darulmaarif.net – Indramayu, 09 Agustus 2025 | 10.00 WIB

Bagaimana Islam Menuntun Kita di Tengah Chat, Story, dan Like yang Tak Terbatas?
Pernahkah kamu merasa bimbang saat DM dari lawan jenis masuk di malam hari? Atau tergoda untuk membalas story-nya dengan komentar “gemes banget“? Dunia maya kini jadi tempat kita berinteraksi setiap hari — tapi, adakah batasan dalam syariat soal ini?
Tentu saja ada. Dan di sinilah ilmu fiqh hadir untuk menuntun kita. Mari kita telusuri bersama, ringan tapi tetap serius.
Era Digital dan Realitas Baru
Dunia digital telah mengubah cara kita berkomunikasi. Tapi satu hal tidak pernah berubah: prinsip syariat tetap berlaku kapan pun dan di mana pun. Termasuk ketika kita sedang mengetik pesan di WhatsApp atau scrolling Instagram.
Khalwat Digital: Realitas yang Sering Dianggap Sepele
Di dunia nyata, kita tahu bahwa berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan mahram itu tidak boleh. Tapi bagaimana jika hanya berdua di ruang chat?
Dalam hadits shohih, Rosululloh SAW bersabda:
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
Artinya: “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya.” (HR. Imam Bukhori dan Muslim)
Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghozali menjelaskan dalam Ihya’ Ulumiddin, Juz III, hal. 92:
فَإِنَّ الخَلْوَةَ بِالْمَرْأَةِ مَظِنَّةُ الفِتْنَةِ، وَالشَّيْطَانُ ثَالِثُهُمَا
Artinya: “Sesungguhnya berduaan dengan wanita adalah tempat munculnya fitnah, dan syaitan adalah yang ketiganya.” (abu Hamid Muhammad Al-Ghozali, Ihya ‘Ulumiddin, Juz III, hal. 92)
Analogi kontemporer: chat pribadi tanpa alasan syar’i adalah bentuk khalwat digital. Maka, kalau bukan urusan penting, lebih baik dihindari.
Lembutnya Bahasa Bisa Jadi Fitnah
Alloh SWT berfirman kepada para istri Nabi:
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ
Artinya: “Janganlah kamu berkata-kata dengan lemah lembut sehingga orang yang ada penyakit dalam hatinya menjadi tamak.” (QS. Al-Ahzab Ayat 32)
Imam Al-Mawardi dalam Tafsir Al-Nukat wal ‘Uyun, Juz IV hal. 315 menafsirkan ayat ini sebagai larangan kepada perempuan untuk bersikap atau berbicara dengan gaya yang bisa memancing nafsu atau rayuan.
Dalam dunia digital, ini bisa berupa:
- Chat yang terlalu manja atau akrab
- Emoji menggoda
- Voice note dengan nada mendayu atau mendesah
Hukum dari ucapan seperti ini, sebagaimana dijelaskan dalam Fathul Mu’in karya Syekh Zainuddin al-Malibari:
وَيَحْرُمُ كَلَامٌ يُثِيرُ الشَّهْوَةَ، وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَاحِشَةٌ صَرِيحَةٌ
Artinya: “Haram hukumnya perkataan yang membangkitkan syahwat, meskipun tidak mengandung kata-kata keji secara eksplisit.” (Zainuddin Al-Malinari, Fathul Mu’in: Bab Nikah)
Boleh Berkomunikasi, Tapi Ada Syaratnya
Islam tidak menutup komunikasi antara pria dan wanita selama dalam batas keperluan syar’i. Misalnya: urusan pekerjaan, pendidikan, dakwah, organisasi, atau tugas sosial.
Namun, para ulama menekankan: komunikasi ini harus memenuhi syarat-syarat ketat. Di antaranya:
- Tidak menyendiri (baik fisik maupun digital)
- Tidak membahas hal pribadi atau menggoda
- Tidak memunculkan fitnah atau was-was
Syekh Nawawi bin Umar al-Bantani dalam kitabnya Nihayatuz Zain, hal. 234 menjelaskan:
وَإِنَّمَا يُبَاحُ لِلأَجْنَبِيِّ نَظَرُهَا عِنْدَ الْحَاجَةِ وَبِقَدْرِهَا، كَمَا فِي الْمُعَامَلَةِ وَالشَّهَادَةِ وَالتَّعَلُّمِ
Artinya: “Seorang laki-laki boleh memandang wanita ajnabiyah jika ada kebutuhan, dan sesuai kadar kebutuhan, seperti dalam muamalah, kesaksian, dan belajar.”
Jadi, jika kamu sedang menghubungi rekan kerja lawan jenis, cukup langsung ke poin penting. Tidak usah pakai embel-embel basa-basi manis.
Media Sosial: Tempat Dakwah atau Lahan Fitnah?
Posting foto selfie, curhat galau, atau membuat story yang bisa menarik perhatian lawan jenis juga termasuk wilayah yang perlu ditimbang secara fiqh.
Dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani, Juz 18 hal. 142, disebutkan tafsir dari QS. An-Nur ayat 31 mengenai perintah menundukkan pandangan:
وَالْبَصَرُ يَتَنَاوَلُ النَّظَرَ إِلَى الْمَرْئِيَاتِ، وَمِنْهُ النَّظَرُ فِي الصُّوَرِ، وَلَوْ فِي الْمِرْآةِ أَوِ الرَّسْمِ
Artinya: “Pandangan mencakup melihat segala yang terlihat, termasuk melihat gambar, meski dari cermin atau lukisan.”
Maka, mengupload gambar yang menimbulkan syahwat atau jadi objek pandangan yang tidak perlu, sangat dianjurkan untuk dihindari. Bahkan, menurut sebagian ulama, bisa mendekati keharaman jika niat atau dampaknya negatif.
Terakhir, mari kita renungi sabda Rosululloh SAW:
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
Artinya: “Ketahuilah bahwa dalam jasad ada segumpal daging; jika ia baik, maka baiklah seluruh jasad; dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Itulah hati.” (HR. Imam Bukhori dan Muslim)
Hati-hati dengan hati. Kadang, kita mengira sedang berdakwah di medsos, padahal hati sudah mulai tertarik, berharap, dan terlena.
Dunia digital memang tanpa batas. Tapi Islam datang bukan untuk membatasi hidup, tapi untuk melindungi nilai. Fiqh bukan penghambat interaksi, tapi penjaga agar komunikasi tetap mulia dan bermartabat.
Artinya: “Barang siapa bertakwa kepada Alloh, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar.” (QS. At-Tholaq Ayat 2)
Jadi, mari kita jaga jempol, jaga niat, dan jaga batas. Karena setiap klik, setiap chat, setiap story — akan ditulis oleh malaikat.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.