Selebrgam Cut Intan Nabila Jadi Korban KDRT, Ini Hukumnya dalam Islam

darulmaarif.net – Indramayu, 21 Agustus 2024 | 02.00 WIB

*Penulis: Ust. Moh. Ibnu Riziq, S.Pd.

Kasus KDRT yang dialami Selebgram Cut Intan Nabila yang dilakukan oleh suaminya, Armor Toreador menjadi sorotan publik. Selain kekerasan fisik, insiden ini juga menjadi perhatian bagi kita semua untuk memahami kasus kekerasan dalam rumah tangga ini.

Motif di balik tindakan Armor Toreador juga telah terungkap. Menurut laporan yang dikutip dari laman beritasatu.com, Armor Toreador melakukan KDRT lantaran menonton video p*rno. Hal ini menunjukkan, kekerasan dalam rumah tangga seringkali disebabkan oleh faktor-faktor eksternal yang tidak seharusnya memicu tindakan kekerasan.

Hukum KDRT dalam Islam

Islam sangat menjunjung tinggi kedudukan perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah bentuk penindasan yang jelas-jelas dilarang dalam Islam. Rosululloh Saw bersabda,

اِرْفَقْ بِالْقَوارِيْرِ

Artinya: “Lembutlah kepada gelas-gelas kaca (maksudnya para wanita).” (HR. Imam Al-Bukhori)

Dalam hadits lain, Ummul Mu’minin Sayyidah ‘Aisyah R.a menceritakan bahwa kelembutan dan kasih sayang Nabi kepada istrinya diantaranya tidak pernah sekalipun memiliki istrinya.

ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ، ﻗﺎﻟﺖ: «ﻣﺎ ﺿﺮﺏ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺷﻴﺌﺎ ﻗﻂ ﺑﻴﺪﻩ، ﻭﻻ اﻣﺮﺃﺓ، ﻭﻻ ﺧﺎﺩﻣﺎ

Artinya: ‘Aisyah berkata bahwa Rosululloh Saw tidak pernah memukul apapun dengan tangannya, tidak memukul wanita dan pembantu.” (HR. Imam Muslim)

Melihat dari kasus Cut Intan Nabila, KDRT tidak hanya merugikan secara fisik perempuan, tetapi juga mental dan spiritual bagi sang istri.

Faktanya, seringkali kekerasan dalam rumah tangga justru didasari oleh pemahaman yang keliru terhadap pembacaan ayat Al-Qur’an maupun Hadits-hadits Nabi.

Sebagai contoh, suami yang melakukan KDRT bisa jadi karena pernah mendengar pengajian yang mengutip hadits Nabi dalam Kitab Riyadhush Sholihin karya Imam an-Nawawi, redaksinya sebagaimana berikut:

عن عُمَرَ – رضي الله عنه، عَنِ النَّبيّ صلى الله عليه وسلم، قَالَ: (لاَ يُسْأَلُ الرَّجُلُ فِيمَ ضَرَبَ امْرَأَتَهُ)

Artinya: ‘Dari Sahabat ‘Umar R.a, dari Nabi saw, beliau bersabda, ‘Janganlah kamu tanyakan kepada seorang lelaki mengapa dia memukul istrinya.” (Imam an-Nawawy dalam Riyadhush Sholihin bab Muroqobah).

Apabila kita membaca hadits di atas secara gamblang, niscaya kita bertanya-tanya, apakah benar Rosulullah Saw membenarkan begitu saja seorang suami memukul istrinya? Apa konteks dan latar belakang hadits tersebut? Dalam batasan apa suami boleh memukul istrinya? Padahal, Nabi sendiri merupakan sosok suami yang begitu lemah lembut terhadap para istrinya.

Sebelum membaca penjelasan para Ulama terkait ayat dan hadits-hadits kebolehan memukul, penting diketahui bahwa ‘pukulan’ adalah bentuk dan media edukasi pada masa itu di daerah tertentu. Sehingga media untuk mendidik dan menegur pada hari ini dapat menggunakan bentuk yang sesuai dan relevan.

Adapun perihal hadits ini, Ali bin Ahmad al-Azizi menjelaskan dalam as-Sirojil Munir syarhul Jami’is Shoghir,

ولعل سبب النهي عن سؤال الرجل عن ضربه زوجته إن ذكر ذلك يؤدي إلى هتك ستر زوجته فإنه قد يكون ضربها أو هجرها لامتناعها من جماعه أو نحو ذلك مما يستقبح ذكره بين الرجال

Artinya: “Barangkali alasan larangan bertanya kepada seorang laki-laki tentang pukulannya terhadap istrinya adalah pertanyaan tersebut akan membuka rahasia istrinya, karena bisa saja si suami memukul atau tidak berhubungan suami-istri karena istrinya menolaknya, atau karena alasan serupa yang tidak pantas diketahui orang lain.” (‘Ali bin Ahmad al-‘Azizi, as-Sirojul Munir syarhul Jami’ ash-Shoghir, jilid IV, hal. 410).

Berdasarkan penjelasan ini, merujuk kepada konteks hadits ini, bahwa Sahabat Umar bin Khottob kala itu memukul istrinya karena menolak kewajiban untuk melayani suaminya, di mana tentunya Umar adalah sosok suami yang baik terhadap istri sebagaimana tercantum dalam beberapa riwayat. Tentunya pukulan Umar kepada istrinya bukanlah pukulan yang semena-mena hingga melukai istrinya. Pukulan yang dilakukan Umar adalah dalam rangka lit-ta’dib atau untuk mendidik.

Merujuk penjelasan Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rowy, pukulan yang diperbolehkan dalam hal ini hanyalah sekadar pukulan mendidik yang tidak berbahaya kepada sang istri, sebagai bentuk ketidak ridhaan terhadap perbuatan istrinya,

إِنَّ الضَّرْبَ بِشَرْطٍ أَلاَّ يَسِيْلَ دَمًا وَلَا يُكَسِّرُ عَظْمًا، أَيْ يَكُوْنُ ضَرْباً خَفِيْفاً يَدُلُّ عَلىَ عَدَمِ الرِّضَا؛ وَلِذَلِكَ فَبَعْضُ الْعُلَمَاءِ قَالُوْا: يَضْرَبُهَا بِالسِّوَاكِ

Artinya: “Sungguh (diperbolehkannya) memukul adalah dengan syarat tidak sampai melukai dan tidak memecahkan tulangnya, yaitu dengan pukulan ringan dengan tujuan untuk menampakkan ketidak ridhaan. Oleh karena itu, sebagian ulama berkata: memukulnya dengan kayu siwak (kayu kecil).” (Syekh Mutawalli asy-Sya’rowy, Tafsir wa Kahowatirul Umam, halaman 1502)

Kendati memukul istri ketika sudah nusyuz, sementara nasihat dan pisah ranjang tidak bisa berpengaruh padanya, tetap tidak memukul justru langkah yang lebih baik dari pada memukulnya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Fakhruddin ar-Razi, dalam kitabnya ia mengatakan:

الْأَوْلَى تَرْكُ الضَّرْبِ فَأَمَّا إِذَا ضَرَبَهَا وَجَبَ فِي ذَلِكَ الضَّرْبِ أَنْ يَكُونَ بِحَيْثُ لَا يَكُونُ مُفْضِيًا إِلَى الْهَلَاكِ

Artinya, “Dan yang lebih baik adalah tidak memukul. Dan jika harus memukulnya, maka wajib dalam pukulan tersebut untuk tidak sampai mencederai.” (Imam ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Ihya at-Turats: 1420), juz X, halaman 72).

Pelajaran dari Kasus Ini

Kasus KDRT yang dialami oleh Cut Intan Nabila menjadi pengingat bagi kita semua tentang pentingnya menjaga keharmonisan rumah tangga. Islam mengajarkan kita untuk saling menghormati, menyayangi, dan berlaku adil dalam hubungan suami istri. Bagi para korban KDRT, jangan ragu untuk speak up dalam rangka mencari bantuan dan perlindungan hukum.

Kasus ini juga menjadi panggilan bagi masyarakat untuk lebih peduli terhadap masalah KDRT. Kita perlu menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi korban. Selain itu, pendidikan tentang gender dan kekerasan dalam rumah tangga perlu ditingkatkan agar kasus serupa tidak terulang kembali.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.

*Ust. Moh. Ibnu Riziq, S.Pd. merupakan salah satu ustadz pengajar tetap di Pondok Pesantren Darul Ma’arif Kaplongan Indramayu