Sebuah Cerpen: Takdir dalam Desiran Waktu

darulmaarif.net – Indramayu, 01 Desember 2024 | 03.00 WIB

Langit sore itu kelabu, menyisakan gumpalan awan yang berarak di angkasa. Di balik jendela kaca rumah yang mulai berjamur, Fathia memandangi hujan yang jatuh perlahan seperti tarian sendu. Ia menghela napas panjang, seakan hendak menghapus beban yang tak pernah pergi dari hatinya.

Fathia, perempuan berusia tiga puluh dua tahun, adalah seseorang yang kerap disebut takdir sial. Ia kehilangan suaminya, Ikhsan, dua tahun lalu dalam kecelakaan mobil di jalur tol Bekasi-Jakarta. Setelah itu, perusahaan kecil yang ia bangun bersama hancur karena investasi bodong yang ditawarkan oleh teman lamanya. Kini ia bekerja sebagai penjaga toko kain di pinggir kota, dengan penghasilan yang nyaris tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Namun, bukan harta yang paling ia rindukan. Bukan pula kemapanan yang telah hilang. Tapi kehadiran putrinya, Aisha. Gadis kecil berusia enam tahun itu dirawat oleh mertuanya di desa, lantaran Fathia merasa dirinya belum cukup kuat memberikan kehidupan layak bagi buah hatinya.

Malam itu, di tengah tumpukan kain yang perlu dibereskan, Fathia menerima pesan dari mertuanya. Aisha sakit demam tinggi dan harus dirawat di rumah sakit. Fathia terguncang. “Kenapa tak bilang lebih awal?” gumamnya sambil gemetar, matanya memburam oleh air mata.

Namun, ia tak punya uang untuk perjalanan ke desa. Ia menghubungi sahabatnya, Naila, yang kini sukses sebagai pengusaha butik.

“Fathia, aku bantu, tapi aku ada permintaan,” ujar Naila dari balik telepon.

“Apa saja, Na. Aku butuh bantuanmu.”
“Aku mau kamu jadi manajer di butikku. Mulai besok. Tapi kamu harus meninggalkan pekerjaanmu yang sekarang.”

Fathia tertegun. Ia tahu pekerjaan sebagai manajer jauh lebih baik, tetapi apa ini benar-benar pertolongan atau cara Naila untuk menunjukkan kelebihannya? Selama bertahun-tahun, Naila sering membandingkan keberhasilannya dengan kegagalan Fathia.

Namun, demi Aisha, ia setuju.

Sebulan berlalu. Naila terbukti memberikan banyak kemudahan bagi Fathia, namun hubungannya dengan Aisha terasa semakin jauh. Tiap kali Fathia pulang ke rumah, yang ia temui hanyalah rasa bersalah.

“Apa kabar sekolahmu, Sayang?” tanya Fathia di panggilan video call.
Aisha tersenyum kecil.

“Baik, Bu. Tapi kapan Ibu pulang? Aku rindu.”

Pertanyaan itu menyesakkan dada Fathia. Namun ia hanya mampu berkata, “Ibu sedang bekerja keras, Nak. Supaya kita bisa tinggal bersama lagi nanti.”

Namun, suara hatinya menggema, “Kapan nanti itu akan tiba?”

Suatu malam, Fathia pulang lebih awal. Ia memutuskan mengunjungi rumah Naila untuk menyerahkan laporan bulanan. Namun, saat sampai di sana, ia mendengar percakapan yang menghancurkan seluruh dunia kecilnya.

“Aku hanya ingin Fathia tahu betapa gagal hidupnya,” ujar Naila kepada seorang teman. “Dia bekerja untukku sekarang. Semua ini, agar dia tahu aku lebih baik darinya.”

Fathia mundur perlahan. Dadanya terasa sesak, namun bukan amarah yang datang, melainkan sebuah kesadaran yang menampar keras. Selama ini, ia berlari dari takdirnya, mencoba membuktikan sesuatu yang tak perlu kepada seseorang yang tak penting. Ia melupakan bahwa takdir itu bukan untuk dihindari, melainkan diterima dengan hati yang lapang.

Ia pulang malam itu dengan membawa hati yang baru.

***

Keesokan harinya, Fathia memutuskan berhenti dari pekerjaannya di butik. Ia menggunakan tabungan seadanya untuk kembali ke desa. Saat melihat Aisha di tempat tidur rumah sakit, tubuh kecil itu lemah, tetapi matanya berbinar.

“Ibu pulang?” tanyanya pelan.
Fathia mengangguk, menahan tangis. “Ibu pulang, Sayang. Ibu tidak akan pergi lagi.”

Dengan modal keikhlasan, Fathia memulai usaha kecil-kecilan di desa, menjahit pakaian untuk para tetangga. Tidak banyak, tapi cukup. Setiap malam, ia menghabiskan waktu dengan Aisha, membaca cerita sebelum tidur, dan mencium kening gadis kecil itu sebelum ia memejamkan mata.

Desir angin senja membawa wangi pohonan yang basah. Di depan rumah kecilnya, Fathia duduk bersama Aisha, menikmati teh hangat.

“Ibu, apa Ibu pernah marah karena takdir kita seperti ini?” tanya Aisha tiba-tiba.
Fathia tersenyum, memandang ke langit. “Ibu pernah marah, Sayang. Tapi sekarang Ibu tahu, takdir itu seperti angin. Kita tidak bisa melawannya, hanya bisa mengikutinya. Dan angin ini membawa kita ke tempat yang tepat, pada waktu yang tepat.”

Hidup bukan soal melawan badai, melainkan belajar menari dalam rinai hujan. Takdir bukan musuh, melainkan guru yang mengajarkan kita arti syukur dan sabar.

Tamat.