darulmaarif.net – Indramayu, 21 Desember 2022 | 11.00 WIB
Dalam pembahasan teologi, kita banyak mendengar perdebatan mengenai siapakah yang berhak menggunakan nama Alloh. Hal ini membawa kita pada masalah terpenting. Yaitu: Bagaimanakah kita sebagai orang berdosa dapat datang dan berhadapan dengan Sang Pencipta?
Nama Alloh terdiri dari Al (the, itu) dan Ilah (Deity, God). Artinya: Ilahi yang satu. Kata “Alloh” berasal dari bahasa Semitik, yang merujuk kepada Sem (شام) , putra nabi Nuh (نوح). Bahasa Semitik juga merupakan kelompok bahasa yang terdiri dari bahasa Arab, Amharik, dan Ibrani.
Kata lain dari Alloh dalam bahasa Ibrani yang berasal dari bahasa Semitik yaitu: Elohim, El, Elyon dan Eloah. Dalam Alkitab terdapat 2,500 kata ‘Elohim’, dimulai dari ayat pertama dari Alkitab. “Pada mulanya Alloh menciptakan langit dan bumi.” (Taurat, Kitab Kejadian 1:1) – Ingat, kata untuk Alloh di sini adalah Elohim! Dan Elohim adalah nama pertama yang diberi bagi Sang Pencipta dalam Kitab Suci.
Mengutip buku The Foreign Vocabulary of The Qur’an (h. 66) karya Arthur Jeffery, Profesor Bahasa-Bahasa Semit di School of Oriental Studies Kairo, of Semitic Languages School of Oriental Studies Cairo, ia mencatat kalau Imam Fakhruddin Ar-Rozi dalam kitab Mafaatihul-Ghoyb memberi informasi perihal orang-orang muslim di zaman awal yang berpendapat lafadz Alloh berasal dari bahasa Syiria atau Ibrani.
Asal-usul nama Alloh menurut Islam, awalnya digunakan oleh orang-orang kafir di Makkah sebelum Nabi Muhammad Saw lahir. Juga orang Kristen Arab yang hidup sebelum zaman Islam, memakai nama Alloh untuk Sang Pencipta. Saat ini orang Kristen Arab, Yahudi, Roma Katolik Malta, Kristen Indonesia dan Malaysia memakai kata “Alloh” bagi sebutan Sang Pencipta.
Dalam Islam, Imam al-Qurthubi menyebut makna lafadz Alloh sebagai sebuah nama yang sangat agung dan suci; nama bagi sebuah entitas (keberwujudan) yang hakiki; nama yang memiliki seluruh sifat ilahiyah (Ketuhanan); yang tunggal memiliki wujud yang hakiki; tiada Tuhan melainkan hanya Dia; serta satu-satunya nama yang berhak disembah.
لَا مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ فِى الْوُجُوْدِ إِلَّا اللّهُ
“Tidak ada yang berhak disembah-dalam wujudnya-kecuali Alloh.”
al-Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa lafadz Alloh adalah sebuah nama bagi Tuhan yang Maha Memberi Berkah dan Tinggi. Nama yang sangat agung dimana memiliki seluruh sifat-sifat keagungan (Asmaul Husna). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Hasyr [59]: 23,
هُوَ ٱللَّهُ ٱلَّذِى لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْمَلِكُ ٱلْقُدُّوسُ ٱلسَّلَٰمُ ٱلْمُؤْمِنُ ٱلْمُهَيْمِنُ ٱلْعَزِيزُ ٱلْجَبَّارُ ٱلْمُتَكَبِّرُ
“Dialah Alloh, tidak ada tuhan selain Dia, Maha Raja Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Menjaga Keamanan, Pemelihara Keselamatan, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan.”
Melalui ayat ini, nama Alloh menempati tempatnya seluruh sifat-sifat (Asmaul Husna) yang mulia tersebut.
(Syekh Muhammad Ali as-Shobuni, Rawai’l-Bayan Fii Tafsiri Ayatil-Ahkam minal-Qur’an, jus 1 hal 17)
Sedangkan menurut tinjauan ilmu bahasa, ‘Ulama shorf (morfologi), dalam hal ini Syekh Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ilyas Al-Maliky Al-Maghribi mengatakan:
الله اصله إله ككتاب وإمام فحذفت الهمزة إعتباطا وعوض عنه أل وهو الصحيح وقيل قياسا بأن ادخل عليه أل للتفخيم فصار الإله ثم خذفت الهمزة بعد نقل حركتها الى ما قبلها من اللام اعتباطا قصد للتخفيف او ليكون الإدغام قياسا ثم أدغمت اللامال الأولى فى الثانية ثم فخم وعظم ان فتح ما قبلها نحو قال الله او ضم نحو قالوا اللهم ورقق ان كسر نحو بسم الله
Lafadz Alloh (الله) asalnya Ilaahun (إله) seperti kitaabun (كتاب) dan imaamun (إمام) secara i’tibath (sembarangan). Kemudian dibuang hamzahnya, dan hamzah tersebut diganti alif lam (ال) . Itu pendapat yang shohih. Ada juga yang mengatakan secara qiyas bahwa alif lam dimasukkan pada lafal itu karena untuk pembesaran maka menjadi “Al-Ilaahu” (الإله). Kemudian hamzah dibuang, setelah memindah harokatnya ke huruf sebelumnya dari lam secara i’tibath (sembarangan) karena untuk tujuan meringankan atau agar terwujud idghom secara qiyas. Kemudian lam pertama diidghomkan kepada lam yang kedua. Kemudian lam dibaca tafkhim dan untuk menaggungkan apabila huruf sebelum lafal Alloh difatahah, misalnya “Qoolallohu” (قال الله), atau didlommah, misalnya “Allohumma” (اللهم), dan dibaca tarqiq apabila huruf sebelem lafal “Alloh” dikasroh misalnya bismillahi (بسم الله).
(Rujukan: Hillil Ma’qud min Nadzmil Maqshud halaman 3).
Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari dalam kitabnya Fathul Mu’in (1/15) menulis sebagai berikut:
والله علم للذات الواجب الوجود، وهو اسم جنس لكل معبود، ثم عرف بأل وحذفت الهمزة، ثم استعمل في المعبود بحق، وهو الاسم الاعظم عند الاكثر، ولم يسم به غيره ولو تعنتا
“..dan lafadz Alloh adalah ‘Isim alam’ untuk Dzat yang wajib wujud-Nya. Asalnya dari kata lafadz ‘ilahun’. Ia adalah untuk setiap sesuatu yang disembah, kemudian dimarifatkan dengan ‘al’ (maksudnya huruf alif dan lam). Lalu huruf hamzah nya dibuang maka dia menjadi lafal ‘Alloh’. Selanjutnya digunakan untuk sebutan bagi nama Dzat yang paling berhak disembah (fil-ma’budi bihaqqi). Ia adalah ‘ismul a’dzhom’ (nama yang sangat agung) yang selainnya tak disebut dengan lafadz Alloh.”
imam Ibnul Qayyim al-Jauzy mengatakan,
ولهذا كان القول الصحيح أن الله أصله الإله، كما هو قول سيبويه وجمهور أصحابه، إلا مَن شذ منهم، وأن اسم الله تعالى هو الجامع لجميع معاني الأسماء الحسنى، والصفات العلى
Karena itulah, pendapat yang benar bahwa kata Alloh berasal dari kata al-Ilah (Sang Tuhan yang disembah), yang ini merupakan pendapat Imam Sibawaih dan mayoritas pengikutnya, kecuali sebagian kecil yang tidak sepakat dengannya. Dan bahwa nama Alloh Ta’ala adalah nama yang menggabungkan semua makna dari asmaul husna dan sifat-sifat-Nya yang mulia. (Bada’il-Fawaid, juz 2/473).
Pembahasan ini terkait tinjauan asal-usul lafadz Alloh dari sisi bahasa, BUKAN membahas asal-usul Dzat Alloh nya ya – semoga kita dijauhkan dari pemahaman yang rancu.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.