Peringati HUT RI Ke-79, Inspektur Upacara Serukan Pentingnya Ukhuwah Wathoniyah di Atas Ukhuwah Islamiyah

darulmaarif.net – Indramayu, 17 Agustus 2024 | 09.00 WIB

Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) yang ke-79, upacara bendera di Lapangan Bola Yayasan Darul Ma’arif Kampus Hijau Kaplongan Indramayu berlangsung dengan khidmat dan penuh makna. Salah satu momen penting dari peringatan ini adalah pesan yang disampaikan oleh inspektur upacara, Dr. Moh. Kholil, M.Si. yang menggarisbawahi pentingnya menjunjung tinggi ukhuwah wathoniyah atau persaudaraan se-Tanah Air, di atas ukhuwah islamiyah atau persaudaraan sesama Muslim.

“Marilah kita kembali memperkuat semangat ukhuwah wathoniyah (persaudaraan sebangsa dan setanah air). Karena menjaga tali ukhuwah wathoniyah ini bahkan harus lebih diutamakan ketimbang sebatas ukhuwah Islamiyah yang hanya berdasarkan kesamaan agama, apalagi berdasarkan kesamaan suku, ras dan golongan. Sebab, melalui jalinan ukhuwwah wathoniyah inilah akan lahir rasa cinta terhadap bangsa dan negara, yang pada saat bersamaan akan menumbuhkan upaya sungguh-sungguh untuk membela tanah air dari berbagai bentuk ancaman, baik yang datang dari luar maupun dari dalam,” ucap Kepala Sekolah SMP NU Kaplongan membuka pidatonya.

Beliau juga mengatakan, manakala sebuah bangsa tidak memiliki tanah air yang merdeka dan berdaulat, akan sulit rasanya bagi bangsa itu dapat mengamalkan ajaran agamanya secara damai dan aman, sebagaimana yang dirasakan oleh saudara-saudara kita umat muslim di berbagai belahan dunia. Dengan kata lain, untuk menjaga keimanan sangat dibutuhkan keamanan. Demikianlah pentingnya memupuk semangat ukhuwah wathoniyah (persaudaraan sebangsa dan setanah air).

Inspektur upacara menekankan bahwa dalam konteks bangsa Indonesia, yang terdiri dari beragam suku, agama, dan budaya, persaudaraan se-Tanah Air merupakan fondasi utama yang harus diprioritaskan. Meskipun ukhuwah islamiyah sangat penting dalam konteks keagamaan dan sosial, ukhuwah wathoniyah memiliki peran yang lebih luas dalam mempersatukan seluruh elemen masyarakat Indonesia.

Dalam pidatonya, inspektur upacara menyatakan bahwa negara Indonesia dibangun di atas dasar Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu jua.” Prinsip ini menggarisbawahi pentingnya persatuan di tengah keragaman. Sebagai bangsa yang majemuk, rakyat Indonesia dituntut untuk mengedepankan rasa persaudaraan dan solidaritas antar sesama warga negara, tanpa membedakan latar belakang agama atau etnis.

“Dalam konteks ajaran agama kita, pentingnya tanah air ini dapat kita temukan dalam kisah hijrahnya Nabi dari Makkah menuju Madinah. Peristiwa hijrah sesungguhnya menyiratkan harapan Nabi untuk memiliki tanah air yang aman dan berdaulat, sehingga ajaran dan dakwah Islam akan bisa berkembang dengan baik. Dalam sebuah riwayat, Nabi pernah mengungkapkan rasa cintanya pada tanah kelahiran beliau, yaitu Makkah al-Mukarramah,” tandas beliau.

Maka, menurut beliau adalah hal yang sangat memprihatinkan apabila saat ini ada kalangan yang masih selalu mempertentangkan antara kecintaan terhadap tanah air atau sikap nasionalisme dengan ajaran agama. Bahkan, tak jarang sebagian dari mereka secara terang-terangan menolak nasionalisme, lantaran menganggap nasionalisme bukan bagian dari ajaran Islam. Padahal, Hadlrotus Syekh KH. M. Hasyim Asy’ari, Sang Pendiri NU, beserta para Ulama dan Kyai lain yang tak diragukan lagi keluasan dan kedalaman ilmunya, telah sejak lama, sejak masa-masa perjuangan merebut kemerdekaan, memfatwakan kewajiban bagi setiap muslim membela tanah airnya, melalui satu ungkapan: “hubbul wathon minal iman”, bahwa mencintai tanah air adalah bagian dari iman.

Menyitir seorang penyair besar dari Mesir, Ahmad Syauqi (17 Oktober 1868 – 14 Oktober 1932) dalam salah satu bait puisinya mengatakan:
Sesungguhnya kejayaan suatu bangsa terletak pada akhlak atau karakternya. Manakala bangsa itu telah kehilangan akhlak atau karakternya, maka akan jatuhlah bangsa itu”.

Pesan ini diharapkan dapat memperkuat rasa kebangsaan dan kecintaan terhadap Tanah Air, serta mendorong para pelajar dan santri sebagai generasi penerus bangsa, bahwa “jihad” atau tugas suci kita saat ini bukanlah mengangkat senjata memerangi musuh di medan pertempuran, akan tetapi dengan menggunakan pena dan buku untuk belajar secara sungguh-sungguh, memerangi kemalasan dan kebodohan yang bersemayam di dalam diri sendiri. Karena antara keduanya; antara jihad mengangkat senjata dan jihad menggunakan buku dan pena, sama-sama menempati posisi mulia di sisi Alloh SWT.

Semoga bermanfaat.