darulmaarif.net – Indramayu, 09 Desember 2022 | 10.00 WIB
Secara lahiriah, Rasulullah SAW jarang sakit karena mampu mencegah diri dari segala hal yang berpotensi mendatangkan penyakit. Dalam kitab Siroh Nabawiyyah karya as-Syahid as-Syekh al-‘allamah Dr. Ramadhan al-Bouthy, selama hidupnya beliau hanya mengalami sakit dua kali. Pertama, beliau demam hebat saat menerima wahyu pertama hingga meminta istrinya, Sayyidatuna Khodijah al-Kubro untuk menyelimutinya. Sakit kedua, saat beliau terkena efek racun yang disuguhkan oleh wanita Yahudi Zainab binti al-Harits pada daging domba yang membuat beliau sakit parah, hingga beliau pulang ke hadlirot Alloh Swt (intaqola ilaa rofiqil a’la).
Lantas, apa rahasia Baginda Nabi yang hampir tidak pernah sakit dalam hidupnya?
Memiliki tubuh dan jiwa yang sehat merupakan impian bagi semua orang. Sebab kesehatan merupakan kebutuhan mendasar dan bersifat primordial bagi setiap manusia yang hidup di dunia ini. Berkat kesehatan, baik tubuh maupun jiwa dapat menjadi perantara seseorang untuk dapat melakukan banyak hal dan aktifitas dalam hidupnya. Aktifitas jadi terganggu karena kondisi sakit. Maka dari itu, kesehatan merupakan hal yang amat penting untuk terus diperhatikan.
Namun, meski kesehatan begitu penting, manusia sering lupa akan hal yang satu ini. Sehingga dalam prakteknya, kita baru sadar akan pentingnya menjaga kesehatan setelah jatuh sakit. Baru sadar akan nikmat kesehatan setelah kita mengeluh akan penyakit ini dan itu.
Selain mengonsumsi makanan-minuman bergizi, pola tidur yang teratur, rajin olahraga, yang paling penting dalam menjaga kesehatan menurut Islam adalah menyedikitkan makan. Dalam hal ini Imam Syafi’i berkata:
“Kekenyangan (memuaskan nafsu perut dan mulut) membuat badan menjadi berat, hati menjadi keras, menghilangkan kecerdasan, membuat sering tidur dan lemah untuk beribadah.” (Siyarul A’lam an-Nubala 8/248, Darul hadits, Koiro, 1427 H, syamilah)
Dalam kitab Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam karya Imam Ibnu Rojab, pada haditas ke 47 beliau menerangkan:
عَنِ المِقْدَامِ بْنِ مَعْدِيْكَرِبَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ (رَوَاهُ الإِمَامُ أَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ:حَدِيْثٌ حَسَنٌ)
Dari Al-Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada tempat yang lebih jelek daripada memenuhi perut keturunan Adam. Cukup keturunan Adam mengonsumsi yang dapat menegakkan tulangnya. Kalau memang menjadi suatu keharusan untuk diisi, maka sepertiga untuk makannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR. Imam Ahmad, Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan). (HR. Ahmad, 4:132; Tirmidzi, no. 2380; Ibnu Majah, no. 3349. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa perawi hadits ini tsiqqoh, terpercaya).
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Sedikit makan itu lebih baik daripada banyak makan. Ini lebih manfaat bagi sehatnya badan.” (Jaami’ Al-‘Ulum wal-Hikam, 2:468)
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Manfaat dari sedikit makan bagi baiknya hati adalah hati akan semakin lembut, pemahaman semakin mantap, jiwa semakin tenang, hawa nafsu jelek tertahan, dan marah semakin terkendali. Hal ini berbeda dengan kondisi seseorang yang banyak makan.” (Jaami’ Al-‘Ulum Wal-Hikam, 2:469)
Seorang dokter di masa silam bernama Ibnu Masawaih, ketika beliau membaca hadits ini di dalam kitab Abu Khaitsamah, ia berkata, “Andai kaum muslimin mengamalkan isi hadits ini, niscaya mereka akan selamat dari berbagai penyakit. Kalau demikian, rumah sakit dan farmasi akan jadi kosong.” Beliau mengatakan demikian dikarenakan berbagai penyakit disebabkan oleh perut yang terbiasa terisi penuh. Sebagian pakar juga mengatakan, “Asal dari berbagai penyakit adalah perut yang selalu terisi penuh.” (Jaami’ Al-‘Ulum Wal-Hikam, 2:468)
Adapun manfaat sedikit makan, dan mengurangi rasa kenyang selain dapat menjaga kesehatan, juga dapat memberikan manfaat yang luar biasa. Imam Ghozaly dalam kitab Adabun Nikah WA Kasris Syahwatayn (Syahwatal bathni Wal Farji) mengatakan beberapa manfaat lapar.
Pertama, menjernihkan hati, mencerdaskan pikiran, juga menyempurnakan fungsi indra. Kenyang memunculkan kebodohan dan membutakan hati, menambah jumlah asap pada otak, serupa sesuatu yang memabukkan, ia menjangkau inti otak, jantung untuk melancarkan peredaran darah dari dan ke otak, hingga ia tidak bisa berpikir cepat.
Terkait hal ini, baginda Nabi Muhammad Saw bersabda:
مَنْ أَجَاعَ بَطْنَهُ عَظُمَتْ فِكْرَتُهُ وَفَطَنَ قَلْبُهُ.
“Barangsiapa melaparkan perutnya, akan semakin baik pikirannya dan akan semakin cerdas hatinya.” (Lihat Adabun Nikah Wa Kasris Syahwatayn, hal. 205)
Abdulloh Ibnu ‘Abbas berkata, bahwa Nabi Muhammad Saw pernah bersabda:
مَنْ شَبَعَ وَنَامَ قَسَا قَلْبُه – ثُمَّ قَالَ – لِكُلِّ شَيْءٍ زَكَاةٌ، وَزَكَاةُ الْبَدَنِ الْجُوْعُ.
“Barangsiapa yang kenyang kemudian tidur, hatinya akan menjadi keras. Lalu beliau bersabda: ‘Setiap sesuatu ada zakatnya, dan zakatnya badan adalah lapar.”
Kedua, melembutkan dan menjernihlan hati sehingga siap untuk mengetahui nikmatnya mujahadah dan mendapat pengaruh positif dari berdzikir. Banyak orang yang berdzikir dengan lisan disertai dengan usaha m nghadirkan hatinya. Namun, hatinya tidak mendapatkan kenikmatan dari dzikir nya itu, dan tidak berpengaruh apa-apa seakan-akan antara diri dan dzikirnya terdapat dinding pembatas berupa hati yang keras.
Imam Al-Junaidi al-Baghdadi berkata: “Hendaknya seseorang memberi ruang antara dirinya dengan dadanya dari makanan,”-maksudnya agar orang itu mendapatkan manisnya bermunajat (kepada Alloh).
Ketiga, menghancurkan, menjatuhkan, serta melenyapkan keangkuhan, kegembiraan duniawi dan keburukan-yang semuanya merupakan pangkal kesemena-menaan dan kelalaian terhadap Alloh Swt. Tidak ada yang bisa menghancurkan dan menurunkan nafsu selain rasa lapar.
Keempat, inilah manfaat terbesar; yaitu menghancurkan syahwat maksiat secara total dan menguasai nafsu yang selalu memerintah diri kepada kejahatan. Sumber seluruh kemaksiatan adalah syahwat dan kekuatan. Sedangkan sumber kekuatan dan syahwat adalah makanan. Oleh karenanya, mengurangi makan dapat melemahkan setiap kekuatan dan syahwat.
Ketahuilah, dengan lapar atau menyedikitkan makan berarti kita menyelamatkan perut (lambung) untuk tidak terus beroperasi. Ibarat mesin, jika sering digunakan akan cepat rusak dan mati. Oleh sebab itu, Islam menganjurkan puasa (baik puasa sunnah maupun puasa wajib tiap bulan Ramadhan) .
Adapun hikmah dibalik lapar puasa, secara ilmiah, menurut Dr. Yoshinori Ohsumi, peraih Alfred Nobel kategori kesehatan menyatakan bahwa mekanisme kerja autophagy dapat bekerja maksimal manakala sedang dalam keadaan lapar. Autophagy adalah program daur ulang internal tubuh dimana komponen sel memo ditangkap dan bagian-bagian yang berguna dilucuti untuk menghasilkan energi atau membangun sel-sel baru.
Proses ini penting untuk mencegah pertumbuhan kanker, menangkal infeksi dan, dengan mempertahankan metabolisme yang sehat. Autophagy intrinsik untuk organisme hidup, termasuk manusia. Berkat sel autophagy menyingkirkan bagian kelebihan, sementara organisme menghilangkan sel-sel yang tidak perlu.
Autophagy menjadi sangat intensif ketika organisme berada di bawah stres, misalnya, ketika berpuasa. Dalam hal ini sel menghasilkan energi menggunakan sumber daya internal, yaitu, sampah seluler, termasuk bakteri patogen.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.