darulmaarif.net – Indramayu, 16 Agustus 2024 | 22.00 WIB
Pemerintah Indonesia resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang melarang praktik sunat pada perempuan. Peraturan ini ditandatangani langsung oleh Presiden Joko Widodo pada 26 Juli 2024 lalu.
Larangan tersebut bertujuan untuk melindungi hak-hak perempuan. Dan juga, menghilangkan praktik yang dinilai dapat membahayakan kesehatan.
Peraturan ini tentu saja menimbulkan beragam reaksi dari masyarakat, pro-kontra terkait penghapusan praktik sunat atau khitan bagi perempuan pun menjadi viral jadi perbincangan warganet Indonesia.
Untuk menjawab persoalan demikian, bagaiamana sebetulnya duduk perkara hukum sunat itu sendiri? Dan jawaban Islam terkait praktik sunat atau khitan pada perempuan. Mari kita coba bahas satu persatu.
Dasar Hukum Khitan
Dasar hukum yang menyebutkan hukum sunat atau khitan adalah sunnah sebagaimana riwayat Imam Ahmad,
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: الختان سنة للرجال مكرمة للنسآء. (رواه أحمد وبيهقي)
Artinya: “Dari Abu Hurairah Rodliyallohu ‘anhu, sungguh Nabi Saw bersabda: ‘Khitan itu hukumnya sunnah bagi para lelaki dan kemuliaan bagi para perempuan’.” (HR. Imam Ahmad dan Baihaqi).
Dalam hadits lain yang diriwayatkan Imam Bukhori,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: (الْفِطْرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَالاسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ وَنَتْفُ الآبَاطِ)
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra, ia berkata ‘Aku pernah mendengar Nabi bersabda, ‘Fitrah manusia itu ada lima, yaitu khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan mencukur kumis’.” (HR. Imam Al-Bukhori)
Sementara hadits yang spesifik terkait sunat atau khitan perempuan adalah riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya:
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ الْأَنْصَارِيَّةِ أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَخْتِنُ بِالْمَدِينَةِ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (لا تُنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ)
Artinya: “Dari Ummy ‘Athiyyah al-Anshoriyyah, bahwa seorang perempuan melakukan khitan di Madinah, Nabi Saw pun mengomentari, “Jangan berlebihan dalam mengkhitan [perempuan], karena khitan itu bagus untuk wanita dan lebih disukai suaminya.” (HR. Imam Abu Dawud)
Pandangan Para Ulama
Dalam pandangan Islam, sebagian dari Ulama kalangan madzhab Syafi’i menyatakan bahwa khitan itu adalah wajib, baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan. Hal ini sebagaimana tercantum dalam dalam kitab I’anatuth Tholibin:
ووجب ختان للمرأة والرجل حيث لم يولدا مختونين
Artinya, “Wajib berkhitan bagi perempuan dan laki-laki jika waktu dilahirkan belum keadaan terkhitan.”
Memperkuat keterangan diatas, dalam kitab Hasyiyah Qalyubi Wa ‘Umairah jilid XV halaman 336:
وَيَجِبُ خِتَانُ الْمَرْأَةِ بِجُزْءٍ أمِنْ اللَّحْمَةِ بِأَعْلَى الْفَرْج
Artinya: “Wajib hukumnya khitan perempuan dengan memotong bagian kulit di atas farj.” (Syihabuddin al-Qolyubi dan Ahmad ‘Umayrah, Hasyiyah Qalyubi wa ‘Umayrah ‘alal Minhaj, jilid XV halaman 336).
Meski demikian, ada juga sebagian Ulama yang menyatakan bahwa khitan adalah perkara yang hanya sekadar sunnah saja pelaksanaannya untuk perempuan. Dalam kitab Al-Fatawy Nomor Fatwa 68002 disebutkan:
ﻭﺍﻟﺮﺍﺟﺢ ﺃﻥ ﺍﻟﺨﺘﺎﻥ ﺳﻨﺔ ﻓﻲ ﺣﻖ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻭﻟﻴﺲ ﺑﻮﺍﺟﺐ
Artinya, “Pendapat yang unggul adalah bahwasanya khitan itu hukumnya sunah bagi kaum perempuan, tidak wajib.”
Adapun terkait hukum khitan yang ada dalam hadits riwayat Abu Dawud di atas, sebagaimana mengutip dari ‘Umdatul Ahkam, ‘Abdurrahman as-Sa’di menyebut hukumnya sunnah, di mana ia meninjau perbedaan pendapat soal khitan dilatarbelakangi kondisi geografis dan cuaca di sebagian wilayah yang berpengaruh kepada alat vital. Beliau menyebutkan:
والخلاصة أن ختان الإناث معروف، وهو من السنة خلافاً لمن أنكره، والذي يظهر أن له علاقة باختلاف المناطق ما بين حارة وباردة
Artinya: “Kesimpulannya bahwa khitan perempuan ma’ruf (umum diketahui), dia bagian dari sunnah, pendapat tersebut bertentangan dengan orang yang mengingkari khitan bagi perempuan. Perdebatan yang tampak pada masalah ini memiliki kaitan dengan perbedaan wilayah, antara daerah yang relatif panas dan yang dingin.” (‘Abdurrahman as-Sa’di, Syarh ‘Umdatul Ahkam, jilid I, halaman 106).
Al-Munawi dalam Faidhul Qodir syarh Jami’ush Shogir, menyebutkan: “Khitan bagi laki-laki adalah sunah, sedangkan bagi perempuan masuk kategori bentuk memuliakan mereka”. Perkataan tadi diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dari hadits al-Hajjaj dari Walid Abil Malih.
Merujuk pada Ahkamul Fuqoha halaman 919, hadits tersebut maksudnya adalah laki-laki lebih dianjurkan berkhitan dibanding perempuan. Sehingga makna yang dikehendaki adalah, “Laki-laki sunnah berkhitan, sementara perempuan mubah,” atau “Laki-laki wajib berkhitan sementara perempuan sunnah.”
Adapun hikmah diadakannya khitan bagi perempuan adalah mengikuti syariat Alloh dan sunnah Nabi, untuk kesucian, kebersihan dan mencegah infeksi saluran kencing, menstabilkan syahwat, dan lain-lain. (Ahkamul Fuqoha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas Dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010 M), halaman 919).
Mayoritas Ulama fikih terkait dengan masalah khitan perempuan, lebih memilih kepada predikat “kemuliaan”, tidak wajib, dan bahkan tidak sampai kepada sunnah. Predikat “kemuliaan” dalam persoalan khitan perempuan secara sederhana difahami sebagai dukungan para Ulama terkait khitan perempuan.
Demikianlah penjelasan terkait hukum khitan bagi perempuan. Ulama berbeda pendapat terkait hukum khitan bagi perempuan.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.