darulmaarif.net – Indramayu, 14 September 2024 | 10.00 WIB
Di antara kamu pasti ada yang senang menghabiskan sedikit waktunya untuk melamun atau berkhayal. Salah satunya melamun dengan cara memikirkan masa depan yang jauh dan belum terjadi. Lamunan itu menjadi khayalan yang akan semakin merusak hari-harimu, duniamu yang sedang terjadi saat ini.
Dalam dunia yang semakin terkoneksi dengan teknologi dan informasi, kita sering kali terjebak dalam khayalan yang diciptakan oleh imajinasi kita sendiri. Khayalan, dalam batas wajar, adalah bagian dari proses kreatif dan reflektif manusia. Namun, ketika khayalan berubah menjadi adiksi, ia perlahan-lahan menggerogoti esensi kehidupan nyata kita.
Adiksi terhadap khayalan biasanya dimulai dari hal-hal kecil—impian menjadi seseorang yang berbeda, hidup dalam dunia yang lebih indah, atau melarikan diri dari kenyataan yang keras nan pahit. Tanpa disadari, kita mulai menghabiskan lebih banyak waktu untuk hidup dalam dunia fiksi yang kita ciptakan sendiri. Waktu yang seharusnya dihabiskan untuk membangun relasi, mengejar tujuan, atau menghadapi tantangan hidup, terbuang dalam keasyikan mengejar fantasi yang tak pernah benar-benar nyata. Hingga dirimu terjebak pada dunia fatamorgana yang kau ciptakan sendiri.
Melamun atau mengkhayal dalam Islam sama halnya dengan memperpanjang angan-angan. Dalam istilah Arab, lamunan, khayalan atau panjang angan-angan disebut Thulul Amal.
Definisi Thulul Amal dijelaskan para Ulama sebagai berikut,
وقال المناويّ: الأمل: توقّع حصول الشّيء، وأكثر ما يستعمل فيما يستبعد حصوله
أمّا طول الأمل: فهو الاستمرار في الحرص على الدّنيا ومداومة الانكباب عليها مع كثرة الإعراض عن الآخرة
Artinya: “Al-Munawi mengatakan: Al-amal artinya mengangankan terjadinya sesuatu. Namun istilah ini lebih sering digunakan untuk sesuatu yang kemungkinannya kecil untuk diraih.
Adapun thulul amal artinya: terus-menerus bersemangat mencari dunia dan mencurahkan segala hal untuk dunia, dan di sisi lain, banyak berpaling dari urusan akhirat.” (Nudhratun Na’im fi Makarimil Akhlaq, 10/4857).
Al-amal (angan-angan) berbeda dengan ath-tham’u (tamak) dan ar-raja’ (cita-cita). Al-amal adalah perkara yang kemungkinannya kecil untuk diraih, sedangkan tamak adalah berlebihan menginginkan perkara yang mudah diraih, adapun cita-cita adalah mengharapkan sesuatu yang mungkin diraih. Ini digambarkan oleh al-Munawi:
من عزم على سفر إلى بلد بعيد يقول أملت الوصول ولا يقول طمعت، لأنّ الطّمع لا يكون إلّا فى القريب، والأمل في البعيد، والرّجاء بينهما، لأنّ الرّاجي يخاف ألّا يحصّل مأموله
Artinya: “Seseorang yang ingin pergi safar ke tempat yang sangat jauh, maka ia akan mengatakan: aamaltul wushul bukan thama’tul wushul. Karena tamak itu tidak dilakukan kecuali kepada yang dekat. Sedangkan al-amal hanya kepada yang jauh saja. Adapun ar-roja’, di antara keduanya. Karena orang yang roja’ (bercita-cita) ia khawatir apa yang diangankan itu tidak tercapai” (Nudhratun Na’im fi Makarimil Akhlaq, 10/4857).
Dampak Negatif dari Thulul Amal
Dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin, dalam bab sebab Thulul Amal dan Cara Mengobatinya, Imam Abu Hamid Muhammad AI-Ghozaly menyebutkan bahwa penyebab Thulil Amal ada dua. Pertama, kebodohan. Kedua, terlalu cinta pada dunia.
اعلم أن طول الأمل له سببان أحدهما الجهل والآخر حب الدنيا أما حب الدنيا فهو أنه إذا أنس بها وبشهواتها ولذاتها وعلائقها ثقل على قلبه مفارقتها فامتنع قلبه من الفكر في الموت الذي هو سبب مفارقتها.
Artinya: “Ketahuilah! Penyebab Thulul Amal ada dua: pertama kebodohan, dan yang terakhir cinta dunia. Adapun cinta dunia adalah ketika seseorang sudah senang dengan dunia berikut kenyamanan di dalamnya, ia akan merasa berat hati untuk berpisah dengan dunia. Dengannya, seseorang akan tercegah dari berpikir tentang kematian, padahal sebenarnya kematian menjadi penyebab berpisah dengan dunia.” (Imam al-Ghozaly, Ihya’ Ulumiddin, [Bairut: Darul Ma’rifah 2010], juz 4, h. 456)
Menurut Al-Ghozaly, jika kita sudah terjerumus dalam Thulul Amal panjang angan-angan ini maka ada 4 hal yang akan kita rasakan sebagai akibat dari adanya Thuhul Amal yang ada dalam hati kita, empat hal itu yaitu:
1. Meninggalkan ketaatan, (dan kalaupun ia mengerjakannya) maka ia akan bermalas- malasan dalam ketaatan tersebut. Ia akan mengatakan: “Aku akan mengerjakannya besok” padahal hal itu telah berada di depan matanya.
2. Meninggalkan taubat, atau dia hanya sekedar menangguhkannya. Ia mengatakan: “Aku akan bertaubat, hari-hariku masih panjang, aku masih muda, aku masih kuat untuk melakukannya pada masa yang akan datang”.
3. Cinta yang berlebihan terhadap harta dan menyibukkan diri terhadap dunia (hingga ia melupakan) akhirat. Ia berkata: “Aku takut jika pada masa tua aku dalam kadaan miskin dan aku sudah tidak sanggup lagi untuk berusaha. Maka aku harus menyimpan hartaku untuk masa tuaku, atau untuk hari ketika aku sakit nanti, atau untuk hari ketika aku ditimpa kemiskinan”. Hal itu menyebabkan ia mencintai dunia dan rakus terhadapnya dan ia selalu memikirkan untuk mencari rejeki saja tanpa memperhatikan urusan setelah kematian.
4. Mengeraskan hati yang menjadikan kita lupa kepada alam akhirat. Maka jika kita thulul amal panjang angan-angan berarti kita berfikir bahwa hidup kita akan lama (berumur panjang), dan hal itu menyebabkan kita tidak ingat terhadap kematian dan melupakan alam kubur.
Cara Mengobatinya
Dalam Ihya’ Ulumiddin, dengan tegas al-Ghozaly menjelaskan obat dari thulul amal;
وتعالج طول الأمل بكثرة ذكر الموت والنظر في موت الأقران وطول تعبهم في جمع المال وضياعه بعدهم
Artinya: “Thulul Amal dapat diobati dengan kerap memikirkan kematian, dan mengangan-angan usaha keras orang lain menyimpan harta, tetapi setelah ia mati harta itu terbengkalai sia-sia.”
Selain diatas, Imam AI-Ghazali menyebutkan bahwa jika kita sudah terjerumus dalam Thulul Amal, obat menyembuhkannya ada empat:
1. Niat yang ikhlas dalam beramal disertai azam (tekad) yang teguh dan kokoh untuk menghilangkan penyakit itu. Adanya azam ini akan menjadikan kita mudah melangkah dan semakin memotivasi kita untuk melakukannya. Ketika hal ini telah tertanam janganlah kita merasa tidak mampu untuk melakuknnya. Karena dengan kita merasa tidak mampu berarti kita telah memberikan peluang kepada syaithan untuk maasuk ke dalam hati kita.
2. Mengingat kematian dan alam kubur. Banyak orang merasa takut menghadapi sebuah kematian karena mereka menganggap itu adalah akhir dari semua kehidupan mereka. Namun tidak demikian bagi orang mukmin, itulah awal babak baru yang harus mereka lewati. Ketika kematian terus berada dalam pikiran kita maka tidak akan ada lagi angan-angan untuk kehidupan yang ada di dunia ini. Kita akan terus mempersiapakan diri dalam kehidupan ini untuk masa yang lebih jauh dariyang kita khayalkan didunia.
3. Mengingat ancaman dan pahala yang dijanjikan oleh Alloh, bahwasannya Alloh telah menjanjikan kepada hambaNya sesuai dengan apa yang diperbuat oleh mereka, dan janji itu adalah pasti adanya. Jika kita terus mengingatnya dan meyakininya maka kita akan bisa melupakan angan-angan yang selalu terbayang dalam pikiran kita.
4. Selalu mengingat akan keadaan di alam akhirat nanti yang mana saat itu yang bermanfaat hanyalah amal yang kita kerjakan ketika di dunia. Maka sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ali yaitu hendaklah kita menjadi “Anak-Anak Akhirat”, yaitu orang yang selalu memikirkan akan kehidupan akhirat.
5. Berdoa kepada Alloh supaya kita dijauhkan dari penyakit hati thulul amal panjang angan-angan ini, sebagaimana doa yang dipanjatkan oleh Ma’ruf Al-Kurkhi: “Aku berlindung kepada Alloh dari thulil amal! karena ia bisa mencegah kita untuk melakukan amal kebaikan”.
Imam Ali bin Abi Tholib rodliyallohu ‘anhu mengatakan:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ اتِّبَاعُ الْهَوَى، وَطُولُ الْأَمَلِ. فَأَمَّا اتِّبَاعُ الْهَوَى فَيَصُدُّ عَنِ الْحَقِّ، وَأَمَّا طُولُ الْأَمَلِ فَيُنْسِي الْآخِرَةَ
Artinya: “Perkara yang paling aku takutkan adalah mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Adapun mengikuti hawa nafsu, ia akan memalingkan dari kebenaran. Adapun panjang angan-angan, ia akan membuat lupa akan akhirat.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’, 1/76).
Jika seorang hamba menjadi korban dari panjang angan-angan (pengkhayal), maka pikiran dan perhatiannya hanya akan terfokus pada kenikmatan dunia semata. Dia semakin banyak bergaul dengan orang lain, hingga berakibat hatinya menjadi keras.
Sungguh kelembutan dan kebeningan hati itu disebabkan oleh mengingat kematian dan kehidupan alam kubur, pahala dan siksa, serta berbagai kondisi akhirat. Jika hal-hal tersebut ada dan terjadi pada dirimu, mungkin saja sekarang hatimu dan seluruh kehidupanmu telah mati, bahkan sebelum kematian jasadmu menghampiri.
Semoga Bermanfaat. Wallohu a’lam.