Nalar Inklusif: Bolehkah Santri Mengkritik Guru atau Kyai nya?

darulmaarif.net – Indramayu, 06 Juni 2024 | 01.00 WIB

Dunia Pesantren tidak betul-betul tuntas diungkapkan, sebelum tradisi kritik dipahami sebagai bagian dari karakteristiknya. Memisahkan tradisi kritik dari pesantren bukan saja bertentangan dengan fakta sejarah, tetapi juga tidak sejalan dengan spirit Islam. Mujadalah, adu argumentasi, mendapatkan panggung suci dalam tradisi Islam. Para santri dan kyai yang sedang berdebat sejatinya sedang mengamalkan ajaran dan keyakinan agama mereka.

Kemudian muncul pertanyaan: apakah seorang santri boleh mengkritik guru atau kyai nya? Mengingat, selama ini tradisi kritik di pesantren mulai hilang, bahkan banyak pesantren yang anti-kritik cenderung menerapkan indoktrinasi dogmatis kepada para santri nya bahwa kritik itu dilarang, bahwa guru atau kyai
selalu diposisikan sebagai sosok yang “selalu benar” dan setiap ucapan atau perbuatannya haruslah dibenarkan. Mari coba kita telusuri “tradisi kritik” ini dalam literatur sejarah peradaban Islam.

Untuk mengoreksi, tidak disyaratkan harus memiliki pengetahuan setara atau lebih tinggi daripada yang dikoreksi. Orang yang pengetahuannya lebih bawah bisa mengoreksi orang yang berpengetahuan lebih tinggi asalkan tahu betul tema yang dikoreksi dan koreksinya itu berbasis ilmu. Celaan keras Alloh kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menjadikan rahib-rahib serta pendeta-pendeta mereka sebagai tuhan selain Alloh adalah ayat yang jelas bahwa orang yang berpengetahuan tidak tinggi itu dibolehkan (bahkan diwajibkan dalam kondisi tertentu) untuk mengoreksi orang yang pengetahuannya di atasnya (yakni ketika kesalahannya memang terbukti mungkar).

Hanya saja, mengoreksi guru atau orang yang punya kedudukan tinggi dalam ilmu agama, tentu saja harus beradab, karena mereka memiliki hak-hak penghormatan berdasarkan dalil. Secara ringkas ada dua kondisi yang perlu diperhatikan dalam adab mengoreksi guru.

Pertama, jika ragu apakah yang muncul dari guru itu kesalahan atau memang ada penjelasan lain, maka adab yang baik adalah mengkonfirmasi dengan cara tabayyun, tidak langsung mengkritik dan memvonis. Sebab, orang yang kebiasaannya berada dalam kualitas baik, jika pada suatu saat seperti melakukan kesalahan, maka tidak langsung divonis salah dan dinisbatkan kesalahan itu kepadanya karena bisa jadi ada penjelasan yang lain.

Kedua, jika sudah yakin betul apa yang muncul dari guru itu salah dan kita punya pengetahuan tentang hal itu, maka bisa langsung mengoreksinya dengan tegas.

Tidak langsung menyalahkan, tapi memilih mengkonfirmasi dan bertanya jika merasakan ada sesuatu yang janggal adalah adab yang dipraktekkan para sahabat Rosululloh Saw saat melihat sesuatu yang tidak biasanya dari beliau.

Rosululloh Saw pernah dikoreksi terkait saran beliau dalam kasus penyerbukan kurma. Waktu itu beliau merekomendasikan kurma supaya tidak usah diserbuk. Ternyata hasilnya malah buruk. Cara para sahabat merespon sesuatu yang dzohirnya keliru ini adalah dengan mendatangi Nabi Saw, lalu mengingatkan ucapan beliau dulu saat merekomendasikan dan melaporkan hasil buruknya. Setelah Rosululloh Saw mendengar kisah itu, barulah beliau menjelaskan bahwa saran dari nabi itu bukan wahyu, jadi yang benar jangan mengikuti Rosululloh Saw, tapi selidiki sendiri dengan ilmu dan pengalaman.

Rosululloh Saw juga pernah dikoreksi terkait pemberian tambang garam. Ceritanya, waktu itu ada seorang lelaki yang bernama Abyadh bin Hammal yang meminta tambang garam di Ma’rib, daerah Yaman. Rosululloh Saw meluluskan permintaan itu. Keputusan ini dipandang janggal oleh salah seorang lelaki yang ada di forum itu. Akhirnya dia mencoba mengklarifikasi dengan bertanya, apakah Rosululloh Saw tahu fakta tambang garam yang depositnya sangat besar itu. Setelah tahu bahwa tambang itu ternyata depositnya besar, maka pemberian itu dibatalkan.

Rosululloh Saw juga pernah dikoreksi kasus salat 4 rakaat dilakukan sebanyak dua rakaat. Dzul Yadain bertanya, apakah Rosululloh Saw lupa ataukah memang sengaja mengqoshor sholat. Ternyata Rosululloh Saw lupa dan akhirnya beliau menambah roka’atnya.

Konon, Rosululloh Saw juga pernah dikoreksi oleh Al-Hubab bin Al-Mundzir terkait penempatan pasukan sebelum perang Badar. Hanya saja, Al-Hubab memastikan dulu apakah itu wahyu ataukah pendapat strategi teknis saja. Setelah tahu itu hanya strategi, maka Al-Hubab mengusulkan tempat lain yang lebih strategis dan Rosululloh Saw menerima saran tersebut.

Contoh baik yang bisa kita teladani dalam hal ini adalah kisah Imam Al-Kisa’i dan Harun Ar-Rasyid di masa Abbasiyyah. Suatu saat Imam Al-Kisa’i, Ulama yang terkenal sebagai pakar qiroat itu mengimami Kholifah Harun Ar-Rosyid. Waktu itu Imam Al-Kisa’i salah membaca salah satu ayat. Mestinya dibaca “la’allahum yarji’un”, akan tetapi lidah beliau “kesleo” dan membacanya “la’allahum yarji’in”. Dengan penuh sopan santun, selesai sholat Harun Ar-Rasyid hanya bertanya, “Ustadz, itu tadi dialek apa ya?” Al-Kisa’i pun mengaku bahwa itu adalah kesalahan beliau. Al-Khothib Al-Baghdadi menceritakan kisah ini dalam kitab “Tarikh Baghdad” sebagai berikut,

قَالَ الكسائي: صليت بهارون الرشيد، فأعجبتني قراءتي، فغلطت فِي آية ما أخطأ فيها صبي قط، أردت أن أقول: {لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} فقلت: لعلهم يرجعين. قَالَ: فوالله ما اجترأ هارون أن يَقُولُ لي أخطأت، ولكنه لما سلمت، قَالَ لي: يا كسائي، أي لغة هذه؟ قلت: يا أمير المؤمنين قد يعثر الجواد، فقال: أما هذا فنعم (تاريخ بغداد ت بشار (13/ 345)

Artinya: “Al-Kisai berkata, ‘Aku salat mengimami Harun Ar-Rasyid. Lalu aku terpesona sendiri dengan bacaanku. Akibatnya, akupun melakukan kesalahan saat membaca sebuah ayat yang mana kesalahan tersebut tidak pernah dilakukan oleh anak kecil sekalipun. Aku ingin membaca “la’allahum yarji’un” tetapi yang aku ucapkan adalah “la’allahum yarji’in”. Demi Allah, Harun sama sekali tidak berani mengatakan ‘Kamu salah’. Tetapi, pada saat selesai sholat dan salam dia bertanya kepadaku, ‘Wahai Al-Kisai itu tadi dialek apa?’ Aku menjawab, ‘Wahai Amirul Mukminin, kadang-kadang kuda terbaik pun bisa terpeleset’. Harun berkata, ‘Oh, oke kalau begitu‘” (Tarikh Baghdad, juz 13 hlm 345)

Demikianlah. Intinya, orang yang kebiasaannya berada dalam kualitas baik, jika pada suatu saat seperti melakukan kesalahan, maka tidak langsung divonis salah dan dinisbatkan kesalahan itu kepadanya karena bisa jadi ada penjelasan yang lain. Ibnu Hajar Al-‘Asqolani berkata,

فَإِذَا وَقَعَ مِنْ شَخْصٍ هَفْوَةٌ لَا يُعْهَدُ مِنْهُ مِثْلُهَا لَا يُنْسَبُ إِلَيْهَا (فتح الباري لابن حجر (5/ 335)

Artinya: “Jika terjadi kesalahan pada seseorang yang tidak pernah dikenal darinya kesalahan seperti itu, maka kesalahan itu tidak (langsung) dinisbahkan kepadanya.” (Fathul Baari, juz 5 hlm 335)

Orang yang tidak mengerti adab dalam mengoreksi, maka bisa jadi koreksinya malah salah, cerminan tak tahu diri, gambaran tak berakhlak luhur dan membahayakan dunia maupun akhiratnya seperti kasus Dzu Al-Khuwaishiroh yang tanpa adab memerintahkan Rosululloh Saw agar adil seolah Rosululloh Saw berpeluang dzolim (padahal semua nabi maksum dari dosa). Akibatnya, Rosululloh Saw mengucapkan doa buruk kepadanya dengan berkata “wailak” dengan meramalkan hal-hal buruk terkait kelompok dan keturunannya.

Adapun jika sudah yakin betul itu salah dan punya pengetahuan tentang hal itu, maka tidak mengapa langsung mengoreksi dengan sopan dan santun sebagaimana kisah Umar dikoreksi wanita dalam kasus penetapan mahar atau kisah kisah Ad-Dakhili yang dikoreksi Imam Al-Bukhori dalam kasus kekeliruan menyebut nama perawi hadits.

Semoga bermanfaat. Wallohu A’lam.