain di bidang politik, misalnya, diamnya mayoritas pemilih dapat memengaruhi hasil pemilihan. Hal ini berlaku baik dengan tidak memilih sama sekali maupun dengan mendukung kandidat atau kebijakan tertentu secara diam-diam.

Silent Majority dalam Pandangan Islam

Dalam pandangan Islam, Silent Majority memiliki dampak beragam. Dampak tersebut juga bisa positif bisa juga negatif. Bergantung konteks dan keadaan.

Indonesia yang notabene mayoritas pemeluk agama Islam yang moderat, seringkali menjadi silent majority bagi sekelompok minoritas yang noisy majority. Alih-alih bersikap bijak, silent majority dalam konteks kenyataan mayoritas pemeluk Islam di Indonesia lebih memilih seperti bersikap netral, meskipun ada sebagian kelompok minoritas yang sengaja mengatasnamakan Islam untuk kepentingan segelintir kaum segolongan.

Jihad berarti bersikap tegas, menjadi alfariq (pemisah) antara yang haq dan bathil. Kata “jihad” akhir-akhir ini telah direduksi dan Islam sudah dibajak oleh kelompok tertentu yang mengatasnamakan Islam. Akibat perbuatan mereka, semua umat Islam terkena getahnya.

Penyakit mayoritas orang Indonesia itu, seringkali bersikap NETRAL ketika menghadapi suatu masalah. Penyakit ini, jarang yang membahasnya. Sehingga sikap NETRAL seakan bijak. Apalagi netral ini sudah menjadi ciri orang Jawa. Padahal, itu bertentangan dengan perintah agama.

Apakah bersikap netral itu bijak? Jika konteksnya berupa kemaksiatan dan keburukan, tentu saja tidak bijak. Tugas Kenabian itu sebagai furqon (pemisah antara Haq dan Bathil). Makanya, baginda nabi pasti mengambil sikap dan memilih mana yang haq dan mana yang bathil. Baginda Rosululloh Saw tidak pernah menjadi orang netral.

Mengapa Islam tidak boleh netral, atau menjadi pasif sebagai silent majority ditengah gempuran keculasan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan berbagai tindakan korupsi yang merusak kehidupan umat berbangsa dan beragama.

Abu Ali Ad-Daqaq rahimahullah mengatakan:

مَنْ سَكَتَ عَن ِالْحَقِّ فَهُوَ شَيْطَانٌ أَخْرَسُ

Artinya: “Barangsiapa yang berdiam (netral), tidak mengambil sikap bersama Al-haq (kebenaran), maka dia adalah Setan Bisu.” (Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim 2/20).

Pertarungan Al-haq dan Al-bathil itu akan terus ada. Apakah kamu seumur hidup akan menjadi muslim abu-abu atau netral? Di akhirat kelak, dari Golongan Manusia: hanya ada Ahli Surga dan Ahli Neraka. Bahkan, Ashhabul A’rof pun akhirnya masuk Surga. Perjelas pula Sikapmu, di mana Posisi dan Kedudukanmu. Jika A bilang A, jika B berkatalah B.

Dalam Al-Qur’an, Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Artinya: “Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mu’min, Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (Q.S. An-Nisaa Ayat 115).

Karena itu, saatnya umat Islam Indonesia moderat Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang selama ini menjadi silent majority untuk bertindak. Islam itu agama yang rahmatan lil-‘alamiin, menjadi rahmat bagi seluruh alam. Di Indonesia yang berideologi berdasarkan Pancasila, dimana setiap pemeluk agama hidup rukun berdampingan, tidak lagi bersikap permisif atau tetap menjadi silent majority bagi sekelompok orang, atau minoritas kaum yang mengaku Islam tetapi malah berusaha menghancurkan Islam atau memecah belah kerukunan bangsa Indonesia.

Dalam kontestasi politik berbangsa dan bernegara pun, Jihad dalam pengertian yang lebih luas berarti cara kita, Umat Islam untuk tidak lagi menjadi silent majority, atau kini saatnya bertindak menjadi noisy majority dalam menyuarakan kebenaran.

Jika Islam hanya sebatas Ibadah dan Mu’amalah, tentu Baginda Nabi tidak akan pernah ada di medan tempur sebagai seorang Mujahid. Memang, jihad tak melulu soal gerilya di medan perang. Saat ini, umat Islam harus bersikap tegas untuk menjadi al-fariq (pemisah) antara mana yang haq dan mana yang bathil. Umat Islam tidak boleh lagi netral: Ah sama saja! Tidak bisa. (Kalau netral seperti itu) akibatnya perkara yang haq bisa setara dengan perkara bathil.

Jika tetap bersikap netral, atau memilih diam atas dua pilihan antara baik dan buruk, haq dan bathil, orang sholeh akan dianggap setara dengan pelaku maksiat. Jelas ini keliru, nanti orang jelek akan menganggap, ternyata baik dan buruk itu sama saja. Tetapi, kalau ada perlakuan berbeda, ini benar, ini salah. Maka, antara haq dan bathil menjadi jelas.

Dari sahabat Abi Dzar Al-Ghifary, Rosululloh Saw bersabda:

قُلِ اَلْحَقَّ, وَلَوْ كَانَ مُرًّا

Artinya: “Katakanlah yang benar meskipun itu pahit (berat untuk dikatakan).”
(HR. Imam Ibnu Hibban)

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.