Oase: Solusi atas Krisis Identitas dan Kekosongan Makna Hidup Manusia Modern

darulmaarif.net – Indramayu, 08 Mei 2025 | 10.00 WIB

Dunia modern tampaknya makin kehilangan arah. Teknologi berkembang pesat, namun justru meninggalkan luka eksistensial di hati generasi mudanya. Berdasarkan survei Pew Research Center (2021), banyak anak muda, terutama dari kalangan Gen Z, menyatakan hidup mereka “tidak bermakna”. Di Indonesia, laporan dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) mencatat peningkatan angka bunuh diri anak muda sebesar 5% per tahun. Fenomena ini bukan sekadar problem psikologis, tapi krisis eksistensial yang bersumber dari kekosongan spiritual dan disorientasi nilai.

Akar Masalah: Sekularisasi dan Nihilisme Digital

Kekosongan makna ini tidak lahir begitu saja. Ia muncul dari sekularisasi nilai hidup, di mana Tuhan dan agama dipisahkan dari ruang kesadaran individu. Dalam dunia digital, arus nihilisme—pandangan bahwa hidup tak punya tujuan objektif—diterapkan lewat konten hiburan dangkal, budaya “YOLO” (You Only Live Once), dan glorifikasi kebebasan tanpa tanggung jawab.

Sayangnya, pendidikan spiritual-eksistensial tidak mendapat ruang cukup di sekolah maupun dalam rumah tangga. Akibatnya, anak muda tumbuh dengan tubuh sehat, tapi jiwa rapuh.

Solusi Islami: Menemukan Makna Hidup dalam Tauhid dan Tazkiyatun Nafs

  1. Tauhid Eksistensial: Hidup adalah Pengabdian

Dalam Islam, makna hidup tidak ditentukan oleh materi atau status sosial, melainkan oleh orientasi ilahiyah. Allah berfirman:

وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون

Artinya: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku.” (QS: Adz-Dzariyat Ayat 56)

Menurut pandangan Imam Ath-Thibari, Alloh menciptakan jin dan manusia semata-mata agar mereka mengakui keesaan-Nya dan tunduk dalam beribadah kepada-Nya. Sebagaimana penejalasan berikut:

فقال بعضهم : معنى ذلك : وما خلقت السعداء من الجن والإنس إلا لعبادتي ، والأشقياء منهم لمعصيتي .وقال آخرون : بل معنى ذلك . وما خلقت الجن والإنس إلا ليذعنوا لي بالعبودة

Artinya: “Sebagian dari mereka berkata: Makna dari ayat itu adalah: Dan tidaklah Aku menciptakan orang-orang yang berbahagia dari kalangan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku, dan orang-orang yang celaka dari mereka untuk berbuat maksiat kepada-Ku. Dan yang lain berkata: Tetapi makna dari ayat itu adalah: Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka tunduk kepada-Ku dalam peribadatan.” [Imam Thabari, Tafsir Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an, Jilid XXII, [Mesir: Darul Ma’arif, tt] halaman 444]

Ayat ini menjadi fondasi dari konsep tauhid eksistensial—bahwa hidup bukan tentang “menjadi sesuatu”, tapi tentang “menjadi hamba”. Inilah titik awal pembebasan dari krisis identitas yang kerap dialami manusia.

  1. Tazkiyatun Nafs: Pembersihan Jiwa dari Ambisi Kosong

Dalam kitab Fushul Al-‘Ilmiyyah Wal Ushul Al-Hikamiyyah, Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad menjelaskan bahwa penyakit hati bermacam-macam.Diantaranya adalah lemah iman, cinta dunia yang berlebihan, ujub, riya’, dan lainnya.

وأمراض القلوب كثيرة، ومن أخطرها وأضرها الشك في الدين والعياذ بالله ومنها ضعف الإيمان بالله ورسوله والدار الآخرة، ومنها مراءاة الخلق بطاعة الله، والكبر علي عبـاد الله

Artinya: “Beberapa penyakit hati banyak sekali macamnya, diantaranya yang paling mengkhawatirkan dan paling membahayakan adalah meragukan (kebenaran) perkara agama (kami berlindung kepada Alloh SWT darinya), lemahnya keimanan kepada Allah SWT, dan Rasul-Nya dan negeri akhirat, mencari perhatian makhluk melalui amal ibadah kepada Alloh SWT, bersikap sombomg terhadap para hamba Alloh SWT.”

والشح والبخل والحسد والحقد والغش للمسلمين، ومحبة الدنيا، والحرص عليها، وطول الأمل، ونسيان الموت، والغفلة عن الدار الآخرة، وترك العمل لها، الى غير ذلك من أمراض القلوب وعللها

Artinya: “Kikir, pelit, dengki, dendam, suka menipu kaum muslimin, cinta dunia, ambisi mendapatkannya, panjang angan-angan, lupa kematian, lalai dari akhirat dan tidak berbuat untuknya serta masih banyak lagi penyakit hati lainnya.” Fushul Al-‘Ilmiyyah Wal Ushul Al-Hikamiyyah (Juz, 1, Hlm. 99)

Solusinya adalah dengan melakukan tazkiyatun nafs—pembersihan jiwa melalui:

  1. Tadabbur Ayat Qouliyah dan Kauniyah (merenungi makna Al-Qur’an dan alam)
  2. Muroqobah (merasa diawasi Alloh setiap saat)
  3. Muhasabah (introspeksi diri secara rutin)

قال الغزالي في الإحياء: لا تصفو النفس ولا تصلح إلا بالمراقبة والمحاسبة والمجاهدة

Artinya: “Jiwa tidak akan bersih dan tidak akan lurus kecuali dengan muraqabah, muhasabah, dan mujahadah.” (Ihya’ ‘Ulumiddin, juz 3)

Dengan tazkiyatun nafs, hati yang kosong mulai diisi oleh kehadiran Alloh SWT, bukan oleh pengakuan sosial atau pencapaian duniawi semata.

  1. Mentoring Ruhani: Peran Mursyid dan Guru Ngaji

Dalam tradisi tasawuf klasik, pembimbing ruhani (Mursyid) memiliki peran penting dalam mengarahkan jiwa sang Murid. Kitab Ruuhul Bayaan menekankan bahwa Mursyid bukan hanya guru ilmu, tapi pembimbing ruhani:

من لم يكن له شيخ فشيخه الشيطان

Artinya: “Barangsiapa yang tidak memiliki guru (mursyid), maka syaitanlah gurunya.” (Tafsir Ruuhul Bayaan, Juz 5/264)

Mengenai hubungan guru dengan seorang murid, Imam Al-Ghazali menjelaskan,

يَحْتَاجُ المُرِيدُ إِلَى شَيْخٍ وَأُسْتَاذٍ يَقْتَدِي بِهِ لَا مَحَالَةَ لِيَهْدِيهِ إِلَى سَوَاءِ السَّبِيلِ، فَإِنَّ سَبِيلَ الدِّينِ غَامِضٌ، وَسُبُلَ الشَّيْطَانِ كَثِيرَةٌ ظَاهِرَةٌ. فَمَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ يَهْدِيهِ، قَادَهُ الشَّيْطَانُ إِلَ طُرُقِهِ لَا مَحَالَةَ. فَمَنْ سَلَكَ سُبُلَ البَوَادِي المُهْلِكَةِ بِغَيْرِ خَفِيرٍ فَقَدْ خَاطَرَ بِنَفْسِهِ وَأَهْلَكَهَا، وَيَكُونُ المُسْتَقِلُّ بِنَفْسِهِ كَالشَّجَرَةِ التي تَنْبُتُ بِنَفْسِهَا فَإِنَّهَا تَجِفُّ عَلَى القُرْبِ، وَإِنْ بَقِيَتْ مُدَّةً وَأَوْرَقَتْ لَمْ تُثْمِرْ، فَمُعْتَصَمُ المُرِيدِ شَيْخُهُ، فَلْيَتَمَسَّكْ بِ

Artinya: “Seorang murid harus memiliki sosok Syekh dan Guru yang diikuti dan menuntunnya ke jalan yang banar. Jalan agama begitu terjal, sementara begitu banyak jalan-jalan setan. Barang siapa yang tidak memiliki guru, maka setan akan menyesatkan jalannya. Seperti orang yang melewati sebuah pedalaman berbahaya tanpa pemandu, maka akan sangat mengancam keselamatannya. Orang yang tanpa guru, laksana pohon yang tumbuh tanpa diurus. Dalam waktu dekat akan mati. Andai pun pohon itu hidup dalam waktu yang lama, tak akan berbuah. Penjaga murid adalah gurunya. Berpeganglah padanya.” (lihat Ihya ‘Ulumiddin, juz 1, hal 98)

Di sinilah pentingnya halaqoh, majelis ta’lim, dan guru spiritual yang membimbing jiwa dari gersangnya eksistensi menuju makna hidup yang sejati.

Krisis identitas dan kekosongan makna bukan sekadar masalah generasi muda, tapi cermin dari masyarakat yang kehilangan nilai-nilai ruhani. Islam, dengan ajaran tauhid dan tazkiyah-nya, menawarkan jalan pulang yang penuh cahaya: hidup sebagai pengabdian, bukan konsumsi; sebagai perjalanan ruhani, bukan perayaan egosentrisme.

Kembalilah kepada ajaran yang berbasis Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, kepada Ulama yang membimbing, dan kepada kehidupan yang berpusat pada Alloh SWT. Sebab, hanya dengan itu, jiwa yang kosong bisa kembali terisi, dan hidup yang tanpa arah bisa menemukan kembali makna sejatinya.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.