darulmaarif.net – Indramayu, 20 November 2023 | 09.00 WIB
Kak Ros menggandeng tanganku menyusuri koridor rumah sakit. Di genggaman tangan kanannya memegang sebuket mawar untuk seorang yang hendak kami temui. Aku mengikuti langkah kak Ros cepat. Kaki kecilku harus lebih cepat dari langkah cepat kak Ros untuk sekadar mengimbangi jalannya. Aku memandangi airmukanya, nampak seperti sedang mencemaskan sesuatu. Aku jadi ikut memikirkan sesuatu. Menebak-nebak apa yang sedang berkecamuk di otaknya.
Didepan ada belokan, kak Ros berbelok ke kiri.Tangan kak Ros semakin erat memegang tanganku. Tiba di sebuah ruangan, kak Ros berhenti sejenak, ia menghela nafas untuk beberapa kali, aku mengikuti apa yang kak Ros lakukan.
Pandangan mataku teralihkan dari wajah kak Ros dan menatap plang diatas pintu, “ru-ang I-Ce-U”. Aku membacanya.
“I-Ce-U tuh apa kak?” Aku bertanya.
“Dibacanya Ai-si-yu, bukan I-C-U Dinda. Ruang Ai-si-yu itu digunakan oleh pasien yang sedang dalam kondisi kritis. Bahkan bisa jadi sedang koma.” Jawab kak Ros sambil membuka pintu ruangan.
“Ayo masuk sayang”. Sergah kak Ros.
Aku mengikuti di balik punggungnya, sedikit takut. Kritis dan koma itu aku tidak mengerti. Kak Ros melepaskan tanganku yang melingkar di pinggangnya. Ia langsung jatuh menubruk tubuh Ayah yang bermasker, dan berselang di tangan dan dadanya sambil sesenggukan menangis.
Sudah empat kali Ayah bolak-balik dirawat sejak setahun lalu. Kata kak Ros, penyakit Ayah sudah parah. Saat gejalanya kambuh, Ayah sering sesak nafas dan mengeluarkan cairan dahak berwarna kuning kecoklatan. Pengobatan-pengobatan sebelumnya tidak separah kali ini. Kini, ayah harus terbaring diam sejak seminggu ini Ayah di rawat. Aku menatap lekat wajah Ayah-ia tidaklah sakit seperti apa yang dikatakan dokter. Ayah hanya sedang kelelahan dan mungkin butuh istirahat cukup panjang. Aku menyungging senyum tipis dalam hati. ‘pasti Ayah sedang menemui Mamah di alam lain’. Aku iri pada Ayah. Ingin ketemu Mamah juga.
Aku terdiam diri, melongo melihat kak Ros, dan tertuju pada dua orang perempuan yang ikut terisak sejak kedatangan kak Ros.Perempuan yang satu sedikit tua dan beruban, dan yang satunya lebih muda dari kak Ros.
Dua perempuan itu memanggilku dengan isyarat lambaian tangan. Aku melangkah mendekat dengan sedikit ragu-ragu.Saat aku sudah satu jengkal di hadapan mereka, aku dipeluk erat. Dan mereka mengatakan Dinda yang sabar ya, doakan semoga Ayah cepat sembuh.
“Memangnya Ayah kenapa?.” Aku bertanya pada keduanya. Si perempuan tua mendudukkan aku di pangkuannya.
“Ibu ini siapa?.” Aku menengadah menatap wajahnya. Wajah-wajahnya sangat akrab, tapi aku lupa dengan mereka. Waktu masih ada Mamah dua orang ini sering mengunjungi kami. “Terus mbakyu ini juga siapa?.” Aku beralih menatap wajah perempuan muda cantik di sebalah kananku.
“Ini Nenek Dinda, dan ini adalah mbak Soraya, bibi iparmu. Ayahmu sedang sakit sayang.” Jawab perempuan tua. Aku melihat mata mereka sembab lantaran isakan tadi. Aku tidak mengerti jalan pikiran orang dewasa. Menurutku, ayah sedang tertidur, dan mungkin sebentar lagi juga bangun dan tau aku disini, pasti akan memelukku.
Sebuket mawar itu kak Ros taruh di samping tubuh Ayah. Kak Ros masih saja menangis. Aku bangkit dari pangkuan menuju kak Ros. Bahuku di rangkulnya, keningku dikecup lembut. Kak Ros memintaku agar menemani Ayah untuk beberapa saat. Katanya, sebentar lagi Ayah mau di operasi.
Aku menatap lekat sebagian wajah Ayah yang tertutup masker itu. Matanya terpejam, namun airmukanya seperti mengisyaratkan sesuatu.Mungkin ayah sedang memikirkan Mamah.
“Kak Ros, apa Ayah akan segera bangun dan memelukku?”
“Doakan saja Dinda. Ayah mengidap gejala pneumotoraks dan tuberkulosis yang sudah akut.”
“Pneumotoraks dan tuberkulosis itu apa kak?”
“Pneumotoraks itu mengempisnya paru-paru akibat bocornya udara antara lapisan udara ke ruangan pleura (rongga pleura). Sedangkan tuberkolosis, adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri tersebut dapat masuk ke dalam paru-paru dan mengakibatkan pengidapnya mengalami sesak napas disertai batuk kroni. Masa Dinda lupa? Kan Ayah sudah tiga kali ini dirawat dengan penyakit yang sama.” Kak Ros mencubit pipiku.
“Kalau begitu udaranya keluar dong lewat paru-paru yang bocor itu?.” Aku bertanya lagi. Kak Ros menjawab nanti kalau sudah dewasa, dan aku rajin membaca buku juga pasti tahu banyak hal, katanya begitu. Kak Ros tidak menjawab pertanyaanku, ia sesenggukan menangis lagi. Kali ini ia merengkuh tubuhku di dadanya. Menghangatkanku dengan sebidang empuk dada kak Ros. Aku menerawang jauh. ‘Ayah rindu Mamah kak Ros. Pasti sekarang lagi menemui Mamah’.
“Kak Ros, aku jadi ingat Mamah. Apa mungkin Ayah sedang bermimpi bersama Mamah jadi tidurnya cukup panjang.”
Suara pintu diketuk.
Terdengar beberapa orang dibalik pintu tempatku berada.Salah seorang dibalik pintu itu berkata permisi dan segera masuk menemui kami berempat. Ada tiga orang. Dua tante-tante dan satunya seorang pria. Mereka mengenakan seragam putih-putih. Nenek dan mbakyu berdiri, kak Ros segera menghampirinya.
“Sudah waktunya bapak Mukhib dioperasi. Mohon maaf, dan silahkan tunggu prosesnya. Bapak Mukhib akan kami pindahkan ke ruang operasi.” Dokter segera meminta dua suster disampingnya untuk membawa Ayah. Ayah segera dibawanya menuju ruangan lain. Jaraknya tidak jauh dari ruangan ini. Saat kami hendak menemani Ayah, dokter melarang dan bilang tunggu saja di ruangan ini.
“Dok, saya minta sembuhkanlah Ayah anak ini. Saya sangat berharap kakakku segera sembuh.” Kak Ros memohon dengan penuh harap. Tangannya erat menjabat tangan dokter dengan airmata yang sesekali terlihat membuncah di pipinya. Aku jadi ikut muram melihat suasana di ruangan ini. Apa gerangan yang akan terjadi kalau Ayah di operasi. Ayah akan bangun sebentar lagi. Ia masih bersama Mamah. Nenek dan mbakyu meminta kak Ros untuk tetap tegar.
“Ros, jangan kau tangisi terus.Bude tau ini berat bagi hidup Dinda. Apalagi ia belum mengerti tentang bagaimana rasa sakit yang di derita ayahnya. Aku sendiri kasihan dan sedih. Ibunya tiada saat ia masih bayi, sekarang saat ia mulai mengenal nama-nama benda di sekitarnya, saat bicaranya sudah mulai lancar, dan sudah bisa berlari-lari kecil, ia harus menerima musibah ini. Kamu yang sabar Ros. Meskipun aku jarang menemui kalian karena jarak yang jauh, aku selalu memikirkan Dinda.” Nenek mendekati kak Ros dan mereka bertiga saling berpelukan. Aku berada ditengah diantara tangan-tangan yang menjamah erat memelukku.
“Saya mau bercerita tentang kakak saya.” Ucap kak Ros pada nenek. Ia menggaet tangan nenek pergi meninggalkan ruangan. Sebelumnya aku diminta bersama mbakyu Rufaidah bermain di ruangan, bilangnya sih sebentar.
Aku diajak mbakyu bermain boneka. Walaupun kak Ros berada diluar ruangan, suaranya masih cukup terdengar di telingaku. Mereka sedang membicarakan Ayah. Meski, tanganku memainkan boneka, percakapan mereka masih terdengar cukup jelas di telingaku.
“Semenjak mas Mukhib ditinggal mbak Linda, ia banyak menghabiskan waktu di kamar. Saat aku sedang membereskan kamarnya, aku menemukan banyak putungan rokok. Ini tak terjadi sebelum mbak Linda tiada. Mas Mukhib frustasi akibat ditinggal istrinya. Sempat kami beradu mulut lantaran aku menyarankan agar ia segera berhenti merokok. Aku bilang gini:
‘Mas, kamu bukanlah seorang perokok mas. Dokter juga sering bilang kalau kesehatan paru-paru mas kurang baik, dan itu sebelum mas merokok. Ditambah sekarang mas, apa jadinya?’. Saya marah saat itu. ‘Rosa, aku sudah tidak bernafsu lagi meneruskan hidup ini Ros. Mungkin rokok tak membuat keadaan berubah seperti sedia kala. Paling tidak saat aku merokok, aku mendapat sedikit ketenangan untuk tidak memikirkan Linda’. Kami saling lempar argumen. ‘Mas, ngertilah mas. Dinda mas…Dinda. Jika mas terus-terusan begini, kasihan paru-paru, kasihan Dinda. Dinda butuh kasih sayang mas. Mbak Linda memang sudah tiada. Tapi Dinda itu amanat dan tanggungjawab mas. Mas harus buktikan kalau memang mas mencintai mbak Linda. Dalam hati Dinda mas, ada mbak Linda. Ia darah dagingnya, juga darah dagingmu mas. Jangan egois mas!”
Adu mulut itu terus berlanjut sampai aku memutuskan mengalah sendiri. Aku menangis akibat kelakuan mas Mukhib saban hari merokok dan merokok terus. Ratusan putungan itu aku dapatkan dari asbak di kamarnya. Kini apa yang ia dapat? Seorang duda pesakitan yang hampir mati kan? Saya kesal, kesal sekali. Ya tuhan, sebagai adik wajar kan kalau rasa kesal ini bagian dari rasa sayang sama kakanya?.”
“Sabar Ros. Ini sudah kehendak Gusti Alloh. Manusia hanya bisa berencana, Tuhan lah yang menentukan ahirnya. Kita semua disini berharap agar umur mas Mukhib bisa diperpanjang. Semoga operasi ini berjalan lancar, Dinda menantikan ayahnya segera bangun dan memeluknya.”
Terdengar ratapan tangis kak Ros yang kudengar dari celah pintu dibalik dinding ruangan ini. Aku masih bermain boneka bersama mbakyu, dan berharap ayah segera bangun. Terdengar pula langkah kaki cepat menuju ke ruangan ini. Aku kaget saat pintu itu terbuka, kak Ros bersama nenek, juga dokter itu menemui kami. Aku dan mbakyu segera bangkit dari lesehan. Boneka kupeluk, mbakyu berjongkok dan memelukku. Aku menatap wajah mereka.
Selang beberapa menit, tiba-tiba wajah kak Ros yang sebelumnya menatapku melemas dan ia jatuh terkulai, kak Ros tak sadarkan diri. Pingsan.
Dengan derai airmata yang memilukan, nenek segera menghambur memeluk kak Ros. Aku semakin bingung apa yang sedang terjadi. Dokter menghampiri mbakyu dan mengatakan maaf, bapak Mukhib tidak bisa terselamatkan. Aku menjatuhkan boneka yang sebelumnya kupeluk. Aku segera ikut menghambur memeluk kak Ros diiringi mbakyu yang memelukku. Mbakyu ikut menangis tersedu-sedu mendengar pernyataan dokter barusan. Dalam hati, aku masih berharap Ayah segera menemui kami disini. Aku juga bilang pada mbakyu dan nenek kalau Ayah mungkin masih berbincang-bincang dengan Mamah.
Kemudian, aku melihat Ayah berdiri di belakang kak Ros. Ayah tersenyum melihatku. Melihat wajah Ayah terlihat sehat cerah bersinar, hati kecilku ikut tersenyum melihatnya.
Setelah itu, Ayah segera pergi. Menghilang. Serupa kepulan asap yang membumbung di udara.
Tamat.