darulmaarif.net – Indramayu, 25 Juli 2024 | 08.00 WIB
Kampanye mengenai seruan poligami semakin marak di media sosial. Bentuknya adalah postingan video, membuat kelompok poligami, bahkan pelatihan dengan bahasa yang beragam sekaligus sensasional. Bahasanya condong ekspresif dengan tujuan mengajak dan menarik minat menggunakan bahasa gaul yang berkarakter ramah, mudah bergaul, modern, dan canggih.
Para influencer pro poligami semakin terang-terangan mengajak para jama’ah nya untuk berpoligami. Bahkan, sebagian dari mereka berkata suami boleh poligami tanpa harus izin istri pertama nya.
Sebenarnya, bagaimana tinjauan hukum fikih mengenai tindakan suami yang menikah lagi tanpa sepengetahuan istri pertama?
Dalam kajian fikih, poligami boleh dilakukan oleh seorang suami bila memenuhi dua syarat, pertama, harus mampu berbuat adil di antara istri-istrinya. Kedua, mampu menafkahi.
قُيُوْدُ إِبَاحَةِ التَّعَدُّدِ : اشْتَرَطَتِ الشَّرِيْعَةُ لِإِبَاحَةِ التَّعَدُّدِ شَرْطَيْنِ جَوْهَرِيَّيْنِ هُمَا 1 – تَوْفِيْرُ الْعَدْلِ بَيْنَ الزَّوْجَاتِ 2 – اْلقُدْرَةُ عَلىَ الْإِنْفاَقِ
Artinya: “Syari’at mensyaratkan dua hal penting bagi seorang suami bila ingin berpoligami. Pertama, bisa berlaku adil kepada istri-istrinya. Kedua, mampu menafkahi”. (al-fiqhul Islami wa Adillatuhu liz Zuhaili, juz. 9 hal/6669-6670)
Dengan demikian, persetujuan istri pertama bukanlah sebagai syarat sahnya melaksanakan nikah dengan istri kedua, hanya saja perizinan tersebut perlu dipertimbangkan sebagai bentuk mu’asyarah bil ma’ruf seorang suami terhadap istrinya.
Terlebih lagi ketika melihat UU Pasal 56 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyatakan bahawa seseorang yang ingin beristri lebih dari satu harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama dan izin ini akan didapatkan bila mendapatkan izin dari istrinya.
Meski poligami sah dengan dengan syarat-syatat yang disebutkan diatas, Syekh Wahbah Az-Zuhayli memandang bahwa praktik poligami bukan bangunan ideal rumah tangga Muslim. Menurutnya, bangunan ideal rumah tangga Muslim adalah monogami. Praktik poligami adalah sebuah pengecualian dalam praktik rumah tangga. Praktik ini bisa dilakukan dengan sebab-sebab umum dan sebab khusus. Walhasil, hanya kondisi darurat yang membolehkan seseorang menempuh praktik poligami.
إن نظام وحدة الزوجة هو الأفضل وهو الغالب وهو الأصل شرعاً، وأما تعدد الزوجات فهو أمر نادر استثنائي وخلاف الأصل، لا يلجأ إليه إلا عند الحاجة الملحة، ولم توجبه الشريعة على أحد، بل ولم ترغب فيه، وإنما أباحته الشريعة لأسباب عامة وخاصة
Artinya: “Monogami adalah sistem perkawinan paling utama. Sistem monogami ini lazim dan asal/pokok dalam syara’. Sedangkan poligami adalah sistem yang tidak lazim dan bersifat pengecualian. Sistem poligami menyalahi asal/pokok dalam syara’. Model poligami tidak bisa dijadikan tempat perlindungan (solusi) kecuali keperluan mendesak karenanya syariat Islam tidak mewajibkan bahkan tidak menganjurkan siapapun untuk melakukan praktik poligami. Syariat Islam hanya membolehkan praktik poligami dengan sebab-sebab umum dan sebab khusus,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 7, halaman 169)
Dengan berbagai pertimbangan demikian, sebagai seorang suami yang baik sudah seharusnya mentaati peraturan pemerintah yang mengharuskan suami yang hendak poligami agar mendapatkan izin istri pertama demi tercipta nya mu’asyaroh bil ma’ruf.
Maraknya kampanye poligami tidak menjadikan poligami dibolehkan tanpa aturan syari’at yang ketat, pun disamping itu ada peraturan undang-undang pemerintah yang mengatur bolehnya poligami dengan syarat dapat izin dari istri pertama. Poligami tanpa izin istri hukumnya tetap sah, tapi berat resiko nya.
Islam merupakan agama yang mengedepankan asas keadilan, kesejahteraan, kerukunan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Meski praktik poligami tidak disalahkan, alangkah baiknya jika suami yang hendak menikah lagi untuk mempertimbangkan berbagai sisi dan kondisi.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.