Oase: Ketika Logika Tunduk pada Takdir, Berpikirlah Seperti Nabi!

darulmaarif.net – 17 Juli 2025 | 08.00 WIB

Manusia modern hari ini hidup dalam hiruk-pikuk informasi, banjir tuntutan sosial, dan tekanan menjadi “sempurna” secara lahiriah. Namun, di balik segala pencapaian itu, tersembunyi kecemasan eksistensial: untuk apa semua ini?, ke mana arah hidupku?, dan mengapa hati masih terasa kosong makna?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukan hanya problematika psikologis, tetapi menyentuh akar eksistensi manusia. Dan di titik inilah kita harus “Berpikir Seperti Nabi” sebagai tawaran yang sederhana namun radikal: kembalilah pada cara berpikir murni ala Nabi.

Keheningan Nabi dan Hikmah yang Terlupakan

Alih-alih menampilkan tokoh Nabi sebagai figur politis atau pahlawan moralistik, saya hendak menyoroti momen-momen kontemplatif dalam kehidupan paripatetik Nabi Muhammad SAW. Salah satu titik balik sejarah kenabian adalah saat beliau ber-tahannuts di Gua Hira’, bukan sebagai aktivis, tetapi sebagai pencari makna.

Dalam keheningan itulah, wahyu diturunkan. Dalam sunyi itulah, sejarah berubah, dikonsntruksi ulang.
Dan dari kesunyian itu pula, kita diajak merefleksi ulang kesadaran:

“Apakah berpikir hari ini masih menyisakan ruang bagi keheningan dan kepasrahan?”

Kepasrahan: Jalan Spiritual yang Aktif

Sering kali kepasrahan (tawakal) disalahpahami sebagai sikap pasif atau menyerah. Dalam pandangan eksistensial, menegaskan bahwa kepasrahan adalah kesadaran aktif, yang lahir dari pengakuan akan keterbatasan manusia dan kebesaran hakikat Tuhan.

Berpikir seperti Nabi berarti:

  • Mengakui bahwa tidak semua harus bisa dikendalikan,
  • Menyadari bahwa hidup bukan soal menang atau kalah,
  • Dan berani percaya, bahwa ada hikmah dalam hal-hal yang tak bisa dijelaskan.

Dalam dunia yang menuntut kontrol dan rasionalisasi ekstrem, pasrah bukan kekalahan, tapi kemerdekaan spiritual.

Melampaui Dikotomi: Sukses vs Gagal, Benar vs Salah

Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan kerap diukur dalam skala kuantitatif—angka, hasil, pencapaian, dan keberhasilan—kita sering kali terjebak dalam pola pikir biner: menang atau kalah, benar atau salah, sukses atau gagal. Dikotomi ini bukan hanya menyederhanakan kompleksitas hidup, tetapi juga menyesatkan persepsi kita tentang makna hakiki dari sebuah pengalaman. Padahal, jika menengok pada cara para Nabi berpikir dan bersikap, kita akan menemukan sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar benar atau salah. Para Nabi mengajarkan bahwa kehidupan bukan tentang mencari pembenaran mutlak atau kemenangan atas yang lain, melainkan tentang mendewasakan jiwa dalam menghadapi paradoks, ambiguitas, dan kesementaraan dunia.

Nabi Muhammad SAW, misalnya, tidak selalu menjawab setiap persoalan umatnya dengan ketegasan hukum yang kaku. Dalam banyak momen, beliau justru mendahulukan empati, kasih sayang, dan intuisi spiritual yang tajam. Ketika seorang Arab Badui kencing di masjid, beliau tidak serta-merta menghakimi atau menghukumnya, melainkan membiarkannya selesai, lalu membersihkan tempat itu dan menjelaskan dengan lemah lembut. Inilah pelajaran penting: bahwa tidak semua hal harus direspons dengan logika hukum atau vonis benar-salah. Ada ruang luas untuk pengertian, kasih sayang, dan pendidikan batin.

Berpikir ala Nabi berarti menyelami makna di balik peristiwa, bukan sekadar bereaksi terhadap permukaan fakta. Yang ditekankan bukanlah seberapa luas cakupan pengetahuan kita, tapi seberapa dalam pemahaman kita terhadap realitas kehidupan. Pemahaman yang lahir dari hati yang bening, bukan dari ego yang ingin membenarkan diri. Karena itu, dalam perspektif kenabian, kesalahan tidak selalu berujung pada hukuman, dan kegagalan bukan akhir dari segalanya. Keduanya bisa menjadi pintu masuk menuju transformasi batin dan pertumbuhan spiritual. Kepasrahan kepada takdir Ilahi pun bukan tanda kelemahan, melainkan bentuk tertinggi dari kepercayaan dan kebijaksanaan yang telah matang.

Dengan demikian, berpikir seperti Nabi adalah berpikir dengan hati yang terbuka, akal yang jernih, dan ruh yang sadar bahwa hidup bukan arena adu benar atau salah, melainkan jalan panjang mencari makna dan kebaikan sejati di setiap likunya.

Dalam berpikir Nabi, yang penting bukan seberapa banyak kita tahu, tapi seberapa dalam kita memahami makna dari apa yang kita alami.

Refleksi: Kepasrahan Sebagai Eksistensi Tertinggi

Jika dibaca dalam lensa filsafat Islam, gagasan ini sejalan dengan tradisi Tasawuf Eksistensial, yang ditemukan dalam pemikiran Ibn ‘Arabi, Jalaluddin ar-Rumi, hingga filsafat Illuminasi al-Ghozali. Kepasrahan bukanlah fatalisme, melainkan bentuk tertinggi dari “tindakan batin”.

Saya tidak berbicara dengan bahasa akademik kaku, tetapi justru itu kekuatannya. Hari ini mari sama-sama saya mengajak pembaca untuk:

  • Melampaui kegelisahan rasional,
  • Menyentuh kembali spiritualitas yang jernih,
  • Dan menghidupkan kembali kesadaran ilahiah dalam berpikir.

Sebuah Ajakan untuk Berhenti Sejenak

“Berpikir Seperti Nabi” bukan panduan syariat atau buku tafsir. Ini adalah cermin yang jujur dan lembut, mengajak kita untuk berhenti sejenak, menenangkan hati, dan bertanya:

“Sudahkah cara berpikir kita hari ini mencerminkan jiwa yang pasrah, atau hanya ego yang menyamar sebagai kebenaran?”

Di dunia yang sibuk dengan analisis, debat, cangkeman sana-sini, dan kesimpulan cepat nan profan, barangkali inilah waktunya kita berhenti berpikir seperti algoritma, dan mulai belajar berpikir seperti Nabi: dalam hening, dalam sabar, dan dalam kepasrahan yang membebaskan.

Berpikir algoritmik membuat manusia seringkali terjebak hasrat untuk mengetahui segala hal. Sebab konon pengetahuan adalah alat untuk menemukan kepastian tentang makna-makna didalamnya. Ketidaktahuan seringkali membuat manusia terjebak pada kegelisahan, ketakutan, kesengsaraan.

Padahal, ketidaktahuan juga semestinya butuh dimaknai. Agar tak terjadi kegelisahan pada berbagai misteri hidup di masa depan, dan apa-apa yang akan terjadi didalamnya.

Dengan keterbatasan kita pada banyak hal, dan misteri hidup yang masih berserakan, satu-satunya jawaban adalah bersyukur. Bersyukur berarti memaknai ketidaktahuan dan menikmatinya, meski pertanyaan-pertanyaan itu tidak terjawab.

Dan, berpikir “Seperti Nabi’ mengajak kita merenungi kesadaran eksistensial diri yang paling murni, dengan segala keterbatasan kita untuk kembali menuju Tuhan yang pengetahuan-Nya Tak Terbatas.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.