Hukum Fiqh dan Santri Menjawab Problematika Kehidupan Modern

darulmaarif.net – Indramayu, 02 Desember 2025 | 09.00 WIB

Di tengah laju modernitas yang terus mendesak batas-batas kehidupan, keberadaan santri hari ini memegang peran yang semakin strategis. Bukan lagi sekadar murid yang menghafal matan atau membuka kitab kuning di serambi masjid, santri kini menjadi “penerjemah” antara teks-teks fiqh turots dengan realitas modern: mulai dari maraknya fintech, pinjol, gaya hidup digital, hingga perkembangan teknologi yang mengubah kebiasaan dan interaksi manusia saat ini. Pertanyaannya: apakah fiqh klasik masih relevan menjawab masalah modern? Jawabannya: sangat relevan—selama ia dipahami melalui manhaj (metodologi) yang tepat.

Fintech, Pinjol, dan Transaksi Digital dalam Kaca Mata Pesantren

Kehadiran fintech dan pinjol telah membuka akses keuangan yang lebih mudah, namun juga memunculkan persoalan baru: bunga tinggi, riba terselubung, eksploitasi, hingga jerat utang masif yang menimpa generasi muda. Dalam pandangan fiqh, kaidah riba sebenarnya sudah dibahas secara rinci. Misalnya, Imam Nawawi dalam Al-Majmū’ Syarḥ al-Muhadzdzab menjelaskan:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

Artinya: “Setiap pinjaman yang mendatangkan tambahan manfaat (yang disyaratkan), hukumnya adalah riba.” (Imam Nawawi, Al-Majmū’ Syarḥ al-Muhadzdzab, Dar al-Fikr, juz 9, hlm. 432)

Frasa ini sangat relevan bagi praktik fintech dan pinjol ber-bunga tinggi. Ketika adanya bunga wajib yang ditetapkan sejak awal, maka transaksi tersebut hakikatnya termasuk riba. Meski bentuk aplikasinya modern, substansi hukumnya tetap sama.

Begitu pula dalam transaksi digital, fiqh telah menyediakan kerangka berupa konsep akad, ridlo, ghoror, dan amanah. Imam al-Syirazi menjelaskan syarat keabsahan jual beli:

وَأَمَّا بُيُوعُ الْمُعَامَلَاتِ فَشَرْطُهَا الرِّضَا مِنْ غَيْرِ إِكْرَاهٍ

Artinya: “Adapun transaksi muamalah, syaratnya adalah adanya kerelaan tanpa paksaan.” (Al-Muhadzdzab, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, juz 1, hlm. 259)

Ini memberikan landasan bahwa setiap transaksi online—baik melalui marketplace, e-wallet, hingga pembayaran otomatis—harus dilakukan secara transparan, tanpa penipuan, dan dengan persetujuan yang jelas dari kedua pihak.

Fatwa Pesantren untuk Gaya Hidup Modern

Di tengah budaya digital yang serba instan, pesantren tetap menjadi tempat yang memproduksi fatwa-fatwa dengan pendekatan metodologis: qiyas, istinbath, maqashid syariah, hingga qawaid fiqhiyyah. Banyak gaya hidup modern yang dinilai biasa oleh masyarakat, namun sebenarnya mengandung dampak spiritual dan sosial.

Misalnya soal flexing di media sosial, hobi konsumtif, atau kecanduan online shopping. Kaidah fikih memberikan panduan:

الاِسْرَافُ مَمْنُوعٌ

Artinya: “Segala bentuk pemborosan adalah terlarang.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, hlm. 87)

Kaidah ini mengingatkan bahwa gaya hidup berlebihan—meski dilakukan secara digital—tetap bertentangan dengan prinsip syariat Islam. Dalam konteks modern, ini relevan bagi perilaku konsumtif yang sering dipicu oleh algoritma platform belanja online.

Pesantren juga memegang peran penting dalam memberikan fatwa terkait etika bermedia sosial, misalnya larangan menyebar hoaks—yang dalam fiqh disebut tahrim al-kadzdzib (haramnya dusta). Imam Ghozali dalam Ihya Ulumuddin menyebut:

الْكَذِبُ أَصْلُ كُلِّ الْمَعَاصِي

Artinya: “Dusta adalah akar dari segala maksiat.” (Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Dar al-Ma‘rifah, juz 3, hlm. 112)

Maka, menyebar berita palsu, mengedit konten untuk menipu, atau memfitnah di media sosial termasuk ke dalam larangan keras menurut fiqh turots.

Sebagai Jembatan antara Kitab Fiqh Turots dan Realitas Modern

Peran santri kini tidak cukup hanya memahami kaidah fiqh, tetapi juga harus membaca realitas digital. Ketika teknologi mengubah hampir semua aspek kehidupan—dari gaya komunikasi hingga sistem ekonomi—santri harus menghadirkan fiqh yang hidup, fleksibel, dan mampu menjawab problem modern tanpa kehilangan prinsip syariat.

Kemampuan ini lahir dari manhaj pesantren dalam memahami kitab kuning, yang sangat menekankan ketelitian, kehati-hatian, dan konteks persoalan yang terjadi. Santri mampu memadukan:

  • teks (nass) dari Al-Qur’an, Hadits, dan Ijma dan Qiyas yang terdapat pada kitab kuning,
  • konteks modern,
  • serta maqashid syariah: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Contoh aplikasi langsungnya:

Fiqh terhadap AI dan Teknologi Digital

Meski tidak ada pembahasan eksplisit dalam kitab klasik tentang AI, prinsip amanah, tidak merugikan, dan transparan bisa digunakan sebagai dasar hukum.

Fiqh Transaksi Kripto

Melalui qiyas terhadap shorf (jual beli mata uang), santri dapat menilai apakah ada gharar, riba, atau unsur spekulatif yang dilarang.

Santri dapat merumuskan etika digital berbasis akhlak pesantren—seperti adab berbicara, adab pergaulan, serta larangan menyakiti orang lain melalui ujaran kebencian.

Santri adalah “penerus” ulama yang bukan hanya menghafal makna kitab, tetapi juga menghidupkan nilai-nilainya dalam ruang publik modern.

Hukum Fiqh ternyata tidak membeku oleh zaman; ia justru menjadi “kompas moral” dalam padang digital yang semakin kompleks. Melalui metodologi istinbat, qiyas, dan maqashid, santri mampu menjadikan kitab kuning tetap relevan menghadapi problem fintech, pinjol, gaya hidup modern, hingga kemunculan teknologi baru yang belum pernah dibayangkan oleh para ulama terdahulu.

Pada akhirnya, fiqh bukan sekadar pilihan, tetapi kebutuhan bagi umat Islam untuk menavigasi kehidupan modern secara syar’i, bijak, dan beretika. Maka pertanyaan pentingnya adalah: Apakah kita siap memadukan tradisi keilmuan klasik dengan tantangan zaman yang terus bergerak?

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share:

More Posts